Sebagian pihak lainnya tidak percaya lewat mekanisme penyelesaian politik. Ada kecurigaan motif menggunakan kasus Century sebagai amunisi politik untuk menaikkan posisi tawar mereka dalam pertarungan kepentingan yang jauh dari tujuan fungsi pengawasan atau kepentingan antikorupsi, termasuk membenahi governance Bank Indonesia (BI) dan sistem akuntabilitas penjaminan lembaga keuangan.
Mereka yang paham oligarki korup di Indonesia dengan cepat menduga ini bagian kepentingan memperkuat patronase politik dan bisnis, dan yang paling diincar adalah kekuasaan menteri keuangan meski kekhawatiran ini dibantah Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, yang bisnisnya paling potensial dituding memiliki kepentingan dalam konteks ini.
Kecurigaan itu sah sebab kita tahu pasca-Pemilu 1999 bandul korupsi bergeser dari Istana ke DPR, seiring dengan membesarnya kekuasaan DPR. Survei Global Corruption Barometer oleh Transparency International mulai dari tahun 2004 sampai 2009 senantiasa menempatkan parpol, parlemen, pengadilan, dan polisi pada empat urutan atas lembaga yang paling potensial mengalami korupsi.
Kelompok ini lebih mendorong kasus Century ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), asumsinya untuk saat ini KPK bisa jadi wasit yang relatif obyektif, setidaknya tak memiliki kepentingan politik. Sekalipun harus berujung pada pemakzulan politik, prosesnya lebih mudah jika unsur pidana sudah dibuktikan di pengadilan sehingga peluang penyelesaian bersifat kompromistis dan tak membawa perubahan apa-apa bisa diperkecil.
Jalan hukum ini juga disetujui, termasuk oleh mereka yang terang-terangan pasang badan membela Sri Mulyani Indrawati dan Boediono. Kelompok ini menilai keduanya bukan pejabat kotor dan pernah punya reputasi internasional sebagai menteri keuangan terbaik di Asia. Katanya, kalaupun kebijakan bail out keliru, diyakini bukan dilatarbelakangi perbuatan kriminal keduanya.
Dalam hal ini bisa jadi karena data BI yang tidak akurat, seperti sudah diketahui umum, atau karena salah ramal akan hantu yang menakutkan berupa dampak sistemik oleh faktor psikologi pasar jika bank itu dimatikan saat itu.
Penyelesaian hukum dipilih aktivis antikorupsi juga sebagai jalan paling aman bagi kelanjutan jangka panjang gerakan sosial antikorupsi, yang dalam pengalaman sejarah di mana saja mengharuskan betul-betul murni dan bebas dari kepentingan perebutan kekuasaan politik dan ekonomi.
Teori gerakan sosial baru yang berbasis isu dan nilai-nilai ideal menganjurkan untuk tidak membangun eksklusivitas, tetapi misalnya berkoalisi dengan kalangan oposisi di parlemen untuk melahirkan lompatan perubahan kebijakan. Namun, dalam praktik, bukan hal mudah ketika partai progresif tidak hadir di sini. Lain halnya kalau gerakan sosial didistorsi sebagai hanya kegiatan selebritas atau berpidato heroik di depan para wartawan, mungkin tak perlu terlalu pusing memikirkan konsekuensi itu.
Tak perlu repot-repot sesungguhnya dengan polarisasi itu dan gerakan yang likuiditasnya dipicu oleh suatu kasus tidak mungkin berada dalam satu regu apalagi ini bukan soldadu, yang penting satu sama lain bisa saling komplementer. Cuma sayangnya, baik penyelesaian politik maupun hukum sama-sama belum memberi sinyal akan ada penyelesaian kasus Century dalam waktu dekat. Sampai saat ini sejak awal Desember Pansus belum memberikan laporan ke pimpinan DPR.
Materi pembahasan oleh Pansus terus berputar-putar di sekitar alasan subyektif kebijakan penyelamatan Century yang notabene bersifat debatable, dan sayangnya tidak konsisten menelusuri aliran dana ini ke arah yang semula mereka curigai masuk ke dalam rekening dana kampanye. Menelanjangi dugaan penyimpangan dana fasilitas pinjaman jangka pendek dan penempatan modal sementara (PSM) mungkin jauh lebih mudah.
Namun, mungkin bukan pelaku pada level itu sasaran yang dituju kalau kita lihat spirit pemeriksaan di Pansus masih berusaha mencari benang merah intervensi Presiden Yudhoyono dalam kebijakan bail out itu. KPK yang tadinya diharapkan mendahului proses penyelesaian politik juga tidak ada terobosan manajemen perkara untuk kasus-kasus yang berdimensi politik besar seperti Century. Perkembangan terakhir di DPR dengan adanya pergantian beberapa anggota Pansus kita juga tak tahu persis gejala apa yang sedang terjadi.
Tidaklah keliru jika ada harapan agar Yudhoyono yang meraih dukungan politik sangat besar dalam Pemilu 2009 menunjukkan kualitas kepemimpinannya untuk mencari solusi jitu guna mengakhiri kasus Century tanpa mengabaikan kepentingan perekonomian nasional.
Dari aspek keadilan versi masyarakat biasa ada sinisme mencermati logika kebijakan penyelamatan bank bangkrut karena dibobol pemiliknya atau mengabaikan asas kehati-hatian dan kelemahan pengawasan BI. Seperti dalam penyelesaian kasus BLBI dan Century saat ini, lewat klaim dampak perbankan terhadap perekonomian keseluruhan telah membuat para pengambil kebijakan seolah menjadi tawanan para pemilik perbankan dan kepentingan pemodal besar yang menguasai ekonomi nasional.
Di sini, lagi-lagi rakyat harus percaya teori ekonomi neoklasik menetes ke bawah (trickle down effect). Tak sedikit media memberitakan usaha rakyat yang gulung tikar di berbagai pelosok negeri karena kurang permodalan di bawah Rp 5 juta, tetapi tak mendapat perhatian serius seperti Century dengan kucuran Rp 6,7 triliun untuk sebuah bank yang 62,28 persen total dana pihak ketiganya yang sebesar Rp 5,1 triliun dimiliki 50 deposan inti (periode 2008). Dan, 34,61 persen di antaranya milik dua deposan dari orang yang sama.
Meski mungkin kurang relevan, bandingkan dengan alokasi kredit untuk rakyat yang dikucurkan pemerintah (2008) sebesar Rp 12 triliun untuk jumlah peminjam sekitar 1,5 juta orang. Sangat menyakitkan jika formula penyelesaian kasus Century di DPR ujung- ujungnya hanya memenuhi kepentingan elite guna memperluas kekuasaan politik dan ekonomi mereka. Kelihatannya saat ini gelagatnya ke arah sana.