Oleh: Muhammad Hanafi Maksum
(penulis buku)
Jawaban terhadap suatu pertanyaan tentu tergantung siapa yang menjawab. Kalau orang Islam sekuler atau yang tak paham syariat ditanya: ''Bolehkah atau tidak, umat Islam ikut merayakan hari Natal, tahun baru 1 Januari, hari Valentine, dan semacamnya, sebagaimana kaum Kristiani merayakannya?'' Jawabannya mungkin: ''Mengapa tak boleh? Sepanjang tak merugikan siapa pun dan pihak mana pun, merayakan ritual Natal, 1 Januari, dan semacamnya malah baik.''
Kalau kita bertanya bukan kepada orang yang tepat, jangan salahkan si penjawab, kalau jawabannya ngawur dan tidak argumentatif. Jawaban yang tidak argumentatif dan tidak berbobot mungkin tak perlu diperhatikan. Agar jawaban argumentatif, pertanyaan sebaiknya kita tujukan hanya kepada ulama-ulama kita yang ilmu mereka sudah diyakini, yang menguasai syariat, yang kalau menjawab pertanyaan, mereka bertanggung jawab dan tidak sembarang jawab.
Kalau pertanyaan di atas ditujukan kepada ulama ahlus sunnah wal jama'ah, yang mendasarkan jawaban pada Alquran dan as-sunah serta tidak berani memberikan jawaban yang menyesatkan. Maka, jawaban mereka tegas, yaitu: ''Tidak boleh.'' Tetapi, jawaban tegas tersebut tidak akan diterima semua umat Islam. Tak sedikit yang justru menolak. Bahkan, tidak saja menolak, tetapi ada juga yang justru ikut merayakan tahun baru 1 Januari sebagaimana dirayakan kaum Kristiani secara global internasional.
Bahkan, pada malam tahun baru, ada kawula muda yang beragama Islam ikut-ikutan bersama kawula muda Kristiani berhura-hura melakukan berbagai 'kegiatan' yang sebagian bersifat destruktif. Ironisnya, remaja yang beragama Islam itu terkesan tak merasa berdosa. Terutama, yang sebelumnya sangat akrab dengan kawula muda Kristiani itu.
Remaja Muslim yang tauhidnya telah mantap dan akidahnya sudah mendalam, akan merasa berdosa bergabung dengan Kristiani, apalagi dalam perayaan dan ritual semacam hari Natal, tahun baru, Valentine, dan seterusnya. Tetapi, keluarga Muslim yang sekuler mungkin tak peduli dan tak mencemaskan putra putri mereka sengaja melibatkan diri dalam perayaan Natal, tahun baru, dan lainnya. Juga, remaja dari keluarga yang tidak mengenal syariat dan tak pernah dididik tentang akidah Islamiyah, mungkin tidak merasa risih dan tak merasa berdosa akrab dengan remaja Kristiani, ketika ikut merayakan tahun baru.
Rasul Allah dalam hal ini mengingatkan bahwa pada saatnya nanti, sejengkal demi sejengkal, umat Islam akan mengikuti budaya Nasrani. Bahkan, andainya Nasrani memasuki lubang biawak, umat Islam juga ikut. Diakui atau tidak, sinyalir Nabi itu kini mulai terlihat satu per satu.
Di sini, intervensi setan tak boleh dilupakan. Dengan segala cara, setan iblis berupaya agar remaja Muslim ikut hanyut terlibat dalam pesta merayakan tahun baru itu. Di sinilah, antara lain letak urgensi iman. Kalau seorang remaja tidak beriman, walaupun dirinya dilarang ikut merayakan Natal dan tahun baru, bisa jadi ia akan nekad tetap ikut melibatkan diri. Sebaliknya, kalau ia beriman, diajak dan disuruh pun, ia tetap takkan sudi. Artinya, peran iman yang menentukan dalam hal ini. Kalau kedua orang tua seorang remaja memang saleh dan selalu mendoakan anaknya, biasanya sang anak remaja tersebut tidak akan ikut dalam kegiatan ritual itu. Remaja yang melibatkan diri dalam hura-hura pesta pada hari Natal dan tahun baru, pada umumnya orang tua mereka tak beriman dan kurang perduli serta tak mau mendakwahi anak sendiri.
Bahkan, mungkin tak pernah shalat seumur hidup. Dalam hal ini, sangat aib sekali kalau seseorang sangat bersemangat menceramahi masyarakat dan berkhotbah di berbagai masjid, tetapi tidak mendidik anak sendiri sehingga sang anak terlibat dalam ritual Natal dan tahun baru. Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan as-sunah, para pendahulu umat ( salafus saleh seperti para sahabat Nabi) sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, Idul Fitri dan Idul Adha.
Selainnya, tidak hanya sekadar tidak syari'i, tetapi umat Islam tak boleh ikut merayakannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya, dan membantu penyelenggaraannya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam konteks ini bersabda: ''Barang siapa menyerupai satu kaum maka dia termasuk mereka.'' (HR Abu Dawud dari Abdullah bin Umar) Hari Natal dan tahun baru termasuk di antara jenis perayaan yang dimaksudkan di atas, sebab termasuk di antara perayaan Nasrani.
Maka, tidak halal bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, menyetujuinya atau mengucapkan selamat terhadapnya. Sebaliknya, wajib atas setiap Muslim menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah SWT dan siksaan-Nya. Juga, diharamkan atas seorang Muslim membantu perayaan tersebut dengan cara apa pun, baik berupa pemberian hadiah, makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, saling berkirim surat, dan seterusnya.
Sebab, itu semua termasuk dalam sikap saling menolong di atas dosa dan permusuhan, serta kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah SWT dalam hal ini berfirman: ''Dan saling bertolong-tolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Almaidah: 2)
Opini Republika 30 Desember 2009
30 Desember 2009
Jika 1 Januari Tiba
Thank You!