26 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Rapor merah 100 hari SBY-Boediono

Rapor merah 100 hari SBY-Boediono

Akhir bulan Januari ini, pemerintahan SBY–Boediono memasuki usia 100 hari. Itu artinya momentum untuk menagih janji terhadap realisasi program kerja 100 hari pemerintahan SBY–Boediono telah tiba.

Tentu publik sudah mendapatkan gambaran umum menyangkut kondisi riil pemerintahan saat ini. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menghubungkan realita yang ada dengan janji-janji politik SBY–Boediono.
Semenjak terpilihnya pasangan kolaborasi elite Parpol (SBY) dengan teknokrat (Boediono) ini, ada janji-janji manis yang pernah dikemukakan. Pada masa awal keterpilihannya, SBY–Boediono mencoba meyakinkan ratusan juta rakyat negeri ini dengan menciptakan program kerja dalam hitungan hari. Ketika itu, presiden yang sudah memasuki periode kedua ini mengagendakan untuk meletakkan lima strategi pokok pembangunan yang menjadi prioritas utama pemerintahannya selama lima tahun mendatang.


Kelima strategi dimaksud adalah, pertama, melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya menciptakan good government dan good corporate governance. Sementara yang ketiga adalah demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa.
Kemudian diikuti dengan yang keempat, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi. Serta yang terakhir, kelima, adalah belajar dari pengalaman yang lalu dan dari negara-negara lain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi segenap komponen bangsa.
Selanjutnya, dari lima strategi tersebut, kemudian dikembangkan menjadi 13 program kerja yang meliputi, melanjutkan program pendidikan nasional, kesehatan masyarakat, program penuntasan kemiskinan; menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia; melanjutkan program pembangunan infrastruktur perekonomian Indonesia; meningkatkan ketahanan pangan dan swasembada beras, gula, jagung, dan sebagainya.
Selanjutnya menciptakan ketahanan energi dalam menghadapi krisis energi dunia; menciptakan good government dan good corporate governance; melanjutkan proses demokratisasi; melanjutkan pelaksanaan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; pengembangan teknologi; perbaikan lingkungan hidup; dan pengembangan budaya bangsa.
Ketigabelas program inilah yang kemudian disebut sebagai program 100 hari pemerintahan SBY–Boediono. Sesuai dengan namanya, maka program ini diagendakan akan membuahkan hasil, setidaknya mampu menunjukkan embrio keberhasilan. Dan tidak tanggung-tanggung, SBY pun merangkul seluruh Parpol koalisi di pemerintahannya dalam rangka meletakkan program ini pada landasan yang kokoh.

Politik pencitraan
Namun, fakta justru berkata lain. Harapan akan adanya perubahan secara signifikan dalam tenggang waktu 100 hari awal pemerintahannya justru tidak berbuah kenyataan. Secara global, program tersebut masih berada pada titik yang semu dan stagnan. Ternyata angin surga perubahan yang dijanjikan pada awal pemerintahannya tak lebih dari sekadar politik pencitraan.
Bahkan kalau mau jujur, pemerintahan SBY–Boediono saat ini justru semakin berada pada titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Hampir tidak ada sinyal-sinyal yang menunjukkan akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya justru kegagalan yang sudah menganga di depan mata.
Realitas kehidupan berbangsa saat ini menjadi alasan yang cukup kuat atas pernyataan dan penilaian tersebut. Lihat saja berbagai sentimen-sentimen negatif yang menggerogoti legitimisi institusi pemerintahan. Kepercayaan publik menurun tajam akibat konflik Bibit-Chandra (unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) dengan polisi. Keadilan telah terluka cukup dalam akibat kasus Prita Mulyasari dan Minah. Dan beberapa kasus ketidakadilan lainnya dengan korban rakyat kecil.
Demikian juga dari sisi ekonomi. Kondisi riil kehidupan publik sontak semakin merana karena berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Di berbagai daerah, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji sudah digalakkan, namun faktanya rakyat justru menjadi korban akibat ketidaksiapan pemerintah. Belum lagi dengan persoalan jumlah pengangguran tenaga terdidik yang semakin menggunung.

Demikian juga dengan tingkat pelayanan publik yang hampir tidak tersentuh oleh perubahan. Intinya bahwa apa yang disebut dengan angin perubahan melalui agenda program 100 hari pemerintahan SBY ternyata hanyalah nol besar. Tidak ada yang dapat dibanggakan dan pantas diberi apresiasi. Ironisnya lagi, walau sudah tidak mampu memenuhi target perubahan dalam 100 hari, pemerintah melalui elite politiknya di parlemen justru mempertontonkan sikap yang sama buruknya.
Dalam hal pengungkapan kasus bailout Bank Century, Partai Demokrat sebagai partai pendukung (bahkan lebih tepat disebut partainya) SBY sama sekali tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat di parlemen. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian kasus ini semakin mengubur dalam-dalam akan angan-angan perubahan yang diagendakan SBY–Boediono. Kepercayaan publik telah merosot karena ketidakkonsistenan pemerintah dengan komitmennya.

Gagal
Kendati demikian, pemerintah tetap saja berusaha untuk menutupi lubang-lubang kebusukannya itu dengan mengklaim bahwa sangat tidak relevan mengukur keberhasilan lima tahun dengan hanya 100 hari program kerja. Itulah yang selalu dikoar-koarkan oleh presiden dalam berbagai kesempatan setelah terlihat dengan jelas bahwa kinerja kabinetnya hanya jalan di tempat.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang membuat program 100 hari kerja itu? Dan layakkah mereka menilai program kerjanya sendiri? Terasa aneh memang. Justru ketika pemerintah menilai dirinya sendiri, hal itu mengindikasikan bahwa sebenarnya mereka sedang gusar karena tidak dapat memenuhi janjinya.
Kegagalan yang telah melekat pada pemerintahan SBY saat ini selayaknya dijadikan koreksi, bukan pembelaan diri. Poin-poin kegagalan itu sudah jelas terpampang di depan mata. Oleh karenanya, maka rakyat berhak memberi penilaian, apakah berhasil sebagaimana yang diklaim pemerintah atau justru sedang mendekati kegagalan 100 persen. Dari fakta yang ada, nampaknya hanya rapor merahlah yang layak dialamatkan sebagai konsekuensi dari kegagalan pemerintah saat ini, sebab tidak ada secuilpun angka-angka keberhasilan yang bisa menumbuhkan optimisme. - Oleh : Janpatar Simamora, Dosen di Universitas HKBP Nommensen Medan Mahasiswa Pascasarjana UGM
Opini SOlo Pos 27 Januari 2010