TULANG belulang korupsi yang berserakan di pelataran bangsa ini kian mendekatkan kita pada kuburan moralitas yang harus diresapi sebelum republik ini tinggal pusara tak bertuan.
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Wijodjo (Media Indonesia, 20/4/2010) ataupun karut-marut kasus Gayus, dan satu per satu kaum penjaga keadilan yang berkomplot menggasak fulus rakyat di bawah sumpah kultis 'abdi negara' sesungguhnya merupakan tautologi klasik Ronggowarsito manakala di zaman edan ini sing ora melu edan ora keduman menjadi justifikasi pemuliaan korupsi yang banal-destruktif.
Mafhud MD benar (19/4) bahwa hukum di negeri ini begitu mudahnya dipolitisasi untuk menelanjangi kesakralan keadilan. Para calo perkara, advokat hitam, makelar kasus, cukong, konglomerat, pejabat politik/birokrasi yang gemar memancungi nurani seraya menyemburkan kerakusan tak bertepi telah mematangkan korupsi sebagai sarapan wajib mereka. Ini sebuah tradisi gila kekinian yang dinormalkan dalam era kuantum kehidupan masyarakat ataupun birokrasi hukum pascamaterialis.
Semula kita berharap masyarakat mampu membentengi diri dari hiperbola sosial, bahwa mereka yang dikaruniai jabatan eksklusif tinggal di lebih dari satu rumah, bermobil mewah dengan cetakan rekening kekayaan yang tidak biasa merupakan sumber pengakuan berdasarkan prestasi, yang mewarnai etos 'kerja keras' meskipun substansinya jauh dari keluhuran nilai kebijaksanaan, apalagi sekadar memamerkan kemurahan hati di panti sosial, tempat ibadah, dan lain-lain.
Sayang, kepermisifan masyarakat terhadap aneka pengultusan kekayaan bagi mereka yang didaulat bos besar di tiap strata institusi pemerintahan kian menjadi-jadi. Masyarakat cuma takzim dan memberi tempat duduk paling depan pada birokrat, politisi yang berpakaian necis, mengilap, diapit ajudan yang di mulutnya selalu tercanang kata-kata mentereng. Tetapi, bagi pejabat jujur bersahaja yang jauh di bawah tumit kaki kemewahan justru tidak dianggap, bahkan dinilai sebagai pejabat miskin yang tak punya kuasa alias dianggap rendahan. Rakyat menganggap kekuasaan yang termanifestasi dalam simbol-simbol kemewahan pada seseorang bisa menujumkan bahkan mendatangkan keyakinan akan kebahagiaan dan perubahan nasibnya.
Akar Korupsi
Lalu ini diapresiasi para elite/pejabat dengan memersepsikan jabatan sebagai anugerah Tuhan sehingga layak disyukuri dan dirayakan. Dia bukan mandat publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan rakyat sehingga tampak bahwa diskresi pejabat lebih fungsional daripada undang-undang yang menuntun tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. Asas-asas rekrutmen pegawai selalu mengedepankan pola klik, kedekatan, koncoisme, yang direkatkan oleh binatang uang.
Saya pikir pola remunerasi kita harus dirombak total. Tingginya gaji harus dilihat berdasarkan peran strategis yang dimainkan seorang pegawai-–seperti dokter, guru, dosen, perawat--yang bersentuhan langsung baik dengan persoalan rakyat maupun masa depan bangsa, bukan semata karena besarnya risiko pekerjaan yang diembannya.
Sejauh ini semangat profesionalitas, kejujuran, dan sportivitas dalam berkarya telah tereduksi oleh uang sehingga sulit menemukan kompensasi yang adil dari sebuah pola remunerasi yang jelas. Contoh kecil, Kepala Badan Kepegawaian Negara Hardijanto menjelaskan pada 1955 Indonesia pernah memiliki klasifikasi jabatan yang lebih jelas, bahkan jabatan untuk pencetak gambar memiliki pangkat, kualifikasi disertai gaji yang harus diterimanya. Tapi sejak 1968 semua jabatan klasifikasi itu terkonversi dalam 17 pangkat, yaitu IA-IVE. Budaya organisasi yang demikian itu hanya akan membongkar inti karakter individu (Richard Sennet, 1999), menjadi sosok robot materialistis yang digerakkan oleh mesin garizah nafsu.
Dalam spirit patrimonial masyarakat yang berkarat, kondisi tersebut kian kondusif meleluasakan berbagai strategi individu/kelompok untuk leluasa meraih kekuasaan dan status semaksimal mungkin (Jenkins, 1992; Robbins, 2000) meskipun harus menubruk podium moralitas yang justru mulai digadaikan bangunan hukum yang telah menjelma dari yang mulia (noble) menjadi sesuatu yang busuk (rotten). Hal itu merupakan kesialan tersendiri bagi rakyat di negeri yang selalu menabung ketidakwarasan logika sosial dalam menakar 'produktivitas' gaya hidup para elite, patron secara lekas kasatmata. Akar korupsi selalu tak tersentuh saat berbagai kebijakan tidak prowong cilik menerpa secara kejam. Tindakan represif dan penggusuran semena-mena terhadap warga pinggiran yang dianggap sampah sosial atau sikap reaktif-koersif aparat pemerintah terhadap bentuk kreatif pembangkangan masyarakat selalu saja dimuliakan sebagai upaya mempertahankan legitimasi dan superioritas.
Padahal, kalau sekarang pengemis, pengamen, tindakan pemerasan, perampokan, pencurian, pembunuhan merajalela karena persoalan kesenjangan ekonomi, itu disebabkan anggaran untuk memperbaiki taraf hidup rakyat banyak telah dikorup pemimpinnya. Para koruptor dan pemimpin mestinya bertanggung jawab terhadap persoalan ini, bukan menghindari masalah (avoiding the problem), atau mencari kambing hitam.
Sebab, yang namanya korupsi bukan semata tindak kriminal yang didefinisikan oleh logika hukum serbarumit dan sulit tafsir seperti perjalanan dinas fiktif, mark-up pembelian barang/jasa, perilaku sogok, suap-menyuap, yang ironisnya dianggap sebagai suatu kesenian universal dalam birokrasi yang sulit dijamah hukum. Setiap pelanggaran oleh lembaga negara yang mengakibatkan kenyamanan atau hak sipil (hak berusaha, menikmati pendidikan, kesehatan, perumahan murah) yang terabaikan juga merupakan bagian dari praktik korupsi (Hardjapamekas dalam Korupsi dan Kebudayaan karya Ajip Rosidi, 2009:10).
Regulasi diri
Dengan demikian, korupsi yang dijalankan secara membudaya nirresistensi bahkan diimani sebagai 'agama' baru (Umbu Pariangu, Kompas/1/8/2008) terlebih dalam organisasi birokrasi kita adalah 'penikaman' nurani, moralitas, serta solidaritas sosial sebagai bangsa mulia dan beradab. Sebuah kematian modal sosial (kejujuran dan empati terhadap mereka yang melarat, tertindas) tengah menjemput kita (John Field, 2010:186). Dan ini tergambar penuh di tubuh kepolisian, kejaksaan, kehakiman, birokrasi pajak, institusi wakil rakyat, dan lembaga lainnya.
Kematian modal sosial ini akhirnya melahirkan para bramacorah yang mengganasi peradaban dengan insting kekerasannya tanpa tobat, menawan suara hati dan kejujuran seraya menghisap darah rakyat Indonesia yang sedang mendesir panas oleh ancaman kelaparan dan busung lapar. Penjara bagi koruptor tak akan cukup luasnya kalau atribut 'konstelasi' hukum dan sistem penghukuman kita selalu membaptis para-–residivis--koruptor itu dengan berbagai keringanan hukum sistemis, dengan sejumlah privilese dan sejumlah hiperbola sosial yang dikenakan pada mereka. Habitat koruptor harus diisolasi. Memanusiakan para koruptor yang menjahati rakyat (demos) bukan dengan sikap 'permisif' sambil menggunakan kaca mata hitam hak asasi manusia (HAM), melainkan dengan vonis hukuman yang seberat-beratnya bahkan mati. Sebab, berjuta HAM rakyat Indonesia sudah dibunuh oleh bramacorah ini.
Yang tak kalah penting, langkah paling awal dan efektif untuk menjauhkan bangsa ini dari korupsi adalah meniscayanya kesadaran diri menyematkan kejujuran, kerja keras dan empati sebagai norma pribadi, terutama sebagai pemimpin. Sistem dan norma kolektivitas organisasi yang baik dan tepat hanya dapat diatur dengan regulasi diri (Senge,1990:387), misalnya dengan membangun keteladanan sikap kepemimpinan yang telaten, selalu menghormati sumpah jabatan, sederhana, tidak menuntut lebih dari sebuah jabatan, kecuali kerja dan kerja yang berimbalan ibadah, mau berbagi, dan solider. Hanya dengan regulasi kesadaran diri tersebut kita menemukan potensi perbaikan diri sekaligus penularan pencerahan yang lebih luas, kolektiviteit, dan sistemis, teristimewa dalam membentuk kultur masyarakat dan birokrasi yang profesional serta antikorupsi.
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Negara FISIPOL UGM
Opini Media Indonesia 29 April 2010