08 Januari 2010

» Home » Kompas » Rezim Bredel Buku Berlanjut

Rezim Bredel Buku Berlanjut

”Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!”
Ucapan salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, di atas kini menggema kembali karena dikutip oleh Zakiah Nurmala dalam film Sang Pemimpi garapan Riri Riza dan Mira Lesmana, diangkat dari novel tetralogi best seller karya Andrea Hirata.


Di masa kolonial, para founding fathers kita tetap dapat membaca buku atau menulis di penjara. Tengok betapa kayanya pemikiran-pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain, yang ilmu dan pemikirannya antara lain didapat atau dituangkan di dalam tahanan atau di tempat pembuangan mereka. Dengan kata lain, di era kolonial pun masih ada kebebasan bagi para tokoh gerakan kemerdekaan RI untuk menimba ilmu dan menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam tulisan pendek semacam pleidoi atau buku.
Di era kemerdekaan, kebebasan itu malah agak terbelenggu, bahkan terpasung, khususnya ketika rezim-rezim otoriter berkuasa di negeri ini pada era Orde Lama maupun era Orde Baru. Di era Bung Karno, mereka yang tak sepaham dengan aliran kebudayaan kiri mendapatkan hantaman dari kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, grup musik Koes Bersaudara pun yang katanya mengalunkan musik ngak-ngik- ngok, antirevolusi, tak luput dari cekalan pemerintah dan dijebloskan ke penjara. Di penjara tersebut Tony Koeswoyo melahirkan lagu yang hingga kini masih populer, ”Ke Jakarta Aku Kan Kembali”.
Masih terbelenggu
Di era Presiden Soeharto, tak sedikit buku yang dilarang beredar karena dianggap ”mengganggu kepentingan umum atau stabilitas nasional”. Buku karya Tan Malaka, Madilog, termasuk buku yang diharamkan untuk dibaca publik, sampai-sampai di Departemen Ilmu Politik FISIP UI pada era awal 1980-an, seorang mahasiswa gagal ujian skripsi karena isinya membahas pemikiran-pemikiran Tan Malaka. Padahal, dalam Madilog dan Catatan dari Penjara, ada ajaran Tan Malaka yang menjadi panutan para pimpinan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan kemudian TNI (Tentara Nasional Indonesia) saat itu, yakni ”Revolusi membutuhkan tentara rakyat!”
Buku tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang diterbitkan Hasta Mitra, juga dilarang beredar pada era Orde Baru. Lucunya, ketika ada demonstrasi antibuku-buku kiri pada era Orde Baru, para demonstran itu juga menunjukkan buku Atheis karya Achdiat Kartamihardja (yang biasa dipanggil Aki yang bermukim di Canberra, Australia) sebagai buku kiri! Padahal, novel tersebut berkisah mengenai dua sejoli yang saling jatuh cinta, yang satu amat modern dan tak percaya kepada Tuhan, sementara satunya ingin mengajak kekasihnya itu bertuhan.
Di usia ke-11 tahun reformasi politik, kebebasan berekspresi ternyata masih terbelenggu. Ada lima buku yang dilarang, yaitu Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (karya ilmiah John Roosa), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat (karya Socrates Sofyan Yoman), Lekra Tak Membakar Buku. Suara Senyap-Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (karya Darmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Beragama (karya Syahruddin Ahmad).
Pelarangan atas lima buku oleh Kejaksaan Agung pada akhir Desember 2009 itu menimbulkan kontroversi apakah pelarangan buku itu masih layak dilakukan di kala sistem politik kita menuju ke konsolidasi demokrasi.
Buku sanggahan
Satu buku yang tidak dilarang secara resmi, tetapi toko-toko buku diintimidasi agar tidak menjualnya adalah karya George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas. Di Balik Skandal Bank Century, penerbit GalangPress, Yogyakarta, 2009. Buku ini menguak bisnis keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari bisnis energi sampai ke kue kering, serta kaitannya dengan skandal Bank Century.
George juga menggambarkan bagaimana yayasan-yayasan didirikan oleh SBY dan kroninya untuk menangguk duit dari para pengusaha dan meraih dukungan suara dari pemilih pada pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009. Yayasan yang patut diduga melakukan itu adalah Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK). Semua itu bisa dibaca lengkap pada lampiran 3a, b, dan c buku tersebut. Entah kebetulan atau sebagai balas jasa, empat pengurus Dewan Pembina Yayasan, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan Muhammad S Hidayat, mendapat jabatan menteri atau setingkat menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Akan menarik jika dari Cikeas pun membantah tuduhan-tuduhan itu bukan melalui pencekalan atau tuduhan memfitnah, melainkan dengan menerbitkan buku sanggahan. Ini dilakukan oleh para penyanggah buku yang amat fenomenal karya Dan Brown, The Da Vinci Code.

Akan lebih manis pula jika SBY bukan mengadu dan meminta belas kasihan dari rakyat di berbagai kesempatan seolah-olah ia difitnah, melainkan dengan kepala tegak, mata berbinar, dan wajah manis ia mengatakan kepada George J Aditjondro dengan mengutip Voltaire, ” I disapprove of what you say, but I will defend to death your rights to say it.” Jika itu dilakukan SBY secara jujur dan bukan sekadar politik pencitraan, pamornya niscaya akan melambung kembali. Akan tetapi, SBY tampaknya bukan tokoh yang seperti Voltaire!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, LIPI, Jakarta
Opini Kompas 9 Januari 2010