28 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pudarnya Kasus Bank Century

Pudarnya Kasus Bank Century

Oleh Ridho Imawan Hanafi

Progresivitas kasus Bank Century sepertinya mampat di tengah jalan. Sejak Paripurna DPR memutuskan opsi C, yang menyatakan ada dugaan penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century dan penyalurannya sehingga diserahkan ke proses hukum, belum terlihat adanya penanganan serius dan perlahan Century mulai kehilangan momentum. 

Kasus Bank Century menghadirkan narasi tersendiri. Narasi muncul untuk memberi makna akan sebuah peristiwa. Saat ternarasikan peristiwa dapat menjelma seperti realita. Dalam narasi terkandung kejadian, tokoh, dan konflik yang membuat kisah itu hidup. Ketiganya membentuk sebuah plot atau alur. Narasi dihadirkan agar memori publik tergugah kembali, betapa pentingnya kasus Bank Century. 



 Seperti kata Walter Fisher, rasionalitas manusia dalam berbagai bentuk dan esensialnya didasarkan pada narasi. Dalam rapat internal Pansus Century sering terlihat antara cara penyampaian dan substansi pembicaraan sering menciptakan distorsi pesan. Hasil dari silang debat tersebut memunculkan kitsch, istilah dalam jagat postmodernisme yang diartikan sebagai bentuk komunikasi dengan selera yang rendah. 

Pada kitsch, pesan yang disampaikan miskin nilai kreativitas maupun inovasi-inovasi komunikasi. Tidak hanya terjadi dalam rapat-rapat maraton Pansus, kitsch juga terungkap dalam Rapat Paripurna DPR yang berlangsung ricuh dan memalukan. Kitsch dalam bentuknya tersaji melalui kekerasan verbal seperti celetukan-celetukan, gurauan, maupun ejekan, yang semua itu dapat membuat wibawa dewan luntur. Rapat paripurna sedikit terselamatkan kukuhnya sebagian besar fraksi berdasarkan kinerja pansus dengan dasar pada data dan fakta yang tersedia untuk mengungkap kebenaran. Paripurna kemudian menghasilkan keputusan memilih opsi C.

Isu-isu lain mengiringi kinerja pansus seperti kasus pengemplang pajak, kontroversi L/C anggota pansus dari PKS Misbakhun, maupun lobi-lobi politik oleh istana yang mampat. Akibat dari disebutnya nama Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, sayup-sayup kata pemakzulan maupun imbauan mundur diletupkan. Tumpukan isu politik yang berasal dari aras yang berbeda-beda ini dalam dinamika komunikasi politik kontemporer menimbulkan turbulensi. Kondisi ini yang membuat penyebaran informasi sekaligus derajat kebenaran tentang kasus Bank Century yang diterima publik menjadi tumpang tindih. Antara keputusan paripurna DPR dengan sikap pemerintah tidak menemukan titik temu.

Turbulensi oleh Michel Serres (Yasraf, 2001) diurai sebagai sebuah ”keadaan antara”, sebuah median atau tapal batas antara keadaan kacau (disorder) dengan keadaan teratur (order). Pada keadaan yang turbulen, ada perkembangan sosial yang tidak dapat diprediksi di masyarakat dan ada pergerakan massa yang tidak diketahui arahnya dalam sebuah iklim politik. Turbulensi membuat keadaan di mana antara kejelasan dan kekaburan informasi tidak mengenal batas.

Kebiasaan melempar komunikasi politik seperti yang ditunjukkan elite politik tanpa disertai kajian mendalam dan hanya didasari kepentingan politik kekuasaan semata hasilnya bisa dipastikan: kontroversi. Terlebih jika pesan yang disampaikan beragam dan tidak tunggal. Kualitas pesan komunikasi politik bisa menjadi ukuran penilaian bagaimana sesungguhnya manajemen komunikasi politik yang keluar dari aras sumber pengirim. Jika yang muncul ke tataran publik adalah pesan yang tumpang tindih tanpa akurasi derajat kepercayaan, diperkirakan sumber pesan juga mengalami kondisi turbulen.

Untuk situasi dan kondisi yang tidak normal seperti ketegangan politik Century tersebut, publik membutuhkan kepastian informasi dengan kejelasan dan kebenaran pesan. Pesan yang kabur hanya menimbulkan distorsi persepsi dan mengarah pada perbedaan pesan yang diterima masyarakat. Sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies (1855-1936) menyebut keadaan demikian dengan die luftantigen position, sebuah komunikasi politik yang semrawut, seperti angin yang berembus kencang tanpa aturan, dengan masing-masing mengemukakan pendapatnya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. 

Dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik atas informasi yang dilemparkan pemegang kuasa di lembaga-lembaga politik atau institusi negara mutlak diperlukan. Kepercayaan dibangun melalui mekanisme komunikasi politik yang dapat memberikan kepastian akan berjalannya demokrasi secara semestinya. Komunikasi politik seperti catat Graber (1984) menempati posisi sentral karena dapat memengaruhi kualitas interaksi antara publik dan penguasa. Jalannya demokrasi menjadi terseok tanpa dukungan publik yang sikap dan opininya digerakkan kekuatan pesan yang tersosialisasi melalui komunikasi politik yang dapat diyakini kebenarannya. 

Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus berani tampil tegas sebagai pembawa obor penyelesaian dalam kasus Century. Semakin cepat waktu penuntasan semakin mempercepat pula pemulihan kepercayaan publik. Selama ini yang tampak pada Yudhoyono justru lebih sering melemparkan komunikasi politik ke publik yang isinya menanggapi pengkritisan sebagian kalangan yang mengarah ke pemerintahannya. Seringnya Presiden menanggapi wacana dan isu politik yang kritis terhadapnya justru mempertegas citranya yang selama ini tergambarkan di media massa bahwa ia pemimpin yang tidak cukup memiliki ketegasan (indecisive) dan cenderung lamban mengambil keputusan. Pada titik lain, kesan tersebut juga dapat memunculkan dugaan publik adanya kesengajaan memperlambat penanganan kasus Bank Century yang berujung pada pudarnya isu.***

Penulis, pemerhati komunikasi politik dan peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate,Jakarta
Opini Pikiran Rakyat 29 April 2010