18 Maret 2010

» Home » Republika » Kekerasan Pendidikan

Kekerasan Pendidikan

Sejak ujian nasional (UN) digelar rutin setiap tahun, ada satu fenomena baru yang muncul di ranah pendidikan kita. Yakni, fenomena sekolah-sekolah negeri yang dibuka sepanjang hari. Fenomena ini merupakan kekerasan pendidikan, tapi tidak pernah didiskusikan.

Disebut kekerasan pendidikan, karena jam belajar setiap hari diperpanjang atau dilipatgandakan. Yang mendapat keuntungan hanya pihak guru-guru mata pelajaran tertentu (matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia).

Dengan mengajar sepanjang hari di sekolah, guru-guru mata pelajaran tersebut memang mendapatkan penghasilan tambahan. Pasalnya, setelah jam belajar mengajar resmi habis, dilanjutkan dengan kursus atau les tiga mata pelajaran tersebut. 

Kursus atau les sehabis jam belajar mengajar primer di sekolah demikian mengharuskan murid untuk bertahan di sekolah sepanjang hari, dan mengeluarkan biaya tambahan yang besarnya bisa sama dengan biaya sekolah resmi yang dipatok pihak sekolah. Biaya tambahan ini, jika diakumulasikan bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah per bulan yang masuk ke kantong guru-gurunya.

Dengan mendapatkan penghasilan tambahan sekitar satu juta rupiah per bulan, guru-guru mata pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia kemudian mampu membeli mobil atau rumah baru. Persetan dengan keluhan banyak murid dan wali murid yang merasa ditindas atau diperas.

Dalam hal ini, biaya sekolah menjadi semakin mahal, tapi tidak bisa ditawar lagi. Murid harus mengikuti kursus atau les jika ingin naik kelas atau lulus. Sebab, bahan pelajaran yang diberikan melalui kursus atau les itu merupakan bagian dari jatah bahan pelajaran untuk jam belajar mengajar resmi.

Dengan kata lain, kursus atau les sehabis jam belajar mengajar resmi hanya akal-akalan guru-guru (disetujui kepala sekolah) untuk memaksa wali murid membayar biaya ekstra bagi sekolah anak-anaknya. Pasalnya, bahan pelajaran yang diberikan lewat kursus atau les itu merupakan penggalan dari bahan pelajaran untuk jam belajar mengajar resmi. Atau lebih konkretnya, jatah bahan pelajaran pada jam belajar mengajar resmi sengaja hanya diberikan 50 persen, sedangkan yang 50 persen akan diberikan lewat kursus atau les.

Mafia pendidikan
Fenomena tersebut jelas menunjukkan adanya praktik mafia pendidikan yang menelan korban dari kalangan murid dan wali murid. Dalam hal ini, murid berkorban waktu sekian jam untuk kursus atau les tersebut. Sedangkan wali murid, juga berkorban uang untuk membayar biaya kursus atau les tersebut.
Seharusnya, pemerintah tidak menutup mata terhadap fenomena tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk menertibkan guru-guru yang nyata-nyata melakukan kekerasan pendidikan demi keuntungan pribadi.

Lembaga pendidikan seperti sekolah negeri juga seharusnya tidak dibiarkan menjadi sarang mafia-mafia kecil di bidang pendidikan yang sangat destruktif. Praktik menyunat jatah bahan pelajaran untuk jam belajar mengajar resmi untuk 'dijual' melalui kegiatan kursus atau les tambahan di sekolah harus disebut sebagai korupsi di ranah pendidikan. Korupsi ini sangat nista karena efek dominonya sangat destruktif bagi pembangunan sumber daya manusia untuk masa depan bangsa.

Bisa dihitung kerugian murid setiap hari akibat jatah bahan pelajaran yang disunat 50 persen. Kerugian ini berarti 50 persen waktu belajar murid disia-siakan.

Seharusnya, murid bisa pintar tanpa mengikuti kursus atau les di sekolahnya. Dan, seharusnya waktu untuk kursus atau les bisa dimanfaatkan murid untuk belajar bersosialisasi dan lain sebagainya dalam rangka pembentukan kepribadian yang baik, dan memperkaya pengalamannya dalam belajar hidup sebagai makhluk sosial.

Juga, bisa dihitung kerugian wali murid akibat dipaksa mengeluarkan biaya kursus atau les anak-anaknya di sekolah. Seharusnya, wali murid bisa menabung untuk cadangan biaya meneruskan pendidikan bagi anak-anaknya, tapi kemudian tidak bisa menabung dan akhirnya tidak bisa membiayai kuliah anak-anaknya.

Sangat layak disayangkan jika pemerintah diam saja melihat fenomena tersebut. Seharusnya, fenomena tersebut segera dihapus dari ranah pendidikan kita. Mungkin akibat dari fenomena tersebut, indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia selalu terbelakang.

Imbas UN
Fenomena kursus atau les di sekolah tersebut memang semakin populer sejak UN diwajibkan di setiap sekolah kita. Dengan alasan agar murid lulus ujian nasional, kursus atau les tambahan di sekolah kemudian juga diwajibkan untuk diikuti semua murid. Padahal, sekali lagi, murid-murid tidak mendapatkan tambahan ilmu karena ilmu yang diperolehnya dari kursus atau les di sekolah, sebenarnya bagian dari jatah bahan pelajaran yang seharusnya diterimanya pada jam belajar mengajar resmi.

Sebagai imbas UN, fenomena tersebut agaknya akan selalu dianggap wajar oleh kalangan guru. Mereka bisa berdalih untuk membantu murid agar dapat lulus UN, padahal dalam praktiknya menyiksa murid untuk lebih lama berada di sekolah, sedangkan ilmu pengetahuan yang didapatkannya sama dengan yang didapatkan murid-murid pada masa sebelum ada UN.

Oleh karena itu, masalah UN memang layak dikaji ulang secara menyeluruh, termasuk efek dominonya yang nyata-nyata memperburuk citra pendidikan kita. Dan, jika pihak pemerintah tetap ngotot menggelar UN, seharusnya tidak membiarkan munculnya kekerasan pendidikan.

Opini Republika 18 Maret 2010