KEBERADAAN baliho dan spanduk mengundang  perhatian masyarakat kota Purwokerto. Saat musim hujan tiba, ada saja  baliho yang roboh karena diterjang angin. Sampai saat ini memang belum  terdapat korban jiwa, namun kejadian itu cukup meresahkan warga. 
Purwokerto sebagai ibu kota Kabupaten Banyumas memang mengalami  perkembangan relatif pesat dibanding Cilacap, Pur-balingga, atau  Banjarnegara. 
Meski sesungguhnya keberadaan baliho di Purwokerto belum sebanyak dan  semrawut seperti halnya di kota-kota besar lain di Jawa, kasus baliho  tumbang yang nyaris terjadi setiap tahun menjadikan masyarakat merasa  cemas melintasi jalan saat angin kencang di musim hujan.
Baliho, spanduk, poster, dan billboard adalah media luar ruang (outdoor  media) yang digunakan untuk promosi produk. Jalan di tengah kota  acapkali menjadi ruang yang menarik bagi pemasangan baliho karena  dianggap strategis dan punya daya tarik untuk dilihat. 
Tidak mengherankan bila di sepanjang jalan protokol dan perempatan di  kota Purwokerto, seperti Jalan Jenderal Soedirman, Jalan Gerilya, dan  Jalan HR Bunyamin bertebaran spanduk dan baliho.  
Kota di mana pun adalah milik bersama warganya. Jalan yang berada di  tengah kota dengan demikian bukan hanya milik pemerintah dan pengusaha,  namun juga milik rakyat. Karena itu keberadaan dan pemanfaatan jalan di  tengah kota menjadi tanggung jawab bersama. 
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas mendapat keuntungan ekonomis dari  keberadaan jalan melalui retribusi parkir dan pajak reklame baliho  ataupun spanduk. Untuk itu Pemkab punya kewajiban mengatur pemasangan  baliho agar tertib, indah, dan aman. 
Sesungguhnya setiap kota memiliki aturan tentang pemasangan spanduk dan  baliho. 
Fakta di lapanganmenunjukkan teknis pemasangannya sering diserahkan  kepada perusahaan periklanan, sehingga banyak spanduk yang membentang di  jalan atau baliho yang tidak memenuhi standar keamanan. 
Gagasan untuk mengeluarkan peraturan bupati (perbup) perlu didukung agar  Purwokerto tidak menjadi kota yang semrawut. Jika perlu pengaturan  pemasangan baliho dimasukkan dalam peraturan daerah (perda) karena  menyangkut pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor reklame. 
Perda baliho juga dapat mengatur tentang zona peruntukan dan larangan  serta mekanisme pengawasan, penertiban, dan sanksi yang dapat dilakukan  oleh Pemkab. Standar pemasangan baliho yang aman dapat diatur dalam  perda tersebut.
Dalam beberapa kasus robohnya baliho, masyarakat yang menjadi korban  tidak memperoleh ganti rugi dan santunan. Padahal masyarakat juga telah  membayar pajak kepada pemerintah sehingga punya hak untuk melintas di  jalan dengan nyaman dan aman. 
Siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab bila baliho tumbang  menimpa bangunan dan rumah warga di dekatnya atau menimpa orang yang  sedang melintas di jalan? Apakah Pemkab yang telah memungut pajak  reklame, ataukah pengusaha yang memasang iklan produk di baliho?
Ciri Metropolis Kalangan pengusaha kurang begitu antusias menanggapi wacana pengaturan  pemasangan baliho. Bagi mereka, baliho tetap merupakan media promosi  produk yang efektif. Bahkan ada pengusaha yang justru menganggap baliho  sebagai ciri kota metropolis. Artinya, semakin banyak baliho berdiri  kokoh di kota Purwokerto, akan membuat Purwokerto mempunyai daya tarik  bisnis. 
Ada yang dilupakan kalangan pengusaha, bahwa perkembangan kota tidak  hanya diukur dari capaian ekonomisnya. Kota memerlukan keharmonisan  antara lingkungan ekonomis (econosphere) dan lingkungan sosial  (sociosphere ). 
Apalah artinya kota yang sarat dengan baliho, jika tingkat kesejahteraan  masyarakatnya rendah dan angka pengangguran masih tinggi. Kerawanan  sosial akan menjadi ancaman bagi kota metropolis yang mengabaikan  lingkungan sosialnya.
Hasil penelitian Urban Graffiti sebagai-mana diungkap Newsweek, 9  September 1991, misalnya menunjukkan betapa kota-kota metropolitan di  beberapa negara tidak menampakkan gambaran ideal. Sebanyak 32 % penduduk  Amerika Serikat tinggal di kota, tetapi hanya 13% yang menganggap kota  sebagai tempat hunian yang diinginkan. 
Oleh sebab itu, Frederick Gibberd menyatakan, kalau kita melihat  kota-kota jangan hanya melihat jalan yang mulus, gedung-gedung atau  baliho di sepanjang jalan. 
Banyak penduduk yang diam di kawasan kumuh yang akan me-warnai kehidupan  kota.(lihat: Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota, He-lianto,  1997:33)
Purwokerto memang tidak sebesar Jakarta, apalagi metropolitan seperti  New York. 
Purwokerto hanyalah kota kecil yang sedang tumbuh berkembang. Namun jika  keberadaan baliho tidak diatur dengan baik maka akan menjadi kota yang  carut-marut.(10)
— Chusmeru, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed
Wacana Suara Merdeka 19 Maret 2010
18 Maret 2010
» Home » 
Suara Merdeka » Aspek di Balik Keberadaan Baliho
Aspek di Balik Keberadaan Baliho
Thank You!