11 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Kenangan Bersama Prof Tjip

Kenangan Bersama Prof Tjip

BANYAK sekali kenangan saya bersama Prof Tjip, seorang begawan hukum yang baru saja wafat beberapa hari silam, yang tidak akan cukup dituliskan dalam satu artikel.

Namun, kenangan yang paling mengesankan adalah ketika ketika saya bezoek di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta pada saat masih dalam perawatan. Kendati masih harus istirahat sesudah keluar dari Intensive Care Unit (ICU), tetap saja sang tokoh sosiologi hukum yang kondang itu bercanda penuh tawa. Tidak nampak sama sekali wajah sedih, khawatir, sebagaimana lazimnya orang sakit.


Padahal, penggagas ’’aliran’’ hukum progresif yang banyak pengikutnya di Indo­nesia itu, sudah dipasangi alat pacu jantung.

Saya jadi terkenang petuahnya dalam salah satu sidang promosi doktor di Undip : ’’Sakjane ora ana apa-apa, sing ana kuwi sakjatine ora.’’ Mirip kearifan Jawa yang terkesan paradoksal : ’’Menang tanpa ngasorake, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji.’’

Salah satu ciri khas Prof Tjip dalam setiap pertemuan, baik yang ilmiah maupun popular, formal maupun informal, adalah selalu menyegarkan suasana dengan petuah dan pesan yang  bernas namun penuh canda.

Suasana sidang terbuka S3 yang men­cekam langsung jadi cair begitu Prof Tjip bicara atau mengajukan pertanyaan pada promovendus yang selalu saja dia disebut dengan ’’Tuan’’. Uniknya bila yang diuji adalah promovendus yang dibimbingnya sendiri, boleh dikata Prof Tjip selalu saja ’’pass’’, alias tidak ikut bertanya. ’’Semua pertanyaan sudah disampaikan selama periode bimbingan’’, begitu dalihnya.

Padahal, ada promotor yang pada saat sidang ujian masih juga terlihat galak, dengan cecaran pertanyaan yang ’’me­matikan’’.

Blaka Suta

Kenangan yang lain adalah sikapnya yang terbuka, bicara ceplas-ceplos apa adanya, tanpa basa-basi atau memakai gaya eufemisme. Barangkali sikap itu memang merupakan gawan bayi, sebagai seorang kelahiran daerah kulonan yang dikenal blaka suta.

Ada yang berpendapat bahwa kebanyak­an orang dari kawasan Negarigung (Jogja- Solo), cenderung bicara dengan teramat halus, sehingga terkadang susah ditangkap maksud yang sebenarnya.

Sebaliknya, orang dari kawasan kulonan (Banyumas-Bagelan), suka bicara cablaka tanpa kembang-kembangan, sehingga terkadang terasa menyakitkan. Orang barat pun menyatakan truth hurts yang berarti bahwa kebenaran itu menyakitkan.

Kritikan pedas Prof Tjip terhadap aparat penegak hukum yang terlalu kaku berpegang pada aturan hukum yang tertulis, serbadogmatis, tidak dipandu dengan nurani, tentu menyakitkan hati mereka penganut aliran positivistic yang sekadar bersandar pada hukum formal. Misalnya, hakim-ha­kim yang tegel menjatuhkan hukuman pada Mbak Prita dan Mbah Minah.

Prof Dr Mahfud MD yang ketua Mahka­mah Konstitusi pun dalam acara Konvensi Kampus dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia di Pontianak minggu lalu, secara terbuka menyatakan bahwa keberaniannya untuk memutar rekaman kasus Anggodo-Anggoro diilhami oleh hukum progresifnya Prof Tjip.

Dikatakannya, bahwa pengaruh gagasan sang sosiologi hukum dengan aliran progresifnya sudah menyebar, dan anak-anak asuhnya juga sudah menduduki posisi-posisi kunci di berbagai lembaga.

Publish or Perish

Sebagai seorang guru besar, begawan, dan panutan di kampus, Prof Tjip merupakan salah seorang ilmuwan yang betul-betul menerapkan kaidah Publish or Perish. Paling tidak tercatat 14 buku telah diterbitkannya, dan Redaksi Harian Kompas menghitung sebanyak 387 artikel telah dimuat sejak 11 Januari 1975 hingga 19 November 2009. Berarti rata-rata lebih dari satu tulisan per bulan. Bahkan, sesudah beliau wafat pun, beberapa tulisannya dimuat dan konon akan terus dimuat secara berkala.

Pada November 2009 yang baru lalu pun, beliau masih sempat menulis buku baru dengan judul Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik.

Secara bercanda, tetapi maknanya amat dalam, Prof Tjip pernah melontarkan tudingan pada para guru besar perguruan tinggi yang tidak pernah menulis, seminar, kongres, lokakarya, ceramah, diskusi, dengan paraban GBHN. Maksudnya Guru Besar Hanya Nama. Sesudah jadi guru besar malah terlalu terpasung pada kegiatan perkuliahan.

Kalau seorang dosen, apalagi sudah mencapai jenjang guru besar, hanya asyik memberi kuliah di mana-mana, tidak pernah membaca buku baru, tidak suka meneliti, tak pernah menulis atau bicara dalam pertemuan ilmiah, yang terjadi adalah pengawetan ilmu (preservation of science). Padahal, para staf pengajar di dunia pendidikan tinggi sesungguhnya mengemban amanah untuk pengembangan atau memajukan ilmu (development or advancement of science).

Jadi, jangan langsung percaya bila seorang dosen menyombongkan diri bahwa dia sudah punya pengalaman mengajar 30 tahun. Cobalah simak betul bahan yang dikuliahkan. Jangan-jangan pengalaman mengajarnya hanya satu tahun, tetapi berulang 30 kali. Maksudnya, bahan-bahan kuliah yang diberikan sama saja substansinya dari tahun ke tahun, dan itu berlangsung selama 30 tahun.
Sebagai mantan Rektor Universitas Diponegoro maupun sebagai pribadi, saya sungguh merasa amat kehilangan. Antara lain karena beliau adalah penasihat saya, baik secara formal maupun informal.

Terima kasih atas segalanya, Prof Tjip kami semua akan selalu mengenangmu. Saya akhiri dengan puisi singkat:
Kata-kata adalah jembatan/namun yang menghubungkan kita adalah kalbu/kalbu yang saling memandang penuh kasih/kalbuku dan kalbumu. (37)


- Eko Budihardjo, rektor Universitas Diponegoro 1998-2006 dan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah 1994-2008.
Wacana Suara Merdeka 11 Januari 2010