Oleh HUALA ADOLF
Kesepakatan perdagangan ASEAN Cina (ASEAN China Free Trade Agreement atau ACFTA) akan berlaku 1 Januari 2010. Menghadapi tanggal itu kalangan dunia usaha termasuk asosiasi dagang dan industri, seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), meminta pemerintah menunda ACFTA. Mereka belum siap bersaing. Kalau kesepakatan itu dibuka, mereka khawatir akan tergilas masuknya produk Cina.
Kekhawatiran dunia usaha kita terhadap kesepakatan ACFTA memang beralasan. Kesepakatan mencakup tiga bidang yang luas dan strategis; perdagangan barang, jasa, dan investasi. Dari segi volume dan potensi ekonomi, di ketiga bidang itu, Cina terlalu kuat untuk disaingi.
Dasar hukum ACFTA adalah perjanjian payung di bidang kerja sama ekonomi komprehensif antara ASEAN dan Cina yaitu Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and the People’s Republic of China (Framework Agreement). Perjanjian ini ditandatangani pada 5 November 2002 dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on Trade in Goods atau kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November 2004), Agreement on Trade in Service atau kesepakatan perdagangan di bidang jasa (14 Januari 2007), dan Agreement on Investment atau kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007).
Kekhawatiran dunia usaha terhadap ACFTA yang diungkapkan dewasa ini patut kita dengarkan. Akan tetapi, dari kekhawatiran ini, masalahnya adalah, kenapa baru-baru ini saja suara mereka diungkapkan? Bukankah sebagai pengusaha, mereka adalah pelaku dan aktor utama dalam perdagangan?
Kurang dilibatkan
Masalah utama penyebab kekhawatiran dunia usaha adalah kurang dilibatkannya mereka dalam proses perundingan. Pengusaha bahkan tidak diikutkan dalam proses perundingan yang forumnya bersifat antarpemerintah seperti ASEAN.
ASEAN adalah organisasi regional yang keanggotaannya terbatas pada negara. Dalam berbagai perundingan resmi mengenai isu-isu yang menjadi agenda perhatian ASEAN, pihak yang ikut adalah perwakilan negara anggota. Selain negara, pihak swasta atau pengusaha tidak menjadi peserta.
Penyebab kedua, kurang dilibatkannya dunia usaha kita sebagai anggota (delegasi) dalam proses perundingan terutama di perundingan kerja sama ekonomi atau perdagangan. Proses perundingan, termasuk persiapan perundingan, pihak yang langsung menanganinya adalah instansi pemerintah.
Dasar hukum untuk perundingan perjanjian internasional adalah UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU ini menjadi landasan hukum utama bagi pemerintah dalam mempersiapkan, merundingkan, menandatangani bahkan mengesahkan perjanjian internasional.
Pasal penting UU ini adalah Pasal 5. Pasal ini menyatakan, lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri (ayat 1).
Ayat 2 Pasal 5 menyatakan, pemerintah RI dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi. Posisi tersebut dituangkan dalam suatu pedoman delegasi RI. Pedoman delegasi RI perlu mendapat persetujuan Menteri. Pedoman harus memuat antara lain, latar belakang permasalahan, analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis, yuridis, dan aspek lain yang dapat memengaruhi kepentingan nasional RI.
Pasal 5 ayat (4) menyatakan, perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan delegasi RI yang dipimpin menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.
Pasal utama tadi tidak menyebut pihak di luar pemerintah seperti dunia usaha. Persiapan perundingan dalam rapat-rapat antardepartemen dihadiri berbagai instansi pemerintah. Swasta jarang diundang. Wajar saja perjanjian kerja sama dengan pihak asing atau organisasi internasional di bidang ekonomi atau perdagangan, suara dunia usaha kita kurang tersalurkan.
Antisipasi dampak
Kekhawatiran dunia usaha terhadap akan berlakunya ACFTA memang beralasan. Keinginan mereka agar perjanjian tersebut ditunda, perlu pemerintah respons dengan positif.
Sebelum mengesahkan perjanjian internasional di bidang ekonomi atau perdagangan, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak perjanjian tersebut. Setiap perjanjian kerja sama di bidang ekonomi atau perdagangan membawa dampak baik atau buruh bagi perekonomian.
Untuk mengetahui dampak yang akan terjadi dari perjanjian internasional, konsultasi dengan pihak yang akan terkena dampaknya, harus dilakukan. Konsultasi bukan sekadar dengan instansi, departemen, atau nondepartemen. Konsultasi perlu dilakukan dengan pihak-pihak ketiga, seperti dunia usaha atau akademisi.
Pemerintah perlu menjelaskan peluang atau kesempatan dari suatu perjanjian atau kesepakatan internasional di bidang ekonomi atau perdagangan kepada dunia usaha. Pemerintah perlu juga meminta masukan, kepentingan, dan kalau perlu kritik mereka terhadap muatan perjanjian internasional yang akan disepakati.
Suara dunia usaha terhadap akan berlakunya ACFTA adalah suara yang murni kepentingan dunia usaha. Merekalah garis depan yang akan terkena dampak dari masuknya produk Cina ke dalam negeri. Sambil berupaya meminta penundaan ACFTA, pemerintah agar lebih terbuka untuk mendengar suara dan kepentingan dunia usaha. Di masa depan, dalam negosiasi kerja sama perdagangan atau ekonomi, pemerintah perlu mendengar suara dunia usaha kita. ***
Penulis, Guru Besar Hukum Internasional FH Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 31 Desember 2009