08 Januari 2010

» Home » Okezone » Manunggaling Gusti lan Kawula

Manunggaling Gusti lan Kawula

DALAM dunia tasawuf dikenal istilah manunggaling kawula lan gusti. Istilah ini berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan.

Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang di antara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api. Logika itu juga dikenal dalam teori kepemimpinan Jawa bahwa pemerintahan akan menjadi baik, tenteram, dan makmur kalau hati penguasa dan rakyat telah menyatu, berada dalam gelombang sama. Di pihak lain, rakyat mesti mampu menyelami apa yang menjadi kehendak raja atau gusti, lalu sepenuh hati menuruti titah sang raja.

Ketika aspirasi rakyat sama dengan kehendak pemimpin, terjadilah kesatuan hati, kesatuan langkah. Dalam era demokrasi, formula yang lebih tepat adalah manunggaling gusti lan kawula, bukannya kawula lan gusti. Di sini yang lebih aktif adalah pihak penguasa dengan mampu menyelami dan memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan rakyatnya. Popularitas dan wibawa seorang pemimpin akan bertahan selama mampu menyelami, memahami, dan menampung aspirasi rakyatnya. Seorang penguasa akan efektif memimpin selama dicintai rakyatnya dan cinta akan tumbuh dari prestasi sang pemimpin yang disertai ketulusan dalam memajukan masyarakatnya.

Fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini mengindikasikan keadaan sebaliknya. Banyak pemimpin politik awalnya bersusah payah membangun citra agar populer di mata rakyat. Berbagai upaya dilakukan, sejak dari memasang iklan dirinya di televisi, fotonya terpampangdi baliho, rajin bersilaturahmi sampai memberi bantuan agar berhasil menduduki jabatan politik dalam birokrasi negara, parpol atau ormas. Namun, setelah berhasil, para kawula atau rakyat yang menjadi pilar pendukung dan penyangganya lalu ditinggalkan sehingga terputus hubungan kasih sayang, kepercayaan, komunikasi gagasan, dan kerja sama antara penguasa dan rakyat, antara gusti lan kawula, antara pemimpin dan konstituennya.

Pemimpin model ini pasti tidak akan tahan lama. Dia adalah pemimpin kontraktual yang potensial merusak iklim dan kultur politik. Orang bisa jadi tidak akan percaya kepada parpol atau pemerintah gara-gara kecewa terhadap oknum atau pribadi pemimpinnya. Pasang surut dan timbul tenggelamnya parpol dalam panggung politik sebagian disebabkan oleh kekecewaan rakyat pada perilaku pimpinannya. Namun di balik kebisingan politik dan kekecewaan rakyat, di sana terdapat proses pembelajaran dan pendewasaan rakyat yang sangat signifikan, yaitu bagaimana rakyat merespons isu politik dan menilai aktor-aktornya.

Akhir-akhir ini, masyarakat tidak mudah diprovokasi untuk melakukan demonstrasi mengecam dan melawan pemerintah tanpa alasan dan bukti yang meyakinkan karena rakyat semakin kritis. Siapa kelompok demonstran yang rasional, emosional, dan mungkin bayaran, rakyat memiliki cara pandang mandiri. Begitu pun dengan banyaknya panggung televisi, berbagai pikiran masyarakat akan tersalur dan terwakili melalui berbagai program dan figur yang tampil. Situasi ini juga merupakan pendidikan politik yang sangat signifikan bagi masyarakat dan mampu meredam kemarahan karena pikiran dan perasaannya telah terwakili.

Salah satu kelemahan dari komunikasi visual dalam masyarakat modern adalah kita cenderung menyandarkan pada media massa untuk mengenal pribadi para tokoh, sementara para tokoh sangat sadar bagaimana membangun citranya melalui pemberitaan media massa. Oleh karena itu, seorang selebritas adakalanya naik daun dan menjadi populer berkat dukungan media massa dan suatu saat mendadak turun drastis pamornya juga oleh pemberitaan media massa. Dengan kata lain, di situ tidak tercapai kondisi manunggaling gusti lan kawula.

Dalam masyarakat modern yang relasi antarwarganya cenderung impersonal dan atomik, ditambah lagi peran media massa sering membuat sensasi, sering kali kita dibuat ragu bahkan bingung untuk menilai seseorang dan isu yang tengah hangat karena memang tidak memiliki data yang akurat. Jadi, ada benarnya rumusan nasihat benefit of the doubt, berilah ruang keraguan untuk menilai sesuatu atau seseorang agar tidak terjadi penyesalan. Ada untungnya bersikap ragu dan menunda penilaian terhadap hal-hal yang kita tidak tahu persis.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Opini Okezone 8 Januari 2010