02 Januari 2010

» Home » Republika » Zikir Berjamaah pada Malam Tahun Baru

Zikir Berjamaah pada Malam Tahun Baru

Oleh: Nurman Kholis
(Staf Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag)


Sejak beberapa tahun terakhir ini, harian Republika secara rutin menyelenggarakan acara zikir nasional untuk menyambut tahun baru masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat Isya. Acara ini selalu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham dan bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Acara zikir berjamaah menjelang tahun baru masehi tersebut menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa. Sebab, sejak awal penyebaran Islam ke bumi nusantara ini tidak lepas dari ijtihad para ulama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lokal yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun substansi tradisi tersebut diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa umat Islam. Hal ini sebagaimana dilakukan ulama terdahulu yang mengganti pembacaan mantra-mantra dengan zikir kepada Allah melalui pengucapan kalimat tahlil  La Ilaha Illallah sebanyak-banyaknya. Biasanya, pembacaan zikir tersebut digemakan dalam peringatan 1, 3, dan 40 hari setelah kematian sehingga acara peringatan itu disebut tahlilan.

Selain mengganti pembacaan mantra dengan zikir, para ulama juga mengganti maksud penyajian makanan. Bila berabad-abad sebelumnya penyajian makanan dimasudkan sebagai sesajen untuk para arwah, itu pun diubah sebagai jamuan bagi para tamu yang datang. Selain menggemanya kalimat  La Ilaha Illallah dalam peringatan kematian, acara tersebut menjadi ajang yang dapat mempererat silaturahim di antara sesama umat Islam. Berkat silaturahim yang erat ini, lambat laun Indonesia yang terletak sekian kilometer dari Arab menjadi kawasan yang mayoritas penduduknya memeluk Islam dan dapat disatukan dalam satu wilayah meskipun terdiri atas berbagai suku, bahasa, pulau, dan perbedaan lainnya.

>Kesamaan ide<B>
Menurut KH M Sufyan Raji Abdullah dalam buku  Bid'ahkah Tahlilan dan Selamatan Kematian? , ritual acara setelah kematian telah ada sebelum Islam, sekitar 5.000 tahunan Sebelum Masehi. Pada mulanya, kegiatan itu dilakukan oleh para penyembah dewa 'Yang' untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa keluarga yang telah wafat. Dalam upacara ini, berisi persembahan sesaji untuk sang dewa pada malam ke-1, ke-3, ke-7, ke-9, ke-15, ke-40, ke-100, ke-1000 hari, ke-1, dan ke-3 tahun dari kematian. Peringatan kematian ini kemudian mengalami sinkretisasi dengan agama Hindu dan Buddha yang ditambah dengan pembacaan mantra-mantra tertentu dari kedua agama ini. Dalam kitab  I'anatut Thalibin Juz II hlm 145-146, dinyatakan cara penyampaian rasa dukacita dengan cara penghidangan makanan tertentu dan berkumpul dalam ritual kematian tersebut dan acara ritual kematian pada malam ke-40 yang seperti itu (jahiliyah) adalah haram.

Ia juga menambahkan bahwa acara peringatan kematian yang diperbolehkan oleh syariat Islam adalah acara yang diisi dengan membaca Alquran, shalawat, zikir, dan sebagainya. Ia pun mengutip hadis dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan salah seorang sahabat Anshar yang bercerita, ''Kami keluar bersama Nabi SAW untuk mengantar jenazah salah seorang di antara penduduk yang wafat. Setelah pulang, kami diundang oleh istri yang berduka untuk datang ke rumahnya. Kemudian, ia menghidangkan makanan. Rasulullah SAW pun mengambil makanan yang dihidangkan tersebut dan beliau memakannya. Kemudian, para sahabat dan para undangan juga ikut memakan makanan tersebut.'' (HR Ahmad yang dikutip dari kitab  Hasyiyah ala Maraqi al-Falah karya Ahmad ibn Isma'il at-Thanthawy, Juz I, hlm 409, cet Maktabah al-Bab al-Halaby, Mesir, 1318).

Hadis tersebut menunjukkan bolehnya mengadakan acara zikir dan doa bersama untuk mayat dan menghidangkan makanan yang bukan diperuntukkan sebagai sesaji seperti yang berlaku di kalangan jahiliyah. Sebab, jika peringatan kematian itu diharamkan, tentu beliau tidak akan hadir dan ikut makan dalam acara tersebut.

Dengan demikian, ide penyelenggaraan zikir berjamaah pada malam pergantian tahun masehi memiliki kesamaan dengan ide dalam penyelenggaraan zikir berjamaah pada acara tahlilan. Ide yang mendasari tahlilan adalah penggantian tradisi yang tidak Islami, seperti pembacaan mantra-mantra dan pemberian sesajen untuk para arwah pada acara peringatan 3, 7, dan 100 hari setelah kematian diganti dengan pembacaan kalimat tahlil, pembacaan Alquran, dan salawat serta makanan yang tersaji dimaksudkan untuk para tamu. Sedangkan, ide yang mendasari zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi adalah penggantian acara peniupan terompet, penyalaan petasan, dan perbuatan sia-sia lainnya dengan zikir yang beberapa bacaannya juga terdapat dalam acara tahlilan.

Sebagaimana acara tahlilan yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya di nusantara, tentunya acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi juga ada yang pro dan kontra. Karena itu, supaya umat Islam tidak menghabiskan energi dalam perdebatan yang tidak pernah kunjung selesai, para penganjur acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi perlu juga menjelaskan bahwa acara tersebut hanya merupakan suatu tradisi sebagaimana tahlilan. Ia bukan bagian dari syariah sebab tidak pernah dicontohkan, diperintahkan, dan juga tidak pernah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua tradisi tersebut mubah yang berarti tidak wajib dan tidak pula haram untuk dilakukan.


Opini Republika 2 Januari 2009