11 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Kacamata Sistem Peringatan Dini Layakkah Menalangi Bank Century?

Kacamata Sistem Peringatan Dini Layakkah Menalangi Bank Century?

Persoalan penalangan (bailout) Bank Century sudah demikian populer di masyarakat. Hasil itu merupakan buah aktivitas berkelanjutan oleh media massa yang berperan sebagai penyedia informasi berimbang. Informasi itu ada dalam bentuk tulisan maupun liputan langsung-terbuka acara-acara Pansus Bank Century DPR.

Namun, di balik gencarnya pemberitaan tersebut, tak urung pula ia telah mengembangkan polemik pada masyarakat pemerhati. Polemik itu timbul karena tajamnya perbedaan yang mencuat. Di satu sisi, ada pendapat yang mendukung penalangan tersebut dengan alasan kekhawatiran akan terjadinya krisis kolektif 'sistemik'.


Hal ini diperoleh setelah melalui serangkaian stress-test dan sensitivity analysis serta kondisi psikologi dan trauma yang rupanya belum hilang sejak krisis Asia 1997-1998 yang lalu (efek contagion dan herd behavior). Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penalangan itu tak perlu dilakukan minimal karena dua alasan:

(i) situasi dan kondisi 2008 berbeda dengan keadaan 1997-1998 dan (ii) Bank Century itu tergolong bank yang kecil. Proses mencari dan menemukan resolusi perbedaan yang ekstrem ini adalah hal dan exercise yang sudah lazim dalam kajian sistem peringatan dini.

Artikel berikut ini akan mengulas penggunaan kerangka kerja (framework) peringatan dini yang telah sukses digunakan dalam kasus krisis perbankan maupun epidemi penyakit menular. Aplikasi pendekatan semacam itu diharapkan dapat mengarahkan kita untuk menjawab apakah penalangan itu wajar atau tidak.

Krisis dan epidemi

Ada beberapa kedekatan yang ditemukan pada krisis perbankan dan epidemi penyakit. Pertama, faktor-faktor yang mendahului krisis atau epidemi dapat digolongkan dalam dua kategori. Ambillah contoh pada epidemi DBD (demam berdarah dengue) yang mengenal faktor biotik (virus dengue dan vektor pembawanya) dan faktor abiotik (kelembapan udara yang berperan dalam keberlangsungan hidup nyamuk dan suhu udara yang menentukan laju inkubasi penyakit).

Hal itu telah ditunjukkan melalui prediksi epidemi DBD oleh Halide dan Ridd (2008). Krisis perbankan pun menurut seorang pengamat moneter Hong Kong (Yue, 2001) juga berkaitan dengan sinergi antara faktor mikro (kinerja suatu bank) dan makro (ketidakseimbangan ekonomi dan spekulasi pasar).

Kedua, epidemi penyakit dan krisis perbankan sama-sama menyedot dana yang besar tentu saja masing-masing dengan ukuran yang berbeda. Jika pada kasus epidemi DBD beban ekonomi masyarakat diukur dengan skala DALY (disability-adjusted life year), beban serupa pada krisis perbankan diukur relatif terhadap GDP (gross domestic product).

Ketiga, baik krisis maupun epidemi ini telah terjadi beberapa kali pada wilayah dan waktu yang berbeda. Kita telah akrab dengan istilah KLB (kejadian luar biasa) penyakit menular yang terjadi pada wilayah dan berbeda, sedangkan untuk krisis perbankan kita juga tak asing dengan krisis nilai tukar mata uang Eropa 1992/93, krisis keuangan Meksiko 1994/95 dan krisis Asia dan Rusia 1997/98.

Keempat, luaran (output) peringatan dini untuk epidemi dan krisis semestinya digunakan sebagai salah satu sumber informasi pengambilan suatu keputusan untuk menghindari (i) kerugian materil maupun nyawa jika suatu bencana yang diramalkan benar-benar terjadi-–di sinilah peran penting akurasi peringatan dini suatu epidemi (KLB) dalam mempersiapkan suatu keluarga menghadapi epidemi dimaksud (Halide, 2010 dalam Disease outbreaks: Prevention, Detection and Control, editors A Holmgren dan G Borg));

(ii) biaya yang tak perlu dikeluarkan karena bencana yang diprediksi tersebut gagal termanifestasi–-dalam konteks ini kita dapat mengkritik apakah negara memang patut mendanai Bank Century agar bank tersebut tak mengalami krisis yang bisa menyeret sistem perbankan nasional.

Berdasarkan beberapa kedekatan itulah, tidaklah mengherankan jika istilah-istilah seperti 'epidemi' dan 'endemik' juga digunakan ketika membedah krisis/kegagalan suatu bank (P Honohan, 1997: Banking system failures in developing and transition countries – Diagnosis and prediction). Untuk selanjutnya, bahasan akan terfokus pada masalah krisis perbankan saja.

Peringatan dini

Persoalan mengembangkan suatu peringatan dini diawali dengan penentuan dan seleksi ketat seperangkat faktor yang dikenal sebagai leading indicator atau precursor yang terkait dengan suatu krisis. Di sinilah peran penting kepakaran (baik atas kekayaan literatur dan pengalaman/expertise menggunakan berbagai metode analisis dan seleksi) dalam menemukan indikator-indikator tersebut.

Indikator terseleksi tersebut selanjutnya diuji kemampuan generalisasinya dalam memprediksi krisis yang belum pernah dijumpai sebelumnya (out-of-sample forecast). Kualitas suatu sistem peringatan dini akan ditentukan pada ketepatannya meramalkan ada/tidaknya suatu krisis atau banyak/sedikitnya ia memberikan peringatan palsu (false alarms).

Dalam dunia perbankan, kerangka kerja sistem peringatan dini semacam ini telah banyak dilaporkan hasil kajian kasus dari berbagai negara dan tersebar pada sejumlah literatur seperti misalnya Shen dan Hsieh (Prediction of Bank Failures Using Combined Micro and Macro Data, 2004) dan Rose dan Spiegel (Cross-country Causes and Consequences of the 2008 Crisis: Early Warning, 2009).

Namun, pada artikel ini kita hanya meninjau hasil satu kajian dari negara kita. Salah satu contoh kasus yang telah diterapkan untuk perbankan Indonesia adalah hasil studi Nurazi dan Evans dalam Journal of Economic and Social Policy 2005 (kita singkat sebagai NE2005).

Data yang digunakan dalam kajian ini data bank-bank komersial yang diakses melalui Bank Indonesia, JSE (Jakarta Stock Exchange), dan Asosiasi Bank Swasta Nasional. Seperangkat indikator yang digunakan untuk memprediksi bank gagal pada krisis 1997-1998 adalah rasio CAMELS (capital, asset, management, equity, liquidity, sensitivity).

Evaluasi indikator untuk memprediksi gagal/tidaknya bank dilakukan untuk tiga periode, yakni prakrisis, saat krisis, dan pascakrisis. Pada exercise ini mereka menggunakan metode stepwise pada model regresi dan model diskriminan. Ukuran yang digunakan untuk menyatakan ketepatan prediksi adalah percent correct berskala 0 hingga 100%. Kedua model menghasilkan ketepatan prediksi antara 70% dan 90%.

Aplikasi

Pertanyaan yang akan coba dijawab adalah layakkah penalangan yang diberikan pada Bank Century? Jika asumsi bahwa penalangan itu diperlukan agar bank tersebut tak menjadi gagal (fail), persoalannya tereduksi menjadi kategorisasi apakah bank tersebut gagal atau tidak. Untuk menyelidiki hal itu kita dapat menggunakan hasil model diskriminan NE2005 di atas sebagai berikut.

G = -2,886 + 1,513 × R1 + 1,762 × R2 – 3,51 × R3 + 0,94 × R4 + 4,38 × R5.

Dalam perumusan tersebut, G adalah suatu angka yang akan menyatakan sebuah bank gagal atau tidak. Bank yang nilai G-nya lebih kecil daripada -0,59 akan digolongkan ke dalam bank gagal, dan sebaliknya jika nilai G-nya lebih besar dari -0,59, bank tersebut dikategorikan bank tidak gagal.

Nilai R1 hingga R5 adalah sejumlah rasio parameter CAMELS yang telah terseleksi (keterangan lengkap dari masing-masing rasio bisa dijumpai pada Tabel 10 dalam kajian NE2005). Dengan memasukkan data kelima nilai rasio tersebut ke formulasi tersebut, kita dapat menentukan apakah pada saat itu (periode 2008-2009) Bank Century itu termasuk bank gagal atau tidak.

Jika ditemukan bahwa saat itu Bank Century termasuk bank gagal, tentu ia memang patut mendapat talangan untuk mencegah efek domino (contagion) terjadi pada bank-bank lainnya (systemic) seperti yang ditengarai oleh sebagian pihak. Namun, jika dari hasil evaluasi saat itu ternyata Bank Century masuk kategori bank tidak gagal, tetapi ternyata ia tetap ditalangi, pihak yang berwewenang tentu punya kewajiban menjelaskan kepada para wajib pajaknya.

Oleh Dr Halmar Halide Dosen Universitas Hasanudin, Makassar
OPini Media Indonesia 12 Januari 2010