26 Januari 2010

» Home » Lampung Post » Nasib Kepemimpinan Ide Pasca-Gus Dur

Nasib Kepemimpinan Ide Pasca-Gus Dur

Jamal Ma'mur Asmani
Peneliti Cepdes (Center for Pesantren and Democracy Studies) Jakarta
Muktamar ke-31 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Maret 2010 nanti memikul tanggung jawab besar untuk meneruskan kepemimpinan ide yang sudah dirintis Gus Dur. Sejak dipimpin Hasyim Muzadi pada waktu Muktamar ke-29 dan 30, kepemimpinan NU beralih dari kepemimpinan ide ke kepemimpinan politis. Hasyim terlalu jauh membawa NU masuk dalam konstelasi politik praktis.
Klimaksnya ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri. Keterlibatannya dalam berbagai event pilkada khususnya Pilgub Surabaya sangat kentara. Keberpihakan Hasyim Muzadi kepada Khofifah Indarparawansa menjadi indikator nyata terseretnya NU dalam arus politik praktis.


Implikasinya sangat jauh sampai ke bawah, bahkan ranting. Mentalitas dan frame thinking pengurus NU sekarang ini serbapolitik oportunis. Dalam arti selalu memanfaatkan momentum politik untuk memperkuat bargaining position yang kerap berujung pada materialisme pragmatis yang jelas menyimpang dari khitah NU yang mewajibkan pengurus NU bersih dari tarikan politik praktis.
Sudah saatnya jajaran pengurus NU, khususnya mereka yang mempunyai hak suara untuk memilih puncak pimpinan syuriyah dan tanfidziyah yang sudah terbukti memegang khitah sebagai acuan berpikir, bersikap, mengambil keputusan, dan berjuang demi kemajuan warga NU. Lebih dari itu, pemimpin puncak NU nanti haruslah mereka yang mampu menjadikan NU sebagai kekuatan civil society yang bergerak di bidang dinamisasi pemikiran, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, peningkatan kualitas pendidikan, advokasi TKI, buruh, pedagang kaki, concern pada pembinaan UKM, dan mendorong terciptanya kemandirian nasional berbasis lokal dengan memanfaatkan aset-aset lokal sebagai sumber pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
NU sebagai kekuatan utama civil society harus didukung dengan kepemimpinan yang berbasis ide yang bisa memberikan pencerahan, menyulut api intelektualisme, dan mengkristalkan diri dengan aksi sosial yang terorganisasi secara sistematis, struktural, dan fungsional, bukan gerakan sosial yang hanya sesaat sesuai pesanan sponsor, sekali kerja langsung habis tanpa ada aspek transformasi sosial kemasyarakatan dalam jangka panjang.
Semangat intelektualitas tasfwirul afkar yang digagas oleh K.H. Wahab Hazbullah sebagai salah satu embrio lahirnya Nahdlatul Ulama mendesak untuk digalakkan kembali mengingat semangat intelektual dalam tubuh NU sekarang ini benar-benar mengendor jauh ke belakang. Apalagi pascawafatnya Gus Dur, gerakan ide semakin meredup.
Gus Dur meneruskan semangat tasfwirul afkar itu sehingga melahirkan kader-kader muda potensial yang tidak gamang masuk dalam arus transformasi pemikiran pada level nasional dan internasional. Gus Dur mampu mengilhami anak-anak muda NU untuk masuk dalam gelanggang pemikiran modern yang biasa didominasi intelektual kota sehingga ada kepercayaan diri dan keyakinan yang kuat untuk berani tampil dengan modal tradisi yang kuat dan mantap, hasil tempaan di pesantren dan madrasah NU.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (2009) yang sekarang ini menjabat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, dalam berbagai kesempatan menyampaikan mengenai peran besar Gus Dur dalam menggerakkan gerbong Islam marginal yang ada di perdesaan untuk masuk dalam arus besar pemikiran kota. Gus Dur laksana lokomotif besar yang memfasilitasi tampilnya para santri dalam jagat intelektualisme metropolis yang kompetitif dan transformatif.
Mampukah NU pada Muktamar nanti meneruskan kepemimpinan berbasis ide yang telah diwariskan Gus Dur? Tidak mudah menjawab dan memprediksi apa yang akan terjadi dalam Muktamar nanti. Namun harus diakui, calon-calon yang ada masing-masing ada kekurangan dan kelebihan. Said Aqil Siraj mempunyai modal intelektual yang mempuni dalam konteks keislaman, Masdar F. Masudi mempunyai segudang wacana kemodernan, Sholahuddin Wahid mempunyai pengalaman relasi, sosial, dan darah biru, Selamet Effendi Yusuf mempunyai kapasitas manajemen yang andal, dan Ulil Abshar Abdalla mempunyai modal pendidikan Barat yang memadai.
Setiap calon mempunyai spesifikasi dan spesialisasi yang tidak ada pada calon yang lain. Lepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, Said Aqil Siraj mempunyai keunggulan yang lebih banyak dibanding calon lain. Selain bermodal Doktor dari Timur Tengah, Said lekat dengan pesantren yang ditunjukkan dengan kemampuan tradisi kepesantrenan yang mendalam. Selain pernah mengaji di Pondok Pesantren Lirboyo yang merupakan pondok besar di Kediri Jawa Timur, Said juga pernah di Krapyak Yogyakarta. Bahasa komunikasi Said juga lebih general, baik kepada akademisi di forum seminar, maupun kepada para santri, kiai, dan warga NU dalam forum pengajian dan lesehan. Kesan liberalisme pemikiran mungkin tidak begitu menonjol pada diri Said karena bangunan pemikirannya berbasis tradisi kepesantrenan dan ketimurtengahan.
Tentu hal ini berbeda dengan Masdar dan Ulil yang memang terkenal dengan pemikiran kontroversialnya mengenai zakat dan pajak dan jaringan Islam liberal. Walaupun begitu, Masdar dan Ulil adalah aset sangat berharga NU yang harus diakomodasi untuk membangkitkan dunia intelektualitas warga NU, khususnya kader-kader mudanya. Mereka berdua mempunyai segudang wacana pemikiran berkualitas dunia untuk mendinamisasi potensi intelektualitas warga NU di berbagai aspek keilmuan. Kader-kader berkualitas NU seperti mereka tidak boleh dijauhi dan dibuang. Mereka harus dimasukkan secara struktural mengingat tantangan besar sekarang ditengah kompetisi dunia yang datang bertubi-tubi.
Mungkin yang harus diklarifikasi dari Said adalah kesan syiahnya yang pernah menjadi polemik berkepanjangan warga NU pascakepulangannya dari studi doktoralnya di Timur Tengah. Said harus membuktikan diri bahwa ia tidak membawa misi syiah ke dalam NU, tapi benar-benar konsisten memperjuangkan paham ahlissunnah waljama'ah agar terpelihara dalam komunitas warga NU dan bangsa ini secara umum.
Lepas dari persoalan suksesi di atas, NU ke depan memang membutuhkan pemimpin puncak di syuriyah dan tanfidziyah yang benar-benar konsisten memegang khitah dan menerjemahkannya secara dinamis, progresif, dan produktif dalam ranah perjuangan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Khitah tidak cukup dipahami, diresapi, dan dihafalkan secara pasif. Khitah butuh dimanifestasikan dalam praktek secara dinamis, apakah itu di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dakwah, politik kebangsaan, dan lain-lain. Menurut K.H. Muchith Muzadi (2008), fungsi khitah adalah sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta setiap proses pengambilan keputusan.
Akhirnya kita berharap semoga pada Muktamar ke-31 nanti, NU benar-benar memenuhi harapan publik yang menantikan kontribusi besarnya dalam pembangunan negara dan bangsa ditengah krisis moral, mental, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang bersumber dari penyelenggaraan negara yang korup, matrealis, hedonis, sekuralis, dan konsumeris. Lagi-lagi jangan sampai NU hanya digunakan segelintir orang untuk kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengorbankan komunitas NU secara keseluruhan. Keteladanan pengurus NU sangat diharapkan demi realisasi agenda dan cita-cita besar ini.

Opni Lampung Pos 27 Januari 2010