08 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Mencuri arca, menghilangkan peradaban

Mencuri arca, menghilangkan peradaban

Setiap zaman atau masa, pasti mempunyai penanda. Dalam bahasa ilmiahnya, penanda itu lazim dinamakan jejak peradaban. Jejak tersebut bisa berupa benda. Walau ia tampak usang, berlumut serta lusuh, tetapi mengandung seribu makna. Dari sana pulalah kita diantar memasuki lorong waktu, menelusuri riwayat nenek moyang, lengkap dengan segala aktivitasnya.



Arca merupakan salah satu jejak peradaban yang tak ternilai. Di kala masyarakat luar negeri beramai-ramai menghargai sejarah bangsanya dengan memelihara beragam titipan leluhur, di Indonesia justru sebaliknya. Negeri yang memiliki berjibun heritage ini, rupanya malah menjadi surga bagi pemburu benda antik, termasuk arca, benda yang semestinya dijauhkan dari tangan-tangan jahil.
Berita pencurian arca kembali menggema di bumi Klaten Bersinar. Kesannya bagai disambar petir di siang bolong. Betapa tidak, masih segar dalam memori kita perihal kasus pencurian arca di Museum Radyapustaka yang diduga terkait dengan kematian misterius Lambang Babar Purnomo dan disusul pengerusakan situs sejarah Kerajaan Majapahit, tiba-tiba kini menyembul kabar tak sedap ihwal lenyapnya arca di Candi Plaosan.
Yang bikin aneh, ini tak berselang lama dengan deretan kasus di atas. Sungguh suatu tamparan hebat bagi para ahli arkeologi, sejarawan dan pemerintah. Maka, bersama ini harap dipermaklumkan dengan hormat kepada para pembaca kalau seketika timbul pertanyaan sekaligus kritikan, bagaimana kesungguhan arkeolog, sejarawan, dan pemerintah sebagai pemikul tanggungjawab mendidik masyarakat biar sadar sejarah dan mempunyai semangat tinggi merawat warisan budaya?
Seperti yang diberitakan oleh SOLOPOS (7/1), terkuaknya kasus pencurian arca itu bermula dari laporan pengelola Candi Plaosan ke polisi tertangal 24 November 2009 tentang raibnya dua kepala arca. Kedua artefak ini berupa kepala arca Dhyani Bodhisattwa dan Dhyani Budha.
Setelah dilacak, jajaran Polres Klaten akhirnya membongkar sindikat pencurian benda cagar budaya (BCB) dan menyita 34 artefak. Dalam sebuah interogasi yang intensif, aparat berhasil mengorek keterangan salah satu tersangka bahwa kenekatannya mengambil arca lantaran diiming-imingi uang dalam jumlah besar. Bahkan ia tak segan-segan merusak arca dengan hanya mencomot kepalanya memakai linggis. Diakuinya, salah satu kepala arca dibayar Rp 500.000.
Rupanya UU No 5/1992 tentang BCB Pasal 26 yang berbunyi barangsiapa dengan sengaja merusak BCB dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah tanpa izin dari pemerintah akan dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta, tak bikin ciut nyali para perusak peninggalan jaman kerajaan klasik tersebut.
Masyarakat sebagai pewaris peninggalan itu, hingga detik ini belum banyak mengerti pertalian antara makna dan manfaat benda kuno secara umum. Adanya keengganan untuk berkecimpung mendalami serta merawat BCB karena dianggap tak mampu (belum) memberi peningkatan hidup mereka pada umumnya.
Kian diperparah manakala pemerintah kurang konsisten terhadap pengembangan wacana kebudayaan yang terbukti dari kerap bersalinnya nama lembaga. Mulai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) ke Kementerian Pariwisata Seni dan Budaya (Menparsenibud), Kementereian Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), dan kini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).
Wajar kalau arkeolog Mundardjito dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitas Indonesia (UI) tanpa tedeng aling-aling menyemprot pemerintah yang selama ini hanya menjadikan sektor ekonomi sebagai panglimanya, bukan sektor budaya.
Kebijakan itu jelas salah kaprah, dan kerap mengabaikan keberadaan sumber daya arkeologi atau budaya. Kondisi semacam itu meresahkan karena memberi peluang agen-agen pembangunan sekaligus pialang benda bersejarah sebagai pembenaran atas tindakan mereka yang tidak santun memperlakukan khazanah kekayaan budaya bangsa ini. Bahkan, terkadang menjadi lumrah mendengar berita miring soal aksi vandalisme heritage, baik pembongkaran atau pengerusakan dengan dalil pembangunan ekonomi.
Sebetulnya para arkeolog dan sejarawan bisa memanfaatkan muatan lokal dalam kerangka pengetahuan sejarah budaya sebagai ranah yang potensial untuk unjuk gigi alias mengambil peran. Rasanya suatu keharusan mengemas pengetahuan sejarah dan warisan budaya lokal sebagai bagian dari materi di sekolah.
Sejalan dengan gagasan Marlon NR Ririmasse dalam makalahnya Archeology Goes To School yang dibacakan di seminar Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI di Solo tahun 2008, bahwa upaya untuk mengatasi kendala ini dapat ditempuh lewat dua hal.
Pertama, mendorong kalangan pendidik yang belatar belakang studi arkeologi, sejarah dan antropologi guna meningkatkan porsi pengetahuan sejarah lokal bagi siswa. Kedua, memberi ruang kepada instansi nonsekolah (lembaga swadaya masyarakat/LSM, misalnya) untuk turut berpartisipasi dalam program arkeologi publik.
Di lain pihak, demi berkurangnya aksi merugikan ini, aparat kepolisian dituntut pula memberi efek jera kepada pelaku kejahatan benda kepurbakalaan. Sebisa mungkin tak berhenti pada pelaku dan penadah, namun berusaha menyergap aktor intelektualnya, yang tidak jarang melibatkan orang berkantong tebal.
Sekali lagi, dengan melimpahnya jejak peradaban tersebut, semestinya kita tergugah untuk melestarikan dan mengembangkannya sebagai daya tarik wisata dan kepentingan riset, bukan menjadikannya untuk komoditas bisnis.
Akhir kata, kriminalitas terhadap kekayaan arkeologi tak ubahnya sebuah pengkhianatan terhadap jejak historis bangsa yang terbilang sebagai dosa besar sejarah yang sulit terampuni karena berupaya menghapus sisa-sisa peradaban. Jangan sampai ketika hendak menulis sejarah kita sendiri, harus ”mengemis” data ke negeri orang karena semua arca sudah pindah ke sana. -
Oleh : Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe Peneliti di Kabut Institut
Opini Solo Pos 9 Januari 2010