Janpatar Simamora
Dosen Fakultas Hukum UHN Medan, sedang studi lanjut di Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Maraknya perilaku korup di kalangan pejabat publik belakangan ini tentu membuat gerah semua elemen bangsa. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah memberikan catatan khusus bagi pemberantasan korupsi dengan menempatkannya sebagai prioritas dalam program kerja kabinetnya. Tentu langkah ini mengindikasikan betapa akutnya implikasi yang diakibatkan oleh perilaku korup.
Penderitaan berkepanjangan, kesengsaraan dan kemelaratan publik adalah karya nyata dari perilaku korupsi. Oleh karena itu, maka perang terhadap korupsi harus dilakukan secara berjamaah dan menjadi harga mati yang harus diperjuangkan. Tidak ada yang dikaryakan perilaku korup selain hanya kebahagiaan segelintir orang di atas penderitaan banyak pihak.
Dalam rangka mengintensifkan pemberantasan korupsi, maka pemerintah pun telah mendesain sedemikian rupa sistem pemberantasannya dengan membentuk lembaga pemberantasan korupsi (KPK). Namun dalam perjalanannya, ternyata tidak jarang pula gebrakan itu justru tersendat hanya karena perangkat hukum yang tidak turut mendukung.
Maka tidak pelak lagi, penanganan korupsi di Tanah Air justru terkesan tebang pilih. Karena faktanya, tidak sedikit yang lolos dari jeratan hukum walaupun telah ditemukan fakta hukum bahwa telah terjadi penyalahgunaan uang rakyat. Kondisi yang demikian tentu tidak menutup kemungkinan menjalarnya virus korupsi sampai ke tingkat daerah. Wabahnya semakin merambah ke sel-sel dan organ-organ negara hingga ke pelosok nusantara.
Berlindung di Balik Jubah Hukum
Tebang pilih yang begitu faktual begitu gamblang ditemukan, khususnya ketika yang menjadi tersangka adalah para raja-raja kecil di daerah. Sementara aparat penegak hukum sendiri justru tidak jarang berlindung di balik jubah hukum yang selama ini menjadi senjata pamungkas para kepala daerah yang dililit kasus-kasus korupsi.
Jubah hukum itu bernama izin tertulis dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan wakilnya. Inilah yang selama ini membuat para kepala daerah memperoleh hak imunitas (kekebalan) terhadap proses hukum. Rumitnya perolehan izin dari Presiden di samping akan menelan waktu yang tidak sedikit, tidak jarang justru dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk melakukan lobi-lobi dan deal-deal terhadap aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga kejaksaan.
Maka sebagai konsekuensinya, tidak sedikit perkara korupsi yang menimpa pejabat publik di daerah justru tersendat dan bahwa terkesan dipetieskan. Di sisi lain, aparat penegak hukum sendiri begitu rentan dengan alibi bahwa telah dilakukan pengajuan izin pemeriksaan terhadap kepala negara, tetapi faktanya hampir tidak ada yang tahu pasti bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi adalah pembohongan publik. Inilah celah yang selalu dimanfaatkan untuk menciptakan opini publik bahwa pemberantasan korupsi telah dilakukan secara maksimal, tetapi terhambat oleh perangkat hukum yang ada.
Namun kini, pembangunan opini publik dan desain pemberantasan korupsi yang penuh intrik itu akan terbongkar habis. Pasalnya, dalam hal pemeriksaan kepala daerah dan wakilnya yang terindikasi telah melakukan perbuatan korup, maka izin Kepala Negara tidak lagi menjadi syarat mutlak.
Hal ini seiring dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09/BUA/HS/SP/IV/2009 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia yang memberikan petunjuk terhadap pelaksanaan Pasal 36 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Intinya bahwa surat edaran tersebut menegaskan pasal yang mengatur masalah izin dari Presiden harus ditafsirkan hakim dengan mempertimbangkan ada tidaknya permintaan persetujuan yang dilakukan oleh penyidik. Bila ternyata surat permintaan sudah diajukan dan lewat dari batas waktu 60 hari, tapi izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari Presiden juga belum turun, maka kejaksaan langsung dapat melanjutkan proses hukumnya.
Wasiat Sakti
Tentu surat edaran MA ini akan menjadi wasiat sakti dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air, khususnya di tingkat daerah. Dalil yang selalu digembor-gemborkan aparat penegak hukum selama ini terkait dengan perangkat hukum yang menjadi kerikil tajam pemberantasan korupsi, kini sudah membuka pintu lebar-lebar.
Meski demikian, langkah pemberantasan korupsi sangat diharapkan tidak berhenti sampai di sini. Tahapan lebih lanjut untuk mengefektifkan penanganan perkara korupsi di daerah perlu untuk dimaksimalkan dengan mengambil langkah berikutnya.
Pertama adalah meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat wasiat sakti ini. Karena bagaimanapun, jabatan publik memiliki tingkat urgensitas yang amat tinggi. Kalau kemudian terjadi kesalahan dalam prosedurnya, maka publik juga yang akan menanggung implikasi buruknya. Sebab, pelayanan publik akan mengalami gangguan dan proses pembangunan juga akan menemui jalan serbabuntu.
Berikutnya adalah menyinergikan perangkat hukum yang ada dengan menindaklanjuti surat edaran MA dimaksud. Hal ini bisa dipermanenkan dengan membentuk peraturan pemerintah terkait dengan izin pemeriksaan kepala daerah. Peraturan pemerintah dimaksud diharapkan mampu mengakomodasi dan membentuk skala prioritas dalam penanganan korupsi. Misalnya dengan mengedepankan kasus-kasus korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Sementara bila hanya sebatas perbuatan moral, maka perlu dikaji prosedur pemeriksaan yang lebih ketat. Intinya jangan sampai implikasi buruk lebih mendominasi penanganan berbagai kasus hukum di tingkat daerah.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa aib pejabat publik di daerah adalah juga menjadi bagian dari aib daerah yang bersangkutan termasuk warganya. Namun, patut dicatat bahwa alibi ini jangan sampai menempatkan kepala daerah keluar dari prinsip aqulity before the law, apalagi saat ini imunitas (kekebalan hukum) kepala daerah telah tumbang akibat dari wasiat sakti dari MA
Opini Lampung Post 27 Januari 2010