26 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Arah Revisi UU Penyiaran

Arah Revisi UU Penyiaran

Oleh DIAN WARDIANA SJUCHRO
REVISI Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran telah masuk ke program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu 2, dan kabarnya telah masuk prolegnas tahun ini. Berarti pemerintah telah bertekad bulat untuk melakukan revisi terhadap salah satu UU paling kontroversial pada era reformasi tersebut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, draf revisi UU Penyiaran akan masuk pembahasan DPR RI. Menjadi pertanyaan mendasar, ke mana arah revisi tersebut akan bergerak?

 

Undang-Undang Penyiaran adalah produk legislatif yang paling mengundang perdebatan sepanjang sejarah kehidupan NKRI. Meski telah disahkan pada 2002, sampai sekarang banyak pasalnya yang tidak pernah bisa dijalankan pemerintah. Alasan pemerintah, UU itu tidak aplikatif, banyak bertentangan dengan kondisi realitas penyiaran atau juga karena bertentangan dengan berbagai kepentingan di dunia radio dan televisi.
Untuk menebak arah revisi UU Penyiaran, ada baiknya kita menengok ke belakang ketika produk legislasi tersebut dibuat. Suasana ketika itu adalah ketika semangat reformasi sedang mencapai puncaknya. UU Penyiaran dibuat dengan mendasarkan pada dua kata yang kemudian menjadi legenda, yakni diversity of ownership dan diversity of content. Maka, peran pemerintah diserahkan kepada lembaga independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Stasiun televisi nasional yang selama ini bersiaran nasional diharuskan bersiaran lokal atau lokal berjaringan.
Meskipun sebenarnya tidak ada keraguan dalam pasal-pasalnya, pelaksanaan UU Penyiaran berjalan seperti keong. Pemerintah berkilah, UU tersebut tidak operasional, sementara lembaga penyiaran mengeluh, ketentuan-ketentuan tersebut mengancam kelangsungan hidup stasiun televisi mereka. Perlu waktu yang sangat lama hanya untuk menetapkan siapa gerangan yang harus mengurus izin penyelenggaraan penyiaran dan menetapkan kapan stasiun televisi nasional mulai berjaringan. Percaya atau tidak, pelaksanaan pasal mengenai stasiun televisi berjaringan belum bisa tuntas sampai artikel ini dibuat.
Sekarang, era reformasi barangkali telah berubah, Semangat untuk menegakkan diversity of ownership dan diversity of content juga telah menurun dengan tajam. Pemerintah mungkin berpikir ini saat yang baik untuk meneguhkan kembali supremasi mereka dalam bidang penyiaran, yang selama ini dibagikan sebagian kepada KPI dan pemerintan daerah. Dalam kalkulasi pemerintah, langkah ini akan sangat strategis untuk melakukan sweeping terhadap berbagai pelanggaran UU yang selama ini marak di berbagai daerah. Ada banyak radio dan televisi yang bersiaran dengan mengandalkan izin yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah provinsi, kabupaten, atau kota.
Apakah rencana pemerintah tersebut akan berjalan mulus? Tunggu dulu, karena berdasarkan kalkulasi sementara, revisi UU Penyiaran berpotensi menjadi bola liar yang berjalan ke mana-mana. Patut dipertanyakan, akankah DPR mampu melakukan revisi dengan "mendamaikan" pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya?
Tiga pihak
Revisi UU Penyiaran paling tidak akan melibatkan segitiga utama dunia penyiaran, yakni pemerintah, industri, dan masyarakat. Ketiga pihak tersebut selama ini mempunyai visi yang berbeda-beda dalam memandang masa depan dunia penyiaran di masa mendatang. Pemerintah diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, industri terpecah ke dalam dua kubu yang berseberangan, sementara masyarakat akan diwakili oleh KPI.
Posisi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, menginginkan adanya sentralisasi dunia penyiaran. Paling tidak pemerintah menginginkan izin yang dibagi dengan KPI, dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu pemerintah akan menjadi regulator tunggal untuk penataan infrastruktur penyiaran, termasuk penetapan sistem stasiun televisi berjaringan.
Dengan posisi seperti itu, pemerintah hanya akan menempatkan KPI dalam posisi dilematis. Dengan kewenangan yang sangat terbatas dalam pengawasan isi siaran, KPI tampaknya akan segera kehilangan hak hidupnya. Selama ini teguran KPI untuk lembaga penyiaran seperti tidak bergigi karena tidak berkaitan dengan hak mengeluarkan izin penyiaran radio dan televisi. Posisi pemerintah yang sangat kuat juga akan meruntuhkan demokratisasi penyiaran seperti dicita-citakan para kreator UU Penyiaran.
Revisi UU Penyiaran akan mengusik kehidupan industri penyiaran, pihak lain yang juga berkaitan dengan keberadaan regulasi tersebut. Dalam pengamatan penulis, industri penyiaran akan terbagi ke dalam dua kelompok besar yang berhadapan secara diametral. Industri penyiaran pertama adalah radio dan televisi existing yang lebih diuntungkan oleh kebijakan pemerintah melalui penyesuaian berbagai izin. Pihak lain adalah industri penyiaran "baru" yang diuntungkan dengan adanya KPI, antara lain lembaga penyiaran lokal dan komunitas.
Industri penyiaran akan menatap revisi UU Penyiaran dengan kerangka pikir yang berbeda. Lembaga penyiaran existing akan mati-matian mempertahankan keberadaan Kominfo sebagai regulator tunggal, paling tidak dalam bidang perizinan. Terbukti selama ini, perizinan di tangan pemerintah akan lebih "menyenangkan" dan menguntungkan. Lembaga penyiaran nonexisting (termasuk lembaga penyiaran komunitas) akan lebih berpihak kepada KPI, yang selama ini membuka diri terhadap mereka. Perseteruan ke dua pihak ini akan diikuti dengan berbagai lobi yang mereka akan lakukan terhadap para pemegang kebijakan, sehingga akan sangat menarik untuk dilihat.
Pihak ketiga yang juga berkepentingan dengan revisi UU Penyiaran adalah KPI sebagai lembaga independen representasi masyarakat. KPI menatap rencana perubahan UU Penyiaran dengan gamang, di tengah berbagai kesulitan infrastruktur yang mereka hadapi. KPI mengalami berbagai kendala mendasar dalam mengurus dirinya sendiri. Belum semua provinsi membentuk KPI daerah, sementara KPI daerah yang sudah terbentuk pun mengalami nasib sangat heterogen tergantung "belas kasihan" pemerintah provinsi masing-masing.
Di antara semua pemangku kepentingan penyiaran, posisi KPI dipandang paling lemah untuk lobi. Oleh karena itu, sangat diragukan apakah KPI akan mampu mempertahankan hak-haknya sebagai mitra Kominfo dalam mengurus izin radio dan televisi. Salah-salah, KPI hanya ditempatkan sebagai lembaga yang mengawasi isi siaran, sama seperti LSM media watch di berbagai daerah.
Peran DPR
Pergulatan tiga kepentingan besar dalam revisi UU Penyiaran tersebut nantinya bermuara di DPR RI sebagai lembaga yang akan memutuskan bentuk baru regulasi dunia penyiaran. DPR akan meniti dengan sangat hati-hati karena isu penting yang selalu dihembuskan tentang demokratisasi akan menjadi berpotensi menjadi bola panas. Belum lagi isu diversity of ownership yang menohok langsung kepemilikan lembaga penyiaran televisi swasta nasional yang mempertahankan status quo.
Bila DPR mampu mendengarkan semua pemangku kepentingan, UU Penyiaran ke depan barangkali akan lebih berpihak kepada masyarakat. Selama ini, masyarakat yang paling dirugikan dengan pemusatan kepemilikan media penyiaran, antara lain melalui berbagai tayangan pembodohan yang mewarnai televisi kita. Hak-hak masyarakat untuk turut serta dalam regulasi penyiaran menjadi terabaikan melalui regulasi yang tersentralisasi selama ini.
Sebaliknya, bila tidak, maka kita akan terjebak lagi ke dalam lorong gelap yang tiada akhir. Pertentangan yang terjadi di antara pemangku kepentingan dunia penyiaran selama ini sudah terlalu menguras stamina, yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Yang saya maksud adalah kondisi sekarang di mana industri penyiaran tidak mendapat kepastian untuk berusaha, sementara masyarakat penonton mendapat tayangan sampah dari lembaga penyiaran.
Menjelang revisi, ada baiknya DPR RI melakukan berbagai upaya optimal untuk menjaring sebanyak-banyaknya aspirasi, mempertimbangkannya menjadi masukan, sehingga output yang dihasilkan tetap berpihak pada kepentingan banyak orang.***
Penulis, dosen Fikom Unpad dan Komisioner KPID Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 27 Januari 2010