Oleh Masdar F Mas'udi (Ketua PBNU)
Innalilahi Wainnailaihi Rojiun. Kabar itu sangat menyentak kita semua. Pesan berantai yang langsung menyebar ke segala penjuru menyebutkan, KH Abdurrahman Wahid, telah meninggal dunia, meninggalkan kita semua.
Tentu, kita kehilangan dengan tokoh yang mungkin tak tergantikan dari berbagai seginya. Abdurrahman Wahid atau sering kali disapa Gus Dur memiliki kelebihan dan keistimewaan, baik secara keilmuan, keulamaan, politik, gerakan kemanusiaannya, baik dalam negeri maupun di luar negeri antara sesama Islam atau umat agama yang lain.
Gus Dur terpilih sebagai kepala negara juga tak terduga dan membuat saya berpikir bahwa kira-kira 90 persen, pemilihan Gus Dur menjadi presiden adalah intervensi dari 'atas'. Bayangkan saja, waktu itu beliau punya partai yang hanya mempunyai 11 persen suara, tetapi tiba-tiba bisa terpilih menjadi presiden. Ini semua karena takdir.
Sebagai ulama, beliau tidak tergantikan karena beliau sangat lengkap, multidimensi yang beliau miliki dan kemampuannya jauh di atas rata-rata. Beliau juga orang yang mudah disalahpahami, karena banyak hal yang mungkin memang beliau pada satu pihak begitu terbuka, tetapi dalam hal tertentu banyak hal yang beliau ucapkan, tapi tidak bisa dipahami secara harfiyah. Itulah yang membuat begitu banyak orang salah paham, bahkan orang yang ada di dekatnya barangkali juga tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang beliau katakan, beliau lakukan.
Yang paling penting soal demokrasi bagi negeri ini, beliau tokoh demokrasi, terutama ketika mendirikan Forum Demokrasi menjelang berakhirnya rezim Orde Baru. Dan, itulah yang membuat salah satu kekuatan yang mempercepat proses tumbangnya rezim otoriter kepada reformasi sekarang ini. Artinya, ada jejak dan jasa yang luar biasa dari beliau.
Pada saat itu, tidak ada orang yang berani berbeda dengan Pak Harto dengan segala kekuasaannya, tapi Gus Dur dengan keberaniannya hampir tidak ada yang ditakutinya menggalang kekuatan civil society untuk mendorong dan mendesak akan perubahan, dan beliau berhasil.
Kalau dari segi pimpinan ulama dan pimpinan NU peran beliau sangat penting. Karena, pada 1984 ketika NU menegaskan kembali kepada jati dirinya mendasar sebagai organisasi sosial keagamaan beliaulah yang memegang kendalinya, memegang pimpinannya, dan bukan hanya diserahkan kepemimpinan untuk mengembalikan kepada khitahnya, tetapi juga untuk sejak langkah-langkah awal untuk menyiapkan reformasi di dalam tubuh NU sendiri bersama dengan beberapa orang.
Beliau juga yang telah mengantarkan NU menjadi kekuatan civil society yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Dan, NU betul-betul dikenal, dihormati, direspek oleh banyak pihak, terutama, baik dari dalam maupun luar negeri dan sejak saat itu NU melejit dari sesuatu yang tidak pernah dibicarakan orang, tidak pernah dilirik orang, menjadi bahkan objek studi berbagai scolar baik dalam dan luar negeri pada masa kepemimpinan beliau.
Selain itu, muncul begitu banyak kajian dan penerbitan buku dalam maupun luar negeri yang mengupas tentang peranan NU sebagai satu kekuatan Islam moderat, dan juga sebagai satu kekuatan civil society sebagai kekuatan untuk mendorong demokratisasi di tengah-tengah kehidupan bangsa yang ditekan terus-menerus secara ofensif oleh rezim Orde Baru waktu itu.
Tokoh Perdamaian
Sebagai tokoh perdamaian, almarhum mendapatkan penghargaan perdamaian Magsaysay. Dan, memang pada saat beliau menjadi presiden dan juga mengambil langkah politik yang sangat berani, yaitu mendesak supaya keputusan MPR No 25 tentang PKI juga tentang Kong Hu Cu diakui sebagai agama yang resmi diakui oleh negara sebagaimana agama-agama lain.
Padahal, selama ini agama Kong Hu Cu berada pada posisi underdog karena dikaitkan dengan etnis tertentu dan juga ideologi tertentu. Tapi, kemudian dengan keputusan politik Gus Dur, Kong Hu Cu, sebagai kelompok minoritas keagamaan hidup sejajar dengan kelompok agama lain. Padahal, beliau dari pemimpin Islam yang pada umumnya agak curiga terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Tokoh Intelektual
Pertama, karena kemampuan keilmuan beliau, kemampuan analisis beliau yang sangat kritis, juga tentu saja karena karya-karya pemikirannya yang juga menggertak kebekuan dan mendorong perubahan. Saya kira itu yang menjadi pertanda kuat bahwa beliau memang seorang intelektual sejati. Beliau bukan hanya berpikir untuk mendeskripsikan kenyataan, tetapi sekaligus di dalam deskripsi keilmiahannya beliau menginspirasikan perubahan yang mendasar untuk kehidupan keagamaan dan keumatan serta kebangsaan.
Saya pikir kita berhutang budi begitu besar kepada cita-cita beliau. Dan, itu adalah harusnya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan cita-cita terbaik dari beliau, baik dalam kehidupan keagamaan, khususnya warga NU dan umat Islam pada umumnya dan juga bangsa. Itu menjadi tanggung jawab nahdliyin ke depan.
Seharusnya, kita semua merasa berhutang budi kepada beliau, terutama nahdliyin. Nah, ini saya kira tantangan NU ke depan, amanat NU ke depan, apakah cita-cita beliau justru akan diwujudkan lebih dahulu oleh pihak lain atau kita. Dan, seharusnya kita, nahdliyin, yang menjadi pelopor untuk mewujudkan cita-cita beliau. Jika tidak, berarti kita sebenarnya kehilangan ketokohan beliau.
Komunikasi yang beliau lakukan memang menerobos tradisi komunikasi para elite NU sebelumnya. Yang sudah mentradisi biasanya elite NU datang kalau diundang. Beliau sering kali datang ke pesantren, kiai-kiai, datang menemui umat di dalam berbagai acara yang terbatas maupun terbuka atas inisiatif sendiri.
Saya kira ini yang harus digarisbawahi betul. Jadi, datang bukan sebagai undangan, sebagai orang yang dipanggil atau di- tanggap (bahasa jawa), beliau memang memiliki dorongan dari dalam untuk silaturahim mendekatkan hati dan pikiran dengan umatnya, atas inisiatif dan kemauan kuat dari beliau sendiri. Termasuk, ketika beliau menjadi kepala negara. Tidak ada kepala negara yang begitu lebih banyak waktunya berada di luar istana.
Opini Republika 31 Desember 2009
30 Desember 2009
Kepergian Seorang Nahdliyin
Thank You!