02 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Bapak Pluralisme Indonesia

Bapak Pluralisme Indonesia

INDONESIA kehilangan salah seorang tokoh terbaiknya, Abdurrahman Wahid. Gus Dur -sapaan populer Abdurrahman Wahid- mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45. Beliau telah dimakamkan di Jombang pada Kamis, 31 Desember 2009, pukul 13.00.

Gus Dur memang tokoh multidimensional yang dimiliki banyak kalangan, termasuk etnis Tionghoa. Tidak heran pendiri Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (Inti) Michael Utama Purnama mewakili warga Tionghoa Indonesia menyampaikan dukacita mendalam. Pria yang mengenal Gus Dur sejak 1979 itu mengatakan sepantasnya jika warga Tionghoa berdoa dan berduka. Sebab, Gus Dur adalah satu-satunya tokoh yang selalu berdiri dan membela hak-hak etnis Tionghoa di Indonesia yang kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Karena berutang budi yang tak terkira kepada Gus Dur, Michael bahkan telah merekomendasikan imbauan kepada semua warga Tionghoa di tanah air untuk membatalkan rencana pesta tahun baru (Jawa Pos, 31/12/2009).

Peran Gus Dur

Berkat Gus Dur, segala bentuk diskriminasi bahkan ''cultural genocide" yang dilakukan pemerintah Orba dihapus. Itu tidak berlebihan. Seperti kita tahu sejak Soeharto berkuasa pasca 1965, semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres No 14/1967. Pelarangan jelas suatu bentuk diskriminasi negara karena lewat dukungan regulasi, etnis tersebut dianggap tidak setara. Etnis Tionghoa hanya dijadikan minoritas perantara atau middleman minority (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di Singapura). Perantara di sini, maksudnya, golongan Tionghoa hanya dimanfaatkan sebagai perantara atau mesin pencetak uang atau binatang ekonomi. Peran seperti itulah yang gampang memicu konflik karena dianggap Tionghoa oportunis dan pro penguasa.

Syukurlah, lewat Keppres RI No 6/2000, Presiden Gus Dur, si Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang dan hanya menjadikan etnis Tionghoa sebagai binatang ekonomi. Megawati menindaklanjuti Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres No 19/2002 yang di antaranya meresmikan Imlek sebagai Hari Libur Nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003).

Jaminan Kesetaraan

Malah pada era SBY, berembus angin segar bahwa etnis Tionghoa sungguh diterima sebagai bagian integral bangsa ini. Ada regulasi yang menjamin kesederajatan atau kesetaraan etnis Tionghoa dengan anak bangsa yang lain. Contohnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lewat UU itu, tidak ada sekat-sekat lagi antara pribumi dan nonpribumi. Siapa pun, termasuk etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini, adalah WNI.

Dengan iklim yang kondusif di era SBY, jelas setiap etnis Tionghoa di negeri ini ditantang untuk menunjukkan kontribusi lebih positif ke depan. Peran perantara sebagai binatang ekonomi yang berkonotasi negatif jelas harus dilepas. Tapi, peran perantara yang bisa menjembatani kepentingan banyak elemen bangsa mutlak harus diambil. Mengapa? Pasalnya, etnis Tionghoa di negeri ini tidak bisa dikait-kaitkan dengan agama tertentu karena Tionghoa di negeri ini bisa beragama apa saja (mulai Kristen, Tao, Buddha, Islam, Konghucu). Itu jelas posisi yang strategis.

Peran menjadi jembatan itulah yang dulu selalu dimainkan Gus Dur. Hidup Gus Dur, kalau direnungkan lebih dalam, memang merupakan jembatan yang mencoba menghubungkan banyak orang agar bisa menjalin komunikasi setara, setiap bentuk perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan, tidak menjadi masalah. Gus Dur selalu berangkat dari ajaran Islam yang damai dan universal yang menempatkan manusia pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan. Sebab, manusia adalah ciptaan Tuhan, tidak ada pengotak-kotakan manusia yang putih, kuning, cokelat, atau hitam. Tepat bila dalam pidato pemakaman beliau, Presiden SBY menyebut Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.

Sebagai Bapak Pluralisme, kehadiran Gus Dur di mana pun selalu menjadi pohon teduh, yang menjadi tempat aman dan nyaman bagi siapa pun yang ingin mencari perlindungan. Penulis yang cukup sering berada di dekat almarhum selalu merasakan aura aman dan ''dimanusiakan". Pemikiran dan praksis hidup Gus Dur yang menghargai kemajemukan tersebut jelas cocok dengan kondisi negeri ini.

Kini sudah tidak ada Gus Dur di sisi kita. Meski demikian, ide-ide besar Gus Dur tidak boleh ikut mati. Siapa pun yang mengenal atau ''membaca" Gus Dur punya tanggung jawab moral untuk meneruskan sekaligus menghidupi ide-ide Gus Dur tentang ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Dalam hemat penulis, utang budi etnis Tionghoa kepada Gus Dur tidak hanya harus direspons dengan pembatalan perayaan tahun baru. Tetapi, setiap etnis Tionghoa, khususnya yang menjadi pelaku ekonomi, punya tugas menopang ekonomi negeri ini agar bisa bertahan dan menghidupi setiap warga bangsa, khususnya yang lemah.

CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya, harus lebih diwujudnyatakan untuk bisa mengangkat martabat saudara-saudara sebangsa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti menyekolahkan sebagian anak kaum miskin.

Terima kasih Gus Dur untuk semua jasa baikmu, semoga surga menjadi tempat peristirahatanmu yang abadi. (*)

*). Mustofa Liem PhD, dewan penasihat Jaringan Tionghoa Untuk Kesetaraan
Opini Jawa Pos 2 Januari 2009