30 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Utopia Republik 2010

Utopia Republik 2010

Kini kita kembali merayakan pergantian tahun; meninggalkan 2009 dan memasuki 2010 dengan penuh kontradiksi. Mengapa? Sebagai manusia yang ingin maju, tentu kita memiliki sejumlah mimpi dan sederetan harapan baru. Tetapi, sebenarnya, di balik mimpi dan harapan baru untuk meraih tahun baru yang lebih baik dan lebih berhasil, tebersit pula kegelisahan dan kecemasan baru akan menemukan aneka kegagalan yang kembali berulang.


Bencana alam yang lebih kurang satu dekade menerjang Republik dan fenomena kemiskinan yang tidak henti-hentinya membelenggu tubuh sebagian besar anak-anak negeri, tak pelak lagi membuat sanubari kita senantiasa diharu biru dengan campur aduk 'rasa-rasa sayu dan pengharapan' (Driyarkara dalam Karya Lengkap Driyarkara, suntingan Sudiarja, dkk). Belum lagi diikuti oleh keprihatinan publik soal kebobrokan nurani elite dan ketidakbecusan moral para petinggi negara dalam melakukan pencerahan bangsa lewat pemberantasan korupsi.

Dalam situasi kontradiksi yang memiriskan hati, dan niatan untuk mengatasi kegagalan, dan keinginan untuk menembus keberhasilan itulah terpatri kemampuan transendental manusiawi yang memungkinkannya untuk melakukan refleksi dan/atau perenungan atas waktu baik untuk kehidupan pribadi maupun untuk bangsa. Pada tingkat pribadi, refleksi menghasilkan (auto-) biografi, sedangkan pada tingkat bangsa membersitkan sejarah tentang pengalaman bangsa. Inilah secara eksistensial-spiritual dapat mengantarkan kita pada kesadaran tentang keberadaan manusia dalam berhadapan dengan waktu, seperti dilukiskan filsuf Driyarkara, 'setiap kita, ada dalam waktu, terkurung dalam waktu, tetapi mampu mengatasi waktu'.

Optimisme utopis

Bencana demi bencana yang bagaikan litani kepedihan yang tanpa henti, dan kesulitan demi kesulitan yang terus membelenggu dan mengapungkan trauma publik, dapat membuat pesimisme dan apatisme menyengat kalbu sehingga nyaris tak menyisihkan ruang untuk membangkitkan harapan dan membangun mimpi. Lalu, apakah dengan demikian, kita hanya terkurung dalam keputusasaan dan terus-menerus mengitari pengalaman pahit (memori passionis) tanpa kesediaan untuk merakit harapan yang membahagiakan?

Futurolog Thomas Friedman menulis, keberhasilan masa depan bergantung pada bagaimana kita menyikapi dan mengelola berbagai pengalaman pahit masa lampau (memori passionis) untuk membangun impian masa depan yang lebih cerah. Itu diungkapkan dengan pertanyaan, does your society have more memories than dreams or more dreams than memories? Masalahnya, tentu bergantung pada apakah kita memiliki lebih banyak memori ketimbang mimpi atau sebaliknya.

Imam Cahyono dalam sebuah esainya, menyitir Friedman, menulis jika mimpi lebih besar daripada ingatan, muncullah utopia, sebuah gambaran ideal tentang sesuatu yang diimpikan. Utopia merupakan imajinasi untuk membangkitkan harapan akan suatu masa depan yang lebih baik dan membangun cita-cita hidup yang lebih bersahaja. Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kesadaran berbangsa yang sama, pengalaman traumatik masa lampau yang sama akibat penjajahan, dan memiliki cita-cita kemerdekaan yang sama, yaitu ingin membangun masa depan bangsa yang aman, damai, makmur, dan sejahtera-–ala Benedict Anderson yang menggambarkan bangsa sebagai komunitas imajiner, sebuah komunitas yang dibayangkan--tentunya memiliki gambaran akan kesempurnaan dan kebersahajaan yang dicita-citakan bersama.

Namun, persoalannya, apakah bangsa ini dalam meraih hari esok yang lebih ceria, menyongsong tahun baru yang lebih bersahaja dan membangun kesejahteraan bersama yang dicita-citakan itu masih tetap berpijak pada realitas–pengalaman pahit yang dialami bersama di masa lampau? Pertanyaan problematik itu memang terasa sulit dijawab, di tengah rasa nasionalisme masyarakat yang terus memudar dan di saat egoisme publik yang semakin menyengat sehingga penderitaan dan pengalaman pahit atau traumatik masa lampau tidak lagi menyembulkan energi yang membangkitkan perubahan dan menggerakkan masa depan secara gamblang.

Padahal, Indonesia sebagai sebuah Republik, kembali menyitir Cahyono, harus dibangun berdasar optimisme menuju masa depan yang adil dan beradab. Mewujudkan utopia Republik berarti menemukan sosok Indonesia, sebuah Republik yang ada karena dan untuk rakyat. Menemukan sosok Indonesia berarti cerdas menemukan jati diri bangsa lewat penggalian terhadap segala pengalaman pahit dan traumatik di masa lampau dan dijadikan sebagai cermin untuk membangun masa depan. Tulis David Kolb, sang penggagas the clinical experiental learning model di AS, pengalaman nyata-–pada masa lampau dan masa kini--adalah titik awal tumbuh kembang yang dialami bangsa yang mau mengubah nasibnya dan terus belajar dan ingin maju. Pengalaman adalah sumber sejarah inspiratif pembelajaran dan tumbuh kembang.

Celakanya, segala cara dan upaya serta aneka momentum, seperti reformasi yang diniati sebagai gerbong yang dapat mengantarkan bangsa ini menuju wajah baru keindonesiaan, tidak pernah terumuskan dengan baik menjadi sebuah visi kebangsaan. Hasilnya wajah baru keindonesiaan yang diharapkan seperti terciptanya kesejahteraan rakyat sulit terwujud. Penciptaannya hanya dapat tercapai jika segala potensi bangsa dimaksimalkan. Indonesia memang memiliki semua potensi untuk maju dan berdiri tegak sebagai bangsa yang terhormat dan beradab. Berkelimpahan kekayaan zamrud khatulistiwa sebenarnya menjadi potensi dahsyat untuk penciptaan kesejahteraan. Semua itu kini masih bagaikan raksasa yang tidur lelap dalam diri kita.

Bangsa tanpa sandaran

Untuk mewujudkan harapan hari esok yang lebih baik sebagai sebuah bangsa dalam menyongsong tahun baru ini, tidak bisa berjalan sendirian alias lepas dari peran negara. Negaralah yang harus menjadi sandaran masyarakat bangsa untuk meraih impiannya. Negara yang dimaksudkan di sini adalah para pemimpinnya yang telah mengidentifikasikan dirinya dengan negara itu sendiri. Sesuai dengan teori integralistik, negara semestinya mampu menjadi petunjuk jalan ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan oleh rakyat. Seperti yang dikemukakan Magnis Suseno, negara bertujuan menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi negara, selain pada masa depan atau pada tahun yang akan datang harus benar-benar memberikan perlindungan, petunjuk dan pencerahan bagi warga negara untuk menggapai impiannya. Dalam situasi yang urgen saat ini, hal itu dapat benar-benar diwujudkan lewat perbaikan moral dan pencerahan nurani elite dan keseriusan dalam tindakan pemberantasan korupsi. Kemudian, dalam jangka waktu yang lama, itu dapat dilakukan dengan mengerahkan segala potensi yang dimiliki bangsa ini lewat penciptaan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan warga negara bisa sejahtera sesuai dengan cita-cita bernegara. Jika tidak, sia-sialah kita bernegara dengan menyatukan masyarakat dari segenap suku bangsa di seluruh Nusantara, karena semuanya tidak memiliki sandaran untuk mewujudkan harapan dan merealisasikan impiannya. Sia-sia pula bangsa ini merayakan Tahun Baru sebagai momentum untuk memperbaiki dan membarui diri dan memupuk harapan untuk menyongsong masa depan dengan lebih baik.

Oleh Thomas Koten Direktur Social Development Center
Opini Media Indonesia 31 Desember 2009