11 Januari 2010

» Home » Kompas » Fenomena PAN dan Amien Rais

Fenomena PAN dan Amien Rais

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional dalam kongres di Batam. Amien Rais ditengarai berada di balik terpilihnya Hatta, mundurnya Dradjad Wibowo, dan suasana kongres yang berjalan mulus tersebut. Apa dampaknya bagi PAN ke depan?
Sulit dibantah bahwa keberadaan PAN hampir tidak bisa dipisahkan dari Amien Rais. Sebagai deklarator utama PAN, Amien bahkan merasa perlu mengawal arah politik parpol yang pernah dipimpinnya pada periode 1999-2005 ini. Munculnya duet Hatta Rajasa dan Dradjad Wibowo merupakan keberhasilan Amien sebagai play maker tunggal Kongres PAN di Batam. Termasuk di dalamnya mendesak Dradjad mundur dari pencalonan dan kemudian memintanya menjadi wakil ketua mendampingi Hatta.


Yang tak kalah menarik, di usia yang semakin menua, Amien Rais ternyata masih bersedia pula menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PAN, padahal sebelumnya dia memberi sinyal untuk mundur dari struktur partai. Lalu, ke mana geliat dan semangat reformasi yang pernah menjadi ciri PAN?
Fenomena PAN
Bayang-bayang Amien Rais dalam politik PAN sebenarnya sudah tampak sejak awal kelahiran partai bergambar matahari biru ini. Meski demikian, pada periode pertama PAN, kolektivitas dan kolegialitas kepemimpinan relatif masih tampak. Ide-ide perubahan juga masih beredar kencang di dalam partai. Karena itu, tak sedikit tokoh reformis turut bergabung di partai ini.
Namun, ketika muncul kecenderungan Amien Rais ”menyetir” arah partai, kolegialitas ditanggalkan, eksklusivitas mengemuka, dan konservatisme melembaga, tokoh-tokoh reformis seperti Faisal Basri, Bara Hasibuan, dan yang lain meninggalkan PAN. Seperti kecenderungan partai-partai lain, PAN akhirnya memilih merapatkan diri dengan kekuasaan ketimbang menjadi diri sendiri sebagai ikon reformasi.
Tidak mengherankan jika dalam Pemilu 2004 dan 2009, PAN tampil tanpa visi perubahan yang jelas. Meskipun dukungan terhadap Amien Rais (dan Siswono Yudo Husodo) dalam Pemilu Presiden 2004 sedikit lebih besar dari perolehan suara PAN dalam pemilu legislatif tahun yang sama, PAN dan Amien telah kehilangan pamornya. Yang tersisa kemudian adalah para politisi yang menjadikan PAN sekadar sebagai kendaraan politik untuk meraih kursi legislatif atau jabatan publik di pemerintahan.
Fenomena Amien Rais
Kesediaan mantan Ketua MPR Amien Rais untuk memimpin kembali Dewan Pertimbangan PAN jelas merupakan hak politik yang bersangkutan. Namun, sulit dimungkiri bahwa kesediaan tersebut tidak hanya membatasi pergiliran kesempatan bagi tampilnya tokoh senior PAN lainnya. Lebih dari itu, Amien Rais sesungguhnya memilih tetap ”memperkecil” dirinya sendiri, yakni sekadar sebagai ”tokoh partai” ketimbang menjadi ”besar” sebagai tokoh bangsa kita.
Sebagai mantan calon presiden dan Ketua MPR, PAN semestinya sudah terlalu kecil untuk seorang Amien Rais. Namun, guru besar UGM ini tampaknya memilih tunduk pada kehendak kongres ketimbang secara cerdas membaca nurani publik dan kebutuhan obyektif bangsa kita. Persoalannya, bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh yang tidak sekadar berbaju partai, tetapi mereka yang bisa melampaui batas-batas kepentingan sempit partai yang acapkali terkontaminasi kepentingan jangka pendek kelompok dan perorangan politisi partai.
Konsekuensi logis pilihan politik Amien Rais adalah bahwa gagasan apa pun yang muncul dari mantan Ketua PP Muhammadiyah ini akan cenderung dipandang publik sebagai ide partisan tokoh partai. Itu artinya, semakin terbatas ruang bagi Amien untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan politik bagi negerinya. Juga semakin terbatas ruang bagi Amien untuk mengoreksi jalannya pemerintahan Presiden Yudhoyono karena itu berarti akan menyulitkan posisi Hatta Rajasa sebagai Ketua Umum PAN sekaligus Menko Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II.
Nomor tiga
Barangkali itulah dilema memilih ketua umum partai yang tengah menjabat menteri seperti Hatta Rajasa. Sebagai menteri, posisi Hatta bisa jadi memang menguntungkan PAN dari segi konsolidasi sumber daya bagi partai. Namun, yang dilupakan Amien Rais dan peserta kongres Batam adalah semakin minornya suara PAN selama lima tahun ke depan. Sebagai tangan kanan Presiden yang loyal, Hatta jelas akan lebih banyak tampil sebagai ”juru bicara” Yudhoyono ketimbang sebagai juru bicara PAN.
Seperti telah dialami Jusuf Kalla yang didaulat menjadi Ketua Umum Golkar ketika menjabat wapres, kredit kinerja Hatta Rajasa sebagai Menko Bidang Perekonomian akan cenderung dipandang publik sebagai kerja dan kesuksesan Partai Demokrat ketimbang keberhasilan PAN. Parpol bergambar matahari biru ini bakal menghadapi kegamangan yang sama seperti dialami partai beringin menjelang Pemilu 2009. Risiko politik semacam ini tampaknya kurang diperhitungkan Amien Rais dan kalangan PAN.
Kini persoalannya terpulang kepada Amien Rais dan Hatta Rajasa, apakah sekadar menjadi pengawal setia koalisi politik yang dibentuk Presiden Yudhoyono, atau menjadi juru bicara yang kritis untuk menyelesaikan aneka persoalan bangsa ini. Jika pilihan itu lebih pada yang pertama, target menjadi nomor tiga dalam Pemilu 2014 barangkali terlalu mewah bagi PAN.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Bidang Politik LIPI
Opini Kompas 12 Januari 2010