Oleh DEDE MULKAN
TEWASNYA jurnalis kantor berita Reuters asal Jepang, Hiro Muramoto di Bangkok beberapa waktu lalu mungkin luput dari perhatian kita. Muramoto sedang meliput kekerasan di ibu kota Thailand dan merekam bentrokan antara pasukan dengan demonstran antipemerintah yang memanas. Ada 21 orang tewas dalam kekerasan itu dan Muramoto salah seorang dari mereka.
Tragedi tewasnya kamerawan televisi saat meliput peristiwa memang bukan cerita baru. Di tanah air, kamerawan Lativi dan SCTV, Suherman dan M. Guntur, juga tewas saat meliput musibah KM Levina I beberapa tahun silam.
Di negara-negara konflik, kasus kematian wartawan lebih disebabkan ”korban” dari pihak-pihak tertentu yang tengah bertikai. Wartawan dianggap sebagai pihak yang berada di salah satu golongan yang bertikai sehingga keberadaan mereka di tengah konflik dianggap ”musuh” yang mengancam keselamatan salah satu pihak.
Pihak-pihak yang tengah bertikai kadang lebih percaya kepada jurnalis ketimbang kepada pejabat pemerintah. Barangkali kita ingat ketika kelompok GAM di Aceh hanya mau mempertemukan dua reporter televisi yang disanderanya dengan media jika difasilitasi media massa. Sayangnya, reporter Ersa Siregar yang disandera GAM harus tewas.
Beberapa kasus kematian wartawan ketika meliput peristiwa, sekali lagi membuktikan betapa dekatnya profesi jurnalistik dengan ”wilayah kematian”. Profesi ini bukanlah pekerjaan yang aman, tanpa risiko, dan terbebas dari segala kemungkinan ancaman marabahaya. Tragedi jurnalis ketika sedang melakukan tugas liputan di lapangan semestinya memang menjadi keprihatinan kita bersama dan menuntut perhatian dari pemerintah.
Khalayak (pembaca, pendengar, dan penonton) mungkin tidak akan pernah memahami betapa susahnya mencari informasi dan mengambil gambar di lapangan. Mereka hanya ingin ”menikmati” sajian data dan fakta yang lengkap serta gambar-gambar eksklusif yang disajikan media ke hadapannya. Padahal untuk mendapatkan informasi dan gambar-gambar itu, wartawan di lapangan harus berjuang sekuat tenaga, bahkan ancaman antara hidup dan mati sebagai taruhannya.
Seorang jurnalis, Gloria Castro, yang memimpin lembaga Media for Peace, telah berperan penting dalam mendidik wartawan di Kolombia untuk melakukan liputan secara profesional dalam situasi konflik. Lembaga-lembaga lainnya bersama Foundation for Freedom of Expression, juga membantu melindungi wartawan yang mendapatkan ancaman atas aktivitas jurnalismenya. Sementara International News Safety Institute (INSI), mengeluarkan enam belas langkah untuk keselamatan wartawan di tempat tugas. Langkah pertama yang diusulkan adalah mempersiapkan fisik dan mental, serta disarankan mengikuti kursus lingkungan berbahaya yang mencakup pelatihan dasar pertolongan pertama.
Masalah keamanan bagi jurnalis juga menyangkut prosedur atau tata cara ketika mereka melakukan tugas peliputan di tempat berbahaya. Setahu saya, menyangkut penugasan terhadap wartawan ke tempat-tempat yang berbahaya, memiliki prosedur tersendiri. Paling tidak wartawan itu harus memiliki keahlian dasar tentang survival dan search and rescue. Jangan pernah menggantungkan keamanan diri sendiri kepada pihak lain saat liputan di lapangan karena yang sangat mengetahui kondisi aman dan tidaknya suasana di tengah liputan hanyalah wartawan itu sendiri.
Jika menyangkut masalah prosedur, cara paling baik untuk memberikan rasa aman kepada wartawan adalah melalui serangkaian pelatihan yang relevan di bidang itu. Masalahnya, siapakah yang harus memikirkan masalah pembekalan pengetahuan bagi wartawan yang kebetulan akan mendapat tugas di wilayah konflik? Apakah ini menjadi tanggung jawab media tempat wartawan bekerja, ataukah tanggung jawab lembaga induk organisasi kewartawanan? Adakah lembaga sejenis di Indonesia yang rutin memberikan bekal pengetahuan dan pelatihan kepada wartawan ketika bertugas di tempat berbahaya?
Sebagai salah satu induk organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) semestinya mulai memikirkan masalah ini. Bagaimanapun, masalah keselamatan wartawan saat mereka melakukan tugas jurnalistik harus menjadi prioritas yang dipikirkan bersama.
Berbagai ancaman dan gangguan, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi akan selalu mengancam wartawan di lapangan. Karena ancaman dari pihak luar sifatnya susah diprediksi, bekal jurnalis ketika meliput di tempat konflik adalah tetap menjaga netralitas liputan dan menjunjung tinggi profesionalisme.
Namun tidak hanya sikap profesionalisme jurnalistik, wartawan juga harus memiliki keahlian di luar bidang jurnalistik, seperti cara menyelamatkan diri dari marabahaya (search and rescue). Bagaimana agar bisa bertahan hidup di tempat yang terisolasi atau bagaimana cara memberikan pertolongan pertama ketika mendapat musibah di lapangan. Keahlian-keahlian semacam ini memang tidak dipelajari dalam ”kamus” ilmu jurnalistik.
Oleh karena itu, sudah saatnya jika wartawan --terutama yang sering mendapat tugas ke tempat-tempat yang berbahaya—mempersiapkan diri dengan bidang ilmu dan keahlian di luar jurnalistik. Mengikuti pelatihan-pelatihan rutin yang diadakan oleh lembaga diluar profesi kewartawanan barangkali merupakan alternatif yang bisa ditempuh wartawan.***
Penulis, dosen di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 29 April 2010
28 April 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Perlindungan terhadap Profesi Wartawan
Perlindungan terhadap Profesi Wartawan
Thank You!