18 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Menakar aura politik ulama

Menakar aura politik ulama

Belum hilang kepenatan mengikuti seremonial pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan presiden 2009, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan dengan rutinitas politik sepanjang 2010. Direncanakan dalam tempo ini tujuh 7 dari 33 provinsi dan 244 dari 498 kabupaten/kota akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Di beberapa daerah, aroma pertarungan memperebutkan kepemimpinan regional itu pun sudah mulai terasa dengan dimulainya tahapan Pilkada.

Sebagaimana dalam Pemilu legislatif maupun presiden, para politisi yang akan bertanding dalam Pilkada kembali berlomba-lomba mendekatkan diri kepada pemimpin pondok pesantren. Tidak aneh jika banyak tokoh agama yang berdiri di balik tim sukses calon tertentu, atau bahkan menjadi kandidat. Tidak jarang pula berbagai simbol keagamaan dielaborasi oleh politisi guna melegitimasi pencalonannya sebagai kandidat yang layak dipilih.

Belajar dari pengalaman lalu, keterlibatan ulama dalam perebutan kekuasaan beberapa tahun terakhir terkesan mengalami reduksi. Kepentingan politikus terhadap ulama seakan hanya terbatas pada detik-detik menjelang perhelatan politik dilaksanakan. Adapun dalam rentang waktu antara pemilihan satu dengan pemilihan lain, peran mereka “tetap” dimarjinalkan oleh otoritas kekuasaan politisi.

Dalam konteks ini, tidak ada salahnya jika merenungi kembali nasihat tulus KH Mustofa Bisri, bahwa ulama mestinya menjaga jarak dengan kekuasaan dalam membangun sebuah peradaban. Nasihat ini patut direnungkan bersama, mengingat tugas ulama yang sesungguhnya adalah mewarisi tugas Nabi (waratsah al-anbiya’) dalam mencerahkan umat manusia menuju kehidupan yang bermartabat (QS Al-Jumuah/62: 2).

Tugas inilah yang dijabarkan oleh Masykuri Abdillah (1999) dalam empat peran, yaitu mendidik umat di bidang agama dan lainnya, melakukan kontrol terhadap masyarakat, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, serta menjadi agen perubahan sosial. Superioritas empat fungsi inilah yang membuat Clifford Geertz tidak ragu untuk menempatkan ulama dalam posisi pialang budaya (cultural broker), yaitu penghubung budaya rakyat (lokal) dengan budaya asing.

Otonom

Lebih daripada itu, kebiasaan lama para politisi yang suka memajang ulama “hanya” sekadar menjadi pendulang suara pemilih tampaknya harus mulai ditata ulang. Sebab, karisma ulama sebagai referensi politik santri dalam perhelatan elektoral sudah mulai menunjukkan kepudaran. Hal ini bisa dilihat dari penelitian Komunitas Tabayyun Jawa Timur (2008) yang mencatat 57,2 persen santri tidak merasa bersalah jika pilihan politiknya berbeda dengan patron ulamanya, dan hanya 39,7 persen yang merasa sebaliknya.

Temuan Komunitas Tabayyun ini secara tidak langsung menjadi semacam antitesa dari budaya patronase yang sebelumnya melekat pada santri. Independensi pilihan santri ini justru menjadi tonggak dari tegaknya perilaku politik yang lebih banyak berpijak pada rasionalitas dan pragmatisme politik sesuai dengan realitas. Sebab, masalah perebutan jabatan memang ranah yang sarat dengan profanitas-anthroposentris, bukan teosentris yang didukung oleh kekuatan “langit”.

Independensi santri semakin menguat karena dalam panggung politik mereka juga menyaksikan dukungan para ulama kerap berbeda-beda, baik di Pemilu legislatif, Pilpres, sampai berbagai Pilkada. Pilihan ulama yang berbeda-beda ini menguatkan dan meyakinkan masyarakat bahwa pembangkangan pilihan politik terhadap ulama merupakan perilaku yang absah, dan mengganggap semua pilihan politik sama benarnya. Tidak heran jika patron politik masyarakat terhadap santri sangat otonom, dan gerakan mobilisasi ulama tidak banyak berarti.

Bukti terbaru yang sahih adalah kekalahan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pemilu presiden 2009. Meski pasangan ini didukung penuh oleh para ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, ternyata kemenangan belum berpihak kepadanya. Bahkan, di kantong-kantong kedua Ormas tersebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden ini tumbang tanpa ampun.

Menurut Prof Dr Kacung Marijan MA (2008), faktor utama “cepatnya” laju otonomi politik santri adalah banyaknya ketidakakuran dan konflik antarulama dalam berpolitik. Realitas ini secara tidak langsung membuat posisi ulama sebagai teladan dalam berbagai hal, lebih-lebih dalam dunia politik praktis, menjadi tercoreng. Mereka yang sebelumnya menempati posisi signifikan dalam struktur sosial masyarakat sebagai top opinion leader, secara berlahan mulai tergoyahkan sebagai akibat dari pertengkaran politik.

Kondisi perpolitikan yang karut-marut secara tidak langsung membuat masyarakat, dan juga santri, semakin lebih dewasa dan cerdas dalam memandang dinamika politik yang terjadi. Mereka bisa membedakan mana politisi yang benar-benar tulus membela mereka atau sekadar mencari sensasi, bukan sekadar melihat gelarnya sebagai ulama atau tidak. Masyarakat sudah memiliki rasio sendiri, sehingga korelasi antara pilihan politik ulama dengan santri sudah tidak selamanya berbanding lurus.

Di sinilah diperlukan paradigma berpolitik yang dibimbing oleh nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang luhur, yang bertujuan untuk menciptakan keselamatan bangsa dari kehancuran serta peneguhan jati diri sebagai bangsa yang bermartabat. Sehingga peran ulama yang paling kontekstual tampaknya adalah balancing power bagi the ruling power. Wilayah permainannya adalah mengalokasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikontribusikan ke dalam proses politik yang sedang berlangsung, dengan mempresentasikan diri sebagai pressure group ekstra perlemen.

Kerja pembangunan masyarakat sipil semakin mendesak untuk dilakukan, mengingat demokratisasi dan pengentasan krisis di negeri ini tidak akan berhasil jika tanpa dibarengi pembangunan peradaban alternatif. Sehingga keberadaan ulama di ekstra kekuasaan tampaknya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar dalam menegakkan supremasi kedaulatan rakyat, dengan perannya sebagai bagian liberties society. Jika mereka masih berada di luar sistem, sedikit banyak suaranya akan tetap didengarkan oleh masyarakat secara luas maupun pemegang kekuasaan sebagai imbauan yang tulus.

Justru determinisme ekonomi dan politik yang dihasilkan lewat jalur kekuasaan membutuhkan adanya perubahan budaya dan sosial, yang hanya bisa dilakukan lewat jalur kultural. Di sinilah dibutuhkan ulama yang berperan sebagai figur moral, serta memberi pencerahan untuk bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik. Tampaknya pergulatan politik kontemporer yang penuh dengan intrik, kebohongan, dan kepentingan parokhialistik bukanlah tempat yang “tepat” dan nyaman bagi ulama untuk memperjuangkan idealismenya. Allah a’lam bi al-shawab. - Oleh : Muh Kholid Asyadulloh, Aktivis Pemuda Muhammadiyah Alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo


Opini SoloPos 19 Maret 2010