08 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Begawan yang Tawarkan Cara Pandang

Begawan yang Tawarkan Cara Pandang

Prof Tjip hanya menawarkan satu cara pandang dalam melakukan studi hukum,
di antara sekian banyak cara pandang lainnya, tentu saja.

DI tengah karut-marutnya penegakan hukum di Indonesia yang diwarnai berbagai skandal, dunia ilmu hukum Indonesia berduka. Prof Dr Satjipto Rahardjo SH berpulang di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Seorang begawan ilmu hukum progresif telah meninggalkan kita, bahkan dalam suasana duka yang belum hilang atas wafatnya Gus Dur, sang pemikir progresif lainnya.


Sejak Prof Tjip menulis buku Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung: Alumni, 1979), yang merupakan risalah disertasinya, semenjak itu pula ia bukan saja dikenal sebagai ahli hukum, namun lebih dikenal sebagai ahli sosiologi hukum.
Prof Tjip boleh dikatakan sebagai satu di antara ahli hukum lainnya, yang memberikan posisi penting terhadap faktor perubahan sosial terhadap kehidupan hukum. Ia sangat yakin bahwa kinerja hukum tidak hidup di ruang yang kedap sosial, namun sebaliknya, justru hukumlah yang seringkali dipengaruhi oleh faktor perubahan sosial.

Bagi seorang sosiolog hukum semacam beliau agaknya menjadi semacam khayalan belaka, ketika seseorang yang mempelajari hukum pada saat yang bersamaan menyepelekan faktor sosial. Dalam studi hukum di Indonesia, pendekatan normatif -yang dalam batas-batas tertentu” sangat dipengaruhi oleh Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen, cukup mendominasi kajian-kajian hukum.

Pada titik inilah, kemudian orang yang melakukan studi hukum mengalami kekecewaan-kekecewaan -kalau tidak boleh dibilang menemukan jalan buntu” ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua fenomena sosial dapat dijelaskan dengan teori hukum. Pada gilirannya mendorong orang untuk meminjam dan mengapropriasi teori lain yang dikembangkan dalam ilmu sosial untuk menjelaskan sejumlah fenomena sosial yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan  oleh teori hukum yang dikembangkan di kampus-kampus hukum di Indonesia.

Gejala kekecewaan terhadap pendekatan normatif yang positivistik dalam kajian hukum di Indonesia menunjukkan perkembangaannya sejak tahun 1970-an. Dan agaknya gejala ini kian hari kian meluas saja. Kesadaran akan kebutuhan kajian yang interdisipliner dalam studi hukum sebenarnya bukan monopoli dalam studi hukum saja.

Pada studi politik misalnya, juga mengalami hal sama. Dalam studi politik semula lebih menekankan pada kajian-kajian yang berbasis pada studi kelembagaan politik, seperti negara, pemerintah, parlemen, militer dan birokrasi. Model studi macam ini dalam studi politik dinilai kurang memuaskan, karena baru dapat menjelaskan sebagian hal, sementara hal lainnya belum terliput secara memuaskan.

Sejak awal abad ke-20 seiring dengan perkembangan gerakan behavioralisme, maka ilmu politik pun terjangkiti ”wabah” yang sama. Behavioralisme dalam ilmu politik ini berkembang pesat dengan dipandu oleh analisis kuantitatif canggih yang dikembangkan oleh disiplin ilmu psikologi, dan jenis kajian ini masih menjadi salah satu primadona dalam kajian politik hingga kini.

Pasca-Perang Dunia II, di mana kubu Barat yang dimotori Amerika Serikat memperoleh kemenangan, sejak itu pula mulai dikembangkan studi perbandingan politik. Studi jenis ini sangat dibutuhkan dan dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan politik AS, tidak terlepas dari kepentingan politik luar negeri AS pada era perang dingin.

Untuk memenuhi kepentingan penguasaan wilayah tertentu, studi perbandingan politik ini menempati posisi sentral. Dan karena asumsi yang dikembangkan dalam studi perbandingan politik adalah adanya perbedaan karakter sosial, budaya, ekonomi dan politik di sejumlah wilayah, maka studi perbandingan politik tidak bisa mengelak untuk meminjam sejumlah perangkat ilmiah yang dikembangkan oleh disiplin ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, untuk memahami karakter yang berbeda dari wilayah lain tersebut.

Apa yang terjadi dalam ilmu politik, barangkali juga dialami dalam perkembangan studi hukum. Munculnya subjek kajian dalam ilmu hukum dengan menggunakan khazanah disiplin nonhukum, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, politik hukum, dan psikologi hukum, merupakan bukti bahwa bantuan disiplin ilmu lain dalam kajian hukum adalah sebuah realitas.

Prof Tjip agaknya berada pada kondisi ini, ketika ia memilih sosiologi untuk digunakan sebagai tool of analysis dalam berbagai fenomena hukum yang ia kaji, maka sejak itu sesungguhnya ia tengah menggagas ilmu hukum progresif.

Demikian pula ketika ia menganalisis kepolisian Indonesia, sosiologi yang ia gunakan untuk menjelaskannya. Pilihan pada polisi sebagai subjek kajian sudah cukup terang bagi kita bahwa Prof Tjip lebih tertarik menganalisis hukum dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana sering ia sampaikan dalam berbagai kesempatan, bahwa ”polisi adalah wajah hukum kita sehari-hari”.

Agaknya dengan memilih sosiologi sebagai alat analisis dan polisi sebagai subjek kajian, beliau  ingin menunjukkan kepada kita dinamika perubahan sosial yang sedang berjalan, ”sejalan” dengan -walaupun tidak selalu seiring” perubahan hukum.

Mengapa Prof Tjip menyebut ”polisi adalah wajah hukum kita sehari-hari”? Kehidupan hukum, menurut Friedmann, setidaknya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu substansi atau norma hukum, struktur atau lembaga hukum, dan kultur hukum. Kendatipun di Indonesia berlaku asas fiksi hukum, di mana setiap orang dianggap tahu hukum, namun kenyataan menunjukkan bahwa substansi dan struktur hukum kita hanya diketahui oleh sedikit orang, sementara kebanyakan orang masih sedikit yang tahu.

Kondisi yang muncul sejak reformasi bergulir tahun 1998, menurut Prof Tjip telah menjadikan Indonesia sebagai laboratorium hukum yang luar biasa bagusnya (par exellence). Selama itu terjadi banyak penyimpangan hukum di Indonesia, bahkan memunculkan ”tatanan dalam ketidaktertiban” atau ”ketertiban dalam ketidaktertiban”.

Ironisnya, ilmu hukum di Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa dengan kenyataan yang menyimpang itu. Bahkan, ilmu hukum kurang mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan tatanan di dalam negeri sendiri, dan tidak mampu mewadahi kenyataan yang muncul sejak reformasi. Ini terjadi karena instrumen konsep yang dipakainya sangat sempit.

Dalam pidato emeritus untuk mengakhiri masa jabatannya sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Undip, Sabtu, 19 November 2000, Prof Tjip menyampaikan pidato berjudul ”Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder)”. Menurut beliau sejak berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto, bangsa Indonesia bisa melihat dengan jelas apa, bagaimana dan hakikat hukum yang sebenarnya.

Prof Tjip mencontohkan, proses turunnya Presiden Soeharto, bukanlah karena Ketetapan MPR yang mengangkatnya dicabut, tetapi karena gelombang desakan rakyat yang dipelopori mahasiswa. ”Bagaimana hukum tata negara tradisional akan menjelaskan itu? Apakah hanya akan mengatakan bahwa itu adalah proses yang tidak biasa? Ilmu hukum harusnya bisa memberikan penjelasan yang lebih baik,” kata Prof Tjip.

Sebab, sebetulnya dalam bahasa tatanan sosial, pada saat itu mahasiswa bukan semata-mata berdemonstrasi, tetapi justru sedang menulis ketetapan untuk menurunkan Soeharto. Menurut Prof Tjip itulah penjelasan ilmiah yang lebih berkualitas, genuine, jujur dan utuh, dan memang ilmu dituntut untuk dapat memberikan penjelasan seperti itu.

Berdasarkan pengamatan laboratoris itulah, menurut Prof. Tjip, kita sudah dapat mengajukan proposisi teori bahwa hukum selalu menjalani referendum. Dalam keadaan normal atau di bawah tekanan rezim yang opresif dan mengabsolutkan stabilitas, referendum itu memang tidak tampak, tetapi itu tidaklah menghilangkan referendum yang abadi. Sebab, kendatipun dalam suasana pemerintahan yang otoritarian, referendum sewaktu-waktu bisa muncul juga.

Batas-batas antara order dan disorder, menurut Prof Tjip, ternyata tidak hitam putih, karena dalam laboratorium Indonesia interaksi keduanya cukup dapat diamati, dan ini seharusnya memperkaya dan mencerdaskan bangsa kita.
Prof Tjip hanya menawarkan satu cara pandang dalam melakukan studi hukum, di antara sekian banyak cara pandang lainnya, tentu saja.

Selamat jalan Prof Tjip, semoga husnul khatimah dan ilmu yang telah diajarkan menjadi amal jariyah. Ilmu hukum progesif tak akan pernah mati sebagai alternatif pemikiran hukum di Indonesia, walau telah ditinggal berpulang sang penggagasnya. (10)

— Hasyim AsyĆ­ari adalah dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro dan Editor Buku karya Prof Dr. Satjipto Rahardjo SH ”Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002)

Wacana Suara Merdeka 9 Januari 2010