26 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Wong Solo, Sepak Bola, dan Persis

Wong Solo, Sepak Bola, dan Persis

KAMIS, 14 Januari 2010. Stadion Manahan Solo diguyur rintik hujan. Kecewa tampak menggelantung di wajah suporter Pasoepati lantaran tim pujaannya keok melawan Pesiba Bantul 0-1.

Lumrah bila kekalahan tipis ini bikin mereka sedih, karena Persis saban main di kandang sendiri kerap menggetarkan gawang musuh.


Hal ini diakui oleh Edward ”Edu” Tjong, pelatih Persiba, kalau tim berjuluk Laskar Samber Nyawa ini sering bermain indah manakala merumput di kandangnya sendiri.

”Fighting spirit Persis memang luar biasa jika main di kandang, karena itu saya ingatkan kepada anak-anak agar waspada,” kata pelatih itu.

Olahraga yang paling menyatu dan digemari masyarakat Solo adalah sepak bola. Ini dibenarkan oleh Yon Moeis. Jurnalis itu, yang juga pengamat sepak bola kenamaan dalam esainya yang menantang,

Arseto, Persis, dan Sepak Bola Tak Boleh Mati di Solo, mengatakan, gol-gol indah yang dipersembahkan anak-anak Arseto, Pelita Jaya, dan Persijatim membuktikan sepak bola tak pernah mati di Solo.

Padahal dugaan Yon Moeis semula, pascagulung tikarnya Arseto yang diumumkan langsung oleh Sigit Harjojudanto bakal tak bisa lagi menikmati suguhan sepak bola di Solo karena tiada lagi klub yang bermarkas di Kota Bengawan.

Fenomena kegandrungan dan kesetiaan masyarakat Solo terhadap sepak bola dilukiskan sebagai-meminjam istilah Sindhunata dalam bukunya Air Mata Bola-burung phoniex.

Dalam dongeng, burung phoenix itu berusia lima abad, lalu ia membakar dirinya, dan dari abunya muncul burung phoenix yang baru. Jika kesetiaan itu gagal dan tenggelam menjadi abu, maka dia akan menjadi kesetiaan yang anyar.

Dari zaman ke zaman, kesetiaan wong Solo selalu diuji. Jadi, meski beberapa kesebelasan bukan asli Solo hanya mampir ke kotanya, tetap saja memperoleh ruang di hati warga. Sebetulnya, sejak kapan Solo mempunyai tim sepak bola sendiri?

Lembaran sejarah lokal mencatat, kali pertama permainan si kulit bundar ini datang ke Solo dibawa oleh tentara KNIL yang bermukim di timur Benteng Vastenburg tahun 1903. Saban sore mereka bermain bola di alun-alun selatan.

Mulanya, kaum pribumi sebatas penonton saat para tuan kulit putih itu merumput, tapi lama-kelamaan timbul hasrat bersepak bola.

Maka, dibentuk perkumpulan sepak bola. Klub sepak bola merebak bagai jamur.

Sebut saja, ada Romeo yang beranggotakan aristokrat Keraton Kasunanan, Mars diisi para ambtenar atau pegawai negeri pemerintah Belanda, De Leeuw milik buruh cap batik Laweyan beserta putra juragannya, dan Hisboel Waton (HW) khusus untuk kalangan Muhammadiyah.
Ada kegelisahan menyelinap di hati petinggi klub itu.

Mereka menghendaki dibentuk suatu ikatan perkumpulan sepak bola yang mengatur berbagai perkumpulan klub pribumi yang telah ada. Kegelisahan mereka cukup beralasan lantaran waktu itu semangat nasionalisme begitu menggema dan tingginya sikap antikolonialisme sehingga ingin menekankan rasa persatuan.

Kemudian lahirlah Voerstenlandensche Voetbal Bond (VVB), yang ditugasi mengurusi beberapa tim kesebelasan pribumi dan rutin menyelenggarakan pertandingan. Berkat kariernya yang gemilang, pada tahun 1924 VVB diberi hadiah oleh Boedi Oetomo berupa piala bergilir dan medali.

Selepas digelar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, rupanya rasa nasionalisme kian membengkak di Hindia Belanda. Nama VVB pun diganti, dinilai tak sesuai dengan jiwa keindonesiaan.

Persatuan Sepak Bola Indonesia Surakarta (Persis) adalah nama barunya. Dalam laporan riset Tri Mulyati (1999) ditulis, tahun 1933 Paku Buwono X memberi izin kepada Persis untuk menggunakan Stadion Sriwedari, selain dipakai tempat latihan perkumpulan sepak bola Belanda atau VBS.

Guna memasyarakatkan sepak bola sekaligus menginformasikan kegiatan Persis ke publik, diterbitkan koran Berita Opsil. Koran ini tidak hanya berisi pengurus dan apa saja agenda Persis, namun juga menghidangkan bermacam teknik dan taktik bermain bola.

Tahun 1930-an, dinamika persepakbolaan di kota tersebut semakin hidup. Dukungan menguat setelah Persis berulang kali mempersembahkan piala PSSI spesial untuk Kota Solo.

Saat bertanding di Semarang (1935), Bandung (1936 dan 1941), Yogyakarta (1936), dan Solo (1940), Persis berhasil menyabet juara pertama.

Para pemain yang jempolan antara lain Maladi, Sukiman, Sumargo, Sukemi, Handiman, Suwarno, Sidhi, Suharno, Sutenggi, dan Jasid, serta Sutris.

Bagaimana Persis tidak kian memesona wong Solo, sementara banyak anggota timnya yang mengharumkan nama Solo di blantika sepak bola Indonesia.

Sungguh sayang, dari hari ke hari obor prestasi Persis meredup. Tidak jarang saban pertandingan menuai hasil jeblok. Persis kini tak ubahnya raksasa di masa lalu.

Manajemen bertambah nelangsa dengan tidak memperolehnya kucuran dari APBD. Ironis, nasib kantong pemain Persis ditentukan oleh hasil penjualan tiket.  (10)

— Heri Priyatmoko, kolumnis Solo Tempo Doeloe, anggota Studi Perkotaan Balai Soedjatmoko Solo
Wacana Suara Merdeka 27 Januari 2010