30 Desember 2009

» Home » Solo Pos » 2009: Anno horibillis

2009: Anno horibillis

Bagaimanakah tahun 2009 ini harus kita maknai bersama? Kalau kita merekonstruksi kembali apa yang terjadi sepanjang tahun 2009, kita dibuat menarik napas dalam-dalam melihat kejadian yang menyayat hati.

Tahun 2009 yang sebentar lagi kita tinggalkan meninggalkan luka cukup mendalam. Tahun yang menjelma menjadi tahun menyeramkan (anno horibillis). Dari mana titik simpul harus kita tarik sehingga julukan anno horibillis untuk tahun 2009 itu keluar?
Jawabannya banyak namun saya akan mengambil beberapa contoh saja peristiwa besar yang menyedot perhatian supaya tulisan ini tidak menjadi kaleidoskop 2009 namun agar menjadi sarana refleksi.



Pemilu kacau
Agar ingatan kolektif kita kembali segar, saya hendak membukanya dengan kejadian luar biasa yaitu Pemilu 2009 yang berjalan dengan penuh karut-marut. Hak dasar anak bangsa untuk memilih dihilangkan akibat dari kacaunya daftar pemilih tetap (DPT) yang hingga saat ini tidak jelas siapa yang paling bertanggung jawab. Pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden yang menelan biaya besar dari pajak rakyat ternyata menjauhkan rakyat dari partisipasi politik akibat nama mereka tidak ada dalam DPT.
Pemilu juga membuat rakyat terkotak-kotak akibat warna pilihan politik yang berbeda. Wajah kota/desa berantakan akibat polusi iklan gambar calon anggota legislatif yang berjejer dengan iklan sedot WC, badut dan pengobatan alternatif. Mereka meneror dengan senyum manis artifisial tanpa satu pun yang kita kenal. Kampanye yang ingar-bingar membuat rakyat takut keluar rumah karena tak jarang terjadi peristiwa anarkistis.
Ketika anggota DPR sudah terpilih, sesak dada belum hilang karena miliaran rupiah dihamburkan untuk pesta pelantikan anggota DPR/DPRD. Padahal banyak periuk nasi rakyat yang terguling karena tidak dapat memasak nasi dan rakyat makan nasi aking. Hasil Pemilu dengan biaya triliunan rupiah yaitu anggota Dewan bagi-bagi kekuasaan, meminta fasilitas setinggi langit berupa mobil dan rumah dinas dan fasilitas yang lain jauh sebelum rakyat yang diwakili melihat kinerja mereka.
Tahun 2009 terjadi gempa bumi politik di Jakarta dan gempa bumi sungguhan di Sumatra Barat. Saat pemenang Pemilihan Presiden sudah diketahui, partai yang merasa berjasa menagih janji berupa jatah kursi. Presiden terpilih menjadi tersandera karena ternyata berada salam pilihan yang sulit namun komitmen tetap harus diberikan. Maka, yang muncul adalah kabinet balas budi, bukan zaken kabinet atau kabinet kerja akibat politik dagang sapi. Seorang yang tidak tahu teknologi informasi dan variannya menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi, pakar politik menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, bahkan mantan Ketua DPR turun derajat menjadi Menko Kesra. Maka, tak mengherankan program 100 harinya adalah membuat RPP Penyadapan yang akan memperlemah pemberantasan korupsi oleh KPK.

Ketidakadilan
Gong tahun 2009 adalah ketidakadilan yang menyeruak lewat empat peristiwa yaitu kriminalisasi pimpinan KPK yang memopulerkan istilah “cicak vs buaya”, kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni dan gong dari semua gong yaitu penyadapan pembicaraan telepon Anggodo Widjojo yang diputar oleh Mahkamah Konstitusi dan kasus Bank Century. Keempat kasus di atas menjadi perhatian rakyat banyak karena mendapat liputan luas media masa dan menyentuh rasa keadilan rakyat banyak.
Dalam terminologi ilmu sosial, sebuah peristiwa tidak melulu sebuah kejadian. Ia berkorelasi dengan kehidupan nyata. Peristiwa sosial mampu menempatkan rakyat banyak yang tidak saling mengenal seolah menjadi bagian dari peristiwa itu. Rakyat mencari jati dirinya seolah menjadi bagian dari sebuah peristiwa dengan memosisikan diri sebagai korban, ikut merasakan.
Rakyat tidak mengenal siapa Bibit dan Candra, Prita Mulyasari namun mereka seolah ibarat anggota keluarga kita yang penderitaannya ikut kita rasakan.
Kriminalisasi Bibit-Chandra dilawan dengan gerakan sejuta Facebooker dan denda Rp 204 juta yang dijatuhkan kepada Prita dilawan dengan pengumpulan koin. Mengapa koin dan bukan uang kertas ribuan? Inilah cara rakyat menyindir pemimpin yang bebal.

Rakyat antusias karena mereka juga pernah menjadi korban ketidaktahuan saat berhadapan dengan rumah sakit, namun tidak memiliki kekuatan untuk melawannya.
Gong semua gong anno horibillis 2009 adalah rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dan angket Bank Century. Mendengar rekaman Anggodo, kita masygul dan jadi percaya bahwa mafia kasus dan mafia peradilan yang selama ini dibantah itu memang ada. Kita harus percaya bahwa setan gundul di lembaga hukum itu ada.
Tahun 2009 ditutup dengan geliat koboi Senayan yang mengusung angket Bank Century. Rakyat sedari awal sudah skeptis bahwa ujung dari angket ini adalah bagi-bagi kue kekuasaan dan kue ekonomi, siapa mendapat apa dan seberapa banyak. Mengapa skeptis? Lihatlah apa yang mereka lakukan sekarang? Mereka berbicara jauh dari substansi dan ada tanda-tanda masuk angin. Saat menghadirkan para mantan pejabat BI dan Wapres Boediono, betapa lemahnya mereka. Ini dapat dilihat dari pertanyaan yang mereka tanyakan. Analogi bahwa satu pertanyaan yang baik akan melahirkan ribuan jawaban nyaris tidak ada. Yang ada hanyalah kesan menyudutkan dan menghakimi tanpa memahami substansi.
Kata orang pesisir, mereka itu hanya bermodal nyawang dan nyangkem. Terminologi nyawang adalah memandang dari jauh yang akan berakibat biasnya sebuah penglihatan karena ada keterbatasan indera kita. Sementara nyangkem adalah berbicara/berkomentar tanpa substansi dan kedalaman makna sehingga kesimpulan yang ditarik juga salah. Mereka tidak memiliki data yang kuat dan akurat untuk menopang penilaian.
Melihat rangkaian kejadian besar dari menyita perhatian rakyat namun tidak membawa pengaruh apapun kepada rakyat maka jelaslah bahwa rakyat yang mereka atas namakan kepentingannya itu sesuatu yang anonim dan tidak jelas di mana alamatnya. Rakyat hanya menjadi objek penderita tanpa mengerti harus berbuat apa. Namun rakyat yang tanpa alamat dan serba anonim itu ternyata jika berhimpun ternyata memiliki kekuatan yang melebihi air bah,gempa dan gelombang tsunami. Tempora premitur et no promitur in illis, waktu terus berjalan dan kita berjalan seiring dengan perjalanan waktu. Selamat Tahun Baru 2010. -

Oleh : Rumongso, Pendidik, aktif di KomunitasSapu Lidi
Opini Solo Pos 30 Desember 2009