08 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Cendekia, Sekaligus Polisinya Polisi

Cendekia, Sekaligus Polisinya Polisi

HAMPIR setiap menyebut nama Universitas Diponegoro, simbol pribadi Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, naik ke permukaan. Undip dan Prof Tjip, panggilan akrabnya, atau Prof Tjip  dan Undip, ibarat dua tubuh satu jiwa. Nama besar Undip dan integritas pribadi Prof Tjip, seolah tidak bisa dipisahkan.

Ia disegani banyak pihak, bukan karena gelar guru besar dan doktornya, tetapi lantaran kejernihan berpikirnya. Analisisnya tajam, sekaligus pragmatis, di samping dikemukakan dengan gaya bahasa propublik, alias sangat mudah dipahami awam.


Kebersihan  hidup dan kehidupannya, di samping  keyakinannya atas perlunya menggerakkan rakyat  bermusuhria dengan aksi korupsi di negeri ini, mendorong Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, sudah sekian tahun lalu menginginkan almarhum menjadi pembina gerakan moral tersebut, walau belum terpenuhi, sampai Prof Tjip berpulang ke Rahmatullah, 8 Januari 2009, sekitar pukul 09.15, Jumat, 8 Januari.

Tawaran itu tidak pernah digagas untuk dipercayakan ke orang lain, oleh aktivis LSM yang bergerak di bidang corruption watch dimaksud
Selain identik dengan Undip, nama Prof Tjip teramat populer di kalangan di Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Almarhum semasa hayatnya bukan hanya pernah menjadi Staf Ahli Kapolri, tetapi pemikirannya dalam ikut membangun Polri yang progresif, sangat dihargai banyak pihak, baik anggota Polri, maupun non-Polri, termasuk masyarakat luas.

Salah satu inti ajaran Prof Tjip tentang Polri, adalah pentingnya membangun kedekatan Polri dengan rakyat, secara timbal-balik. Konsep utama yang diajarkannya adalah empati polisi-rakyat, dan rakyat-polisi. Dalam pemikiran  Prof Tjip, ìpolisi itu rakyatî. Sebaliknya juga, îrakyat pun polisiî.

Konsekuensi dari ajarannya itu terutama adalah kewajiban moral kelembagaan dan personel anggota Polri (polisi),  untuk senantiasa mampu membuktikan kepedulian terhadap kepentingan rakyat, di balik berbagai kepentingan (interest) Polri. Ini, kata beliau, karena ìpolisi itu berkaki dua. Kaki kiri di kubur, kaki kanan di penjaraî.

Filosofi yang diajarkannya, pantas selalu dikaji, pada setiap waktu. Kepentingan polisi, dalam hemat Prof Tjip, seharusnya adalah juga kepentingan rakyat. Kendati pemenuhan kedua kepentingan itu (lantaran polisi dan rakyat acapkali punya kepentingan berbeda), membuat polisi seharusnya tampil bukan hanya sebagai lembaga negara, melainkan juga lembaga publik.

Ajaran itu, pada sebaran domain praksisnya di lapangan, memosisikan setiap anggota Polri, seharusnya tidak hanya menjadi ìpolisinya masyarakatî, atau ìpolisinya negaraî, melainkan juga selaku ìpolisinya polisi itu sendiriî. Ketiga positioning itulah, ranah filosofis, sekaligus ideal, dari ajaran Prof Tjip tentang Polri.

Seperti pengakuan Ny Satjipto Rahardjo kepada penulis, beberapa jam sebelum suaminya meninggal dunia, cendekia ulung itu meyakini punya banyak kader. Beberapa waktu lalu, saya tanya Prof Tjip, kenapa belakangan suaminya itu jarang menulis tentang Polri? Prof Tjip, menjawab singkat, sekarang sudah banyak orang yang menulis tentang dunia kepolisian kita.

Namun, sebanyak apapun yang diharapkan Prof Tjip tentang kadernya, sulit mencari pengganti beliau, dalam hal mengajukan gagasan membangun Polri, lewat tulisan di media massa. Pokok pikiran yang dituangkannya dalam tulisan-tulisan itu, umumnya sangat sederhana, sekaligus bersahaja. Tetapi, jika kita perbandingkan dengan ìcetak birunyaî sejumlah lembaga Polri, atau bila dipersandingkan dengan Grand Strategy Polri 2005-2025,  buah pikiran Prof Tjip, langsung atau tidak langsung menjiwai para petinggi Polri.

Salah satu target dari sejumlah pemikiran Prof Tjip, adalah perlunya perubahan pola sikap dan perilaku anggota Polri menuju kesatuan hukum, etika, dan profesionalisme. Prof Tjip mengajarkan, setiap anggota Polri harus patuh hukum, taat kepada etika kepolisian, dan tidak bersikap atau bertindak, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dari sudut pandang profesionalismenya.

Ajaran Prof Tjip yang membekas di hati penulis, adalah keinginannya yang kuat agar Polri mandiri. Kemandirian Polri, bukan berarti Polri diyakininya sebagai dapat bekerja sendiri dalam melaksanakan fungsi  preventif (pencegahan), preemptif (pembinaan), dan represifnya (penindakan), terutama di bidang penegakan hukum, jaminan keamanan, dan ketertiban publik, d samping guna memberikan pelayanan, perlindungan dan pengayoman masyarakat, tetapi agar Polri terbebas dari bentuk intervensi,  yang tidak profesional.

Sikap lain yang patut dipuji dari Prof Tjip, khususnya dalam membangun Polri yang progresif, lewat upayanya yang kuat untuk memadukan pendekatan ilmiah dan pendekatan pragmatis, pada praktik perpolisian di Indonesia.

Dalam bahasa publik, ajaran beliau seakan mengingatkan kita semua, agar polisi diposisikan bukan sebagai alat hukum yang pasif (hukum yang mati) melainkan sebagai alat hukum yang proaktf, aktif, dan dinamik (hukum yang hidup).

Prof Tjip mengajarkan kita untuk melakukan redefinisi, reposisi, dan refungsionalisasi Polri, dalam takaran kepentingan masyarakat (dan negara), yang selalu tumbuh serta berkembang. Dengannya, penegakan hukum yang diperankan oleh Polri, tidak boleh dikooptasi semata-mata oleh tegaknya norma hukum itu sendiri, tetapi sekaligus juga guna menjamin pemenuhan rasa keadilan yang seharusnya.

Itu semua menjadi tantangan bagi Polri, di masa sekarang dan mendatang. Sebab,  Prof Tjip tidak meninggalkan lembaga penegak hukum, melainkan semangat penegakan hukum, terutama sebagai peran sentral Polri. Dengan kecenderungan pribadi semacam itulah, Prof Tjip sangat pantas dijuluki polisinya polisi.

Selamat Jalan, Prof Tjip.  Kami semua bersemangat sama dengan Bapak. Terutama dalam menyongsong perwujudan tata kepemerintahan yang baik (good governance), di Indonesia.. Terutama lewat optimalisasi peran Polri, yang profesional dan mandiri. (10)

— Novel Ali, dosen FISIP Undip, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Wacana Suara Merdeka 9 Januari 2010