26 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Minimnya Bagi Hasil Blok Cepu

Minimnya Bagi Hasil Blok Cepu

EKSPLOITASI minyak bumi dari wilayah Blok Cepu sudah setahun lebih dilaksanakan. Saat ini produksinya baru mencapai 13.000 barel per hari, meleset dari proyeksi awal yang ditargetkan bisa 20.000 barel pada pertengahan 2008. Adapun total produksi minyak selama ini baru mencapai 1 juta barel lebih.

Molornya target produksi minyak oleh ExxonMobil, selaku operator, mengundang reaksi sejumlah pihak, termasuk pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pemerintah menilai ExxonMobil tidak mampu merealisasikan proyeksi produksi yang disepakati bersama antara operator dan pemerintah dalam joint operating agreement (JOA).


Pemerintah berang karena melesetnya target produksi minyak Blok Cepu bisa memengaruhi beberapa hal. Di antaranya  tersendatnya pasokan kebutuhan energi minyak nasional, mengingat diproyeksikan minyak Blok Cepu bisa memasok 30% kebutuhan energi minyak dalam negeri. Selain itu, kemunduran target produksi juga membuat biaya produksi (cost recovery) membengkak dan juga memperlambat penerimaan dana bagi hasil (DBH) oleh pemerintah daerah.

Bagi pusat, molornya target produksi minyak ini sangat merugikan. Demikian halnya bagi Pemprov Jawa Timur (Jatim) dan Pemkab Bojonegoro, mengingat sebagian besar lokasi sumur minyak berada di sana. Semakin produksi mundur, semakin lambat mereka menerima DBH yang nilainya tentu besar.

Namun bagi warga Jawa Tengah (Jateng), termasuk Kabupaten Blora, kemunduran ini merupakan kesempatan untuk melakukan penataan ulang dan memperjuangkan perubahan mekanisme pembagian dana bagi hasil yang ternyata menyimpan masalah besar jika saat ini direalisasikan apa adanya.

BUMD

Sebelum megaproyek ini dilaksanakan, masyarakat dan Pemprov Jateng, terlebih masyarakat dan Pemkab Blora, menaruh harapan besar. Proyek ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan ekonomi daerah.

Blora yang hingga kini menjadi kabupaten termiskin di Jateng dengan pendapatan perkapita hanya Rp 3,3 juta berharap proyek ini bisa membantu mengeluarkan masyarakatnya dari belenggu kemiskinan. Begitu halnya dengan daerah-daerah lain di Jateng yang berharap kecipratan berkah Blok Cepu berupa sharing DBH dan multiplier effect eksploitasi itu.

Harapan ini sebenarnya tidak muluk-muluk. Sebab, ada dua sumber pendapatan yang bisa diperoleh Jateng dan Blora jika proyek ini berjalan. Pertama, sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemprov bisa memperoleh bagi hasil 3%, Kabupaten Blora 6%, kabupaten lain di Jateng  6% dan 0,5% untuk pendidikan di Jateng. Tentu persentase ini sangat bernilai mengingat Blok Cepu diperkirakan mempunyai cadangan  1,4 miliar barel minyak dan 2 triliun kaki kubik gas bumi. Sementara kontrak kerja sama (KKS) akan berlangsung sampai tahun 2035.

Kedua, sesuai UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah daerah bisa memiliki participating interest (PI) dalam KKS 10% yang akan dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD). Setelah dinegoisasikan, Blora memiliki 2,1% PI, Jateng 1,0%, dan sisanya milik Bojonegoro 4,4% serta Jatim 2,2%.

Hal ini pulalah yang akhirnya mendasari Pemkab Blora membentuk BUMD PT Blora Patragas Hulu (BPH) dan Pemprov Jateng membentuk BUMD PT Sarana Patra Hulu Cepu (SPHC).

Pada tahap awal, Blora harus mengucurkan modal Rp 700 miliar dalam bisnis ini dengan menggandeng financial partner dan Jateng juga mengucurkan dana sekitar Rp 350 miliar. Jumlah ini masih akan bertambah mengingat dana tersebut hanya digunakan untuk membiayai produksi sumur Banyuurip di Bojonegoro, sementara sumur-sumur lain belum dihitung kebutuhan dananya.

Setelah setahun lebih Blok Cepu berproduksi, tidak semua mimpi serta harapan masyarakat Jateng dan Blora terpenuhi. Bagi hasil yang diterima daerah belum bisa direalisasikan sepenuhnya. Jateng dan Blora baru menerima transfer pembagian keuntungan dari PI yang nilainya sangat kecil, yaitu Rp 2,7 miliar untuk Jateng dan Rp 5,4 miliar untuk Blora pada Desember 2009.

Untuk kasus Blora, dana Rp 5,4 miliar tersebut masih akan dibagi dengan financial partner yang selama ini membiayai investasi di Blok Cepu.
Kecilnya nilai pembagian keuntungan PI ini disebabkan masih rendahnya angka produksi minyak dari Blok Cepu. Jika produksi minyak nanti telah mencapai puncaknya, yaitu 165.000 barel per hari yang diperkirakan mulai 2014, dalam setahun Jateng dan Blora bisa menerima pembagian keuntungan PI sebesar 4 kali lipat dari jumlah yang diterima saat ini.

Namun jumlah tersebut tetap kecil nilainya jika dibandingkan dengan jumlah modal yang telah disertakan dan besarnya harapan masyarakat Jateng terhadap proyek tersebut. Di sinilah titik permasalahan itu akan muncul, di mana harapan masyarakat yang besar tidak bisa terpenuhinya dalam eksploitasi Blok Cepu.

Jateng, Blora dan kabupaten lain yang semula berharap mendapat bagi hasil migas dari dana perimbangan, kini harus menahan harapan tersebut. Padahal, bagi hasil dari dana perimbangan itulah yang sebenarnya bisa mengangkat perekonomian Jateng dan Blora karena nilainya yang besar. Di sinilah sebenarnya titik pangkal permasalahan bagi hasil Blok Cepu bagi Jateng, Blora dan kabupaten lainnya.

Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa bagi hasil pertambangan migas diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang wilayahnya sedang dieksploitasi.

Masalahnya, saat ini eksploitasi minyak bumi baru dilaksanakan di sumur Banyuurip yang masuk wilayah Bojonegoro, Jatim. Sementara untuk sumur minyak dan gas bumi yang ada di Blora baru memasuki tahap eksplorasi dan belum diketahui kapan akan dimulai tahap ekspoitasinya. Di samping itu, cadangan migas memang sebagian besar (75%) berada di wilayah Bojonegoro, dan sisanya berada di Blora.

Jika aturan bagi hasil ini diterapkan apa adanya, sudah pasti Jateng dan Blora dalam waktu dekat ini tidak akan mendapatkan bagi hasil pertambangan migas yang bersumber dari dana perimbangan. Padahal, selama ini harapan kita bersama, Jateng dan Blora ikut mendapat kucuran bagi hasil dari dana perimbangan yang nilainya besar.

Jateng dan Blora hanya akan mendapatkan pembagian keuntungan PI yang nilainya kecil. Sementara bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan hanya akan dinikmati oleh Jatim, Bojonegoro dan kabupaten-kabupaten lain di Jatim. Masyarakat Jateng dan Blora hanya akan menerima dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan eksploitasi Blok Cepu ini.

Jika tidak diantisipasi sejak dini, kejadian seperti ini bisa memunculkan konflik sosial dan sentimen kedaerahan. Masyarakat Jateng dan Blora yang sudah menanamkan investasi besar akan dirugikan secara ekonomi. Sementara kabupaten-kabupaten di Jatim yang tanpa mengeluarkan modal apa pun akan menerima bagi hasil pertambangan migas Blok Cepu dari dana perimbangan.

Saat ini saja, di Kabupaten Blora mulai berkembang wacana untuk bergabung menjadi bagian dari Provinsi Jatim. Sebab, masa KKS yang berlaku sampai tahun 2035 menjadikan Blora bisa makmur jika secara adminstratif berada di wilayah Provinsi Jatim. Selain itu, Blora juga sudah mengikutsertakan modal yang tidak sedikit.

Pemerintah pusat mestinya memandang persoalan ini sebagai masalah serius. Belum ada kata terlambat untuk mengatasinya. Beberapa langkah mestinya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjembatani persoalan serius ini. Misalnya adalah dengan meninjau ulang Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 agar lebih memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat di kedua provinsi.

Kalaupun hal ini dirasa berat dan memakan waktu lama, Depkeu harus melakukan terobosan hukum agar bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan Blok Cepu bisa dinikmati oleh masyarakat di kedua provinsi. Terobosan itu misalnya dengan adanya deviasi terhadap UU Nomor 33 Tahun 2004 atau perangkat hukum di bawahnya. Pemprov Jateng dan Pemkab Blora bisa mengajukan untuk mendapatkan bagi hasil sebesar 1% dari dana perimbangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat.

Langkah ini bukanlah hal mustahil. Sebab, kasus pertambangan migas di Blok Cepu memang berbeda dari eksplorasi di blok-blok lain. Wilayah Blok Cepu meliputi dua provinsi, Jatim dan Jateng, sementara blok-blok lain biasanya hanya berada dalam satu provinsi saja. Inilah yang seharusnya mendorong pemerintah pusat menerapkan kebijakan berbeda dalam kasus pertambangan Blok Cepu.

Hal ini sebetulnya juga merupakan konsistensi dari terlibatnya Jateng dan Jatim dalam kepemilikan saham bersama dalam PI Blok Cepu sebesar 10%. Sehingga pun jika sumur minyak yang ada di Blora kelak dieksploitasi oleh ExxonMobil, Jatim dan Bojonegoro juga akan mendapatkan bagi hasil dari dana perimbangan 1%. Ide ini adalah sebagai jembatan kepentingan ekonomi dua daerah yang sebetulnya hanya dibatasi oleh aliran Sungai Bangawan Solo.

Langkah berikutnya adalah mendorong eksplorasi dan eksploitasi lapangan gas Jambaran agar dilaksanakan di wilayah Kabupaten Blora. Sebab, lapangan gas Jambaran ini letaknya di antara Blora dan Bojonegoro. Jika nanti mulut sumurnya berada di Bojonegoro, lagi-lagi masyarakat Jateng dan Blora akan dirugikan.(10)

— Kunarto Marzuki, peneliti LPAW Blora, penulis Buku Migas Blok Cepu untuk Pengembangan Sosial-Ekonomi Lokal
Wacana Suara Merdeka 27 Januari 2010