Oleh M Ridwan Lubis (Ketua PB NU)
Indonesia beruntung memiliki dua organisasi keagamaan besar, bahkan terbesar di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini lahir pada saat strategi perjuangan bangsa Indonesia menghadapi kaum penjajah mengalami babak baru.
Semula pola perjuangan bangsa masih bersifat lokal yang digerakkan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang karismatik. Sekalipun dalam sekala kecil, akan tetapi perjuangan yang bersifat lokal itu cukup membuat repot pihak kolonial. Kehadiran dua organisasi ini dapat dipandang sebagai artikulasi dari format perjuangan umat Islam di Timur Tengah. Penderitaan demi penderitaan yang dialami umat Islam yang puncaknya pada abad ke-19 menyadarkan umat Islam bahwa mereka menyimpan sejumlah persoalan keummatan.
Secara ideal, nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Islam sungguh amat luar biasa yang telah pernah mengantarkan umat manusia ke pintu gerbang peradaban yang modern yang ditandai lahirnya berbagai karya sebagai monumen klasik. Akan tetapi, semuanya menjadi sirna lantaran umat Islam mengalami pembelokan etos perjuangan akibat melemahnya dinamika, kreativitas, dan inovasi mereka.
Kekuatan dua organisasi ini pada masa lalu adalah sebagai berikut. Pertama, para pendiri organisasi ini terdiri atas pribadi-pribadi yang memiliki kezuhudan, tidak tergoda oleh kekuasaan duniawi sehingga dengan keluhuran budi pekerti yang mereka miliki, maka jadilah mereka sebagai tokoh panutan yang selalu ditunggu-tunggu umat wejangannya manakala sedang menghadapi masa-masa sulit, terutama ketika berhadapan dengan penjajah.
Keluhuran pribadi ini terpantul dalam seluruh tata lakunya sehingga di wajahnya menampakkan suasana kesejukan dan kedamaian. Kuatnya kepribadian para pemuka organisasi ini terutama pada generasi awal memantulkan kekuatan kepribadian (quwwat syakhsiah) sehingga mereka memiliki karamah, ma'unah, setidak-tidaknya irhas di mata pengikutnya.
Sehingga, tidak jarang terjadi suasana 'penyerahan diri' kepada kemauan ulama karena ulama diyakini oleh umat sebagai pewaris nabi (al ulama waratsat al anbiya). Namun, konsekuensinya, terkadang para jamaah tidak mampu menarik batas antara keulamaan dengan kenabian sehingga yang terkesan bagi pengamat luar bahwa yang kelihatan adalah suasana feodalisme keberagamaan (religio-feodalisme), padahal ulamanya sendiri tidak setuju untuk dilakukan pengultusan terhadap dirinya sebagaimana yang bisa diamati bahwa ketika seorang santri menyalami dan hendak mencium tangan kiai, serta-merta kiai menarik tangannya. Oleh karena itu, suasana pengultusan berasal dari jamaah sebagai konsekuensi keinginan untuk memperoleh berkah dari pertalian hubungannya dengan ulama.
Kedua, sebagai upaya untuk membentengi umat dari penetrasi budaya asing yang tidak sejalan dengan Islam, ulama dengan sangat keras merumuskan batas-batas yang menjembatani tradisi dan modernitas. Oleh karena ulama lebih banyak berhadapan dengan masyarakat yang masih polos dan tingkat pengetahuan keagamaan yang masih tergolong rendah, terpaksa ulama merumuskan batas antara masa lalu dengan masa depan itu dengan memformulasikannya dalam sejumlah simbol, seperti kain sarung, topi putih, jas tutup, terompah, barjanzi, haul, serta larangan memakai dasi.
Dan pada masa berikutnya, oleh karena pola perjuangan Islam di nusantara lebih dipusatkan kepada pendekatan budaya bukan pendidikan, kondisi masyarakat tetap masih terpaku pada hal-hal yang simbolik. Dampaknya adalah sikap keberagamaan sebagian masyarakat bersifat kontraproduktif dengan esensi Islam sebagai pembawa kemajuan, yaitu dengan agenda tiga persoalan besar keumatan: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Ketiga, pola pemihakan yang dilakukan oleh ulama pada masa lampau, terutama dalam penyikapan terhadap berbagai persoalan kompetisi politik adalah keberhasilan mereka dalam menjaga jarak yang menjembatani antara pemerintah dan organisasi politik. Karena misi mereka adalah menjadikan aktivitas politik harus mendukung kepentingan Islam dan harus membawa kemaslahatan bagi umat Islam, bukan mengorbankan agama untuk kepentingan politik.
Kemampuan ulama untuk menjaga diri tidak terseret kepada arus persaingan kepentingan politik menempatkan NU dan Muhammadiyah berhasil untuk melakukan penjembatanan (bridging) dan penghubung (linking) antara pemerintah dengan masyarakat ketika masyarakat dihadapkan kepada peseteruan dengan penguasa sehingga dua organisasi ini bebas berbicara kepada kedua belah pihak.
Mungkin inilah kelebihan NU dan Muhammadiyah di banding LSM yang terlihat cenderung menarik garis pemisah antara lembaganya dengan pemerintah karena didasari oleh semangat advokasi. Dalam pandangan NU dan Muhammadiyah, baik masyarakat maupun pemerintah adalah juga warganya yang harus diberikan semangat pencerahan.
Oleh karena itu, wajar apabila dilakukan terhadapnya ajakan kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar). Keberhasilan dua organisasi ini berada pada posisi di atas semua kepentingan, maka NU dan Muhammadiyah berperan sebagai tempat umat mencari rujukan.
Sehingga, sikap-sikap resmi yang dikeluarkan dua organisasi ini cenderung dapat mendinginkan suasana yang cenderung menghangat manakala terjadi kekisruhan politik. Dalam kaitan itulah, dua organisasi ini memainkan politik tingkat tinggi (high politic) yang titik tolaknya adalah komitmen pada esensi kekuasaan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ke depan, hal ini hendaknya semakin diperkokoh sehingga ia tidak terjebak dalam permainan dari kepentingan persaingan politik.
Persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya sebagai akibat dari kurangnya perhatian untuk menjadikan wilayah pendidikan sebagai prioritas di dalam proses rekayasa sosial. Perkembangan penyiaran Islam di nusantara, sayangnya, tidak diteruskan dengan proses sosialisasi pembudayaan melalui pendidikan tingkat tinggi.
Ulama sendiri pada masa lalu telah merumuskan selayaknya sikap umat Islam dalam memahami posisi tradisi dan modernitas dengan semboyan memelihara tradisi yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Akan tetapi, harus diakui bahwa pelaksanaan konsep menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas itu tidak semudah mengucapkannya karena akan berhadapan dengan berbagai suasana kemapanan dan stabilitas di dalam masyarakat itu sendiri. Menarik keseimbangan antara dua pendulu tradisi dan modernitas adalah pekerjaan besar dan selalu bersifat jangka panjang karena setiap waktu selalu dibentuk oleh perubahan.
Oleh karena itu, diperlukan semangat memikirkan kembali Islam dengan pengembangan model rethinking of Islam yang unsurnya adalah berpikir strategis, berpikir analitis, berpikir kekuatan, dan berpikir kreatif. Keempat unsur ini akan saling memperkuat satu sama lain. Dalam kaitan ini ulama pada masa lalu telah mengembangkan pola persuasi dalam meyakinkan umat terhadap perlunya perubahan akidah, ibadah, dan pola relasi sosial.
Tidak bisa dihindari bahwa dengan gerakan memikirkan kembali Islam akan melahirkan dua gaya berpikir, yaitu gaya berpikir adaptif dan proaktif.
Gaya berpikir adaptif adalah lebih cenderung pada enam hal, yaitu mengikuti pola yang telah terbentuk; terorganisasi dengan baik; fokus pada tujuan; senang pada saat berhasil membuat keputusan; merasa nyaman saat menangani tugas satu per satu; dan lebih suka belajar melalui satu sumber.
Sementara gaya berpikir proaktif adalah mempunyai kecenderungan enam hal juga, yaitu: menggunakan cara yang berbeda untuk mendapatkan hasil; terlihat tidak terorganisasi; lebih menghargai proses dibandingkan hasil nyata; lebih suka melanjutkan proses dibandingkan mencapai tujuan; terlibat dalam lebih dari satu aktivitas atau tugas sekaligus; dan lebih suka belajar melalui lebih dari satu sumber (Jim Wheeler, 2004).
Kedua organisasi ini akan menyelenggarakan muktamarnya, NU pada Maret 2010 dan Muhammadiyah Juli 2010, maka wajarlah apabila harapan ini dititipkan kepada para muktamirin dan muktamirat agar dapat menangkap kuatnya iklim ukhuwah di kalangan pendukung, baik NU maupun Muhammadiyah. Oleh karena itu, dua pemimpin organisasi ini hendaklah sering duduk bersama dalam satu majelis untuk membahas berbagai persoalan strategis keumatan.
Opini Republika 30 Desember 2009