30 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Berpulangnya sang Penakluk

Berpulangnya sang Penakluk

ABDURRAHMAN Wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur wafat, dipanggil berpulang ke hadirat Sang Khalik pada bakda maghrib malam, Kamis 14 Muharram 1431 H, tanggal 30 Desember 2009. Guru Bangsa penyemai demokrasi dan penganjur Islam moderat-toleran di Tanah Air itu wafat pada usia 69 tahun.

Siapa sesungguhnya Gus Dur? Abdurrahman Addakhil, Abdurrahman ”sang penakluk” adalah nama seorang tokoh Islam masa Umaiyyah yang pernah menaklukkan Spanyol pada masa keemasan Islam. Nama inilah yang diberikan oleh Kiai Wahid Hasyim kepada putra sulungnya, yang kemudian akrab disapa dengan nama Abdurrahman Wahid alias mengenal Gus Dur.


Bagi orang yang tidak begitu Gus Dur mungkin akan terkecoh kontroversinya. Jangankan orang luar NU, banyak orang NU pusing atas perilaku Gus Dur. Misalnya, Gus Dur terlibat sebagai anggota dewan juri Festival Film Indonesia (FFI), menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, kejeliannya sebagai pengamat sepak bola, menolak masuk ICMI malah membentuk Forum Demokrasi, menerima sumbangan dari SDSB, tuduhan-tuduhannya kepada berbagai pihak yang dianggapnya sebagai biang sejumlah kerusuhan beberapa waktu lalu, dan tentu saja gagasannya mengganti ”assalamu’alaikum” menjadi ”selamat pagi”.

Gara-gara gagasan itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Rais Aam NU dan pengasuh pesantren Salafiyah as-Syafi’iyah Situbondo, menyatakan mufarraqah (berpisah) dengan kepengurusan NU selama Gus Dur masih menjadi Ketua Tanfidziyah NU. Setidaknya tercatat dua kiai senior ”ditaklukkan” dan selanjutnya terpental dari kepengurusan Syuriyah PBNU selama kepengurusan Gus Dur, yaitu Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Alie Yafi.

Gagasan Gus Dur yang terkesan melampaui kebiasaan orang NU ini, membuat Fachry Ali menjuluki Gus Dur sebagai ”orang asing di tengah NU”. Bagi orang NU, perilaku Gus Dur di luar kebiasaan orang kebanyakan sering dimaafkan begitu saja dengan menisbatkannya sebagai wali.

Gus Dur menempuh pendidikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta, tahun 1953-1956. Dia tinggal di rumah KH Junaid, seorang Kiai Muhamadiyah dan anggota Majelis Tarjih Muhamadiyah. Oleh guru bahasa Inggrisnya yang anggota Gerwani (sayap perempuan PKI), Gus Dur muda diperkenalkan literatur-literatur serius berbahasa Inggris, seperti What is tobe Done? karya Lenin, Captain’s Doughter karya Turgenev, dan Das Capital karya Karl Marx. Betapa pada usia yang relatif muda, Gus Dur telah berkenalan dengan sumber bacaan yang belum tentu dapat dipahami oleh orang dewasa.
Kritik Soeharto Sebagaimana kebanyakan orang NU, Gus Dur menghabiskan banyak waktu belajar di berbagai pesantren. Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah bimbingan Kiai Chudlori, selama tiga tahun sejak 1956, adalah tempat Gus Dur mengawali pengembaraannya di pesantren.

Tahun 1964-1966 ia melanjutkan studinya pada Department of  Higher Islamic and Arabic Studies di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Kondisi belajar yang tidak kondusif bagi Gus Dur, membawanya menghabiskan waktu dengan mengikuti kegiatan di luar kampus, membaca di berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan nasional Dar al-Kutub, dan perpustakaan American University Library. Selama di Mesir, ia melakukan kontak dengan syaikh dan cendekiawan terkemuka, seperti Zaki Naguib Mahmoud, Soheir al-Qalamawi dan Syauqi Dief.

Yang tak kalah menariknya dia menyempatkan diri menikmati konser musik, nonton film-film Perancis dan tentu saja sepak bola. Selepas dari Kairo, Gus Dur belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak sampai 1970. Menurut KH Machfudz Ridlwan, kawan satu kamar Gus Dur di Bahgdad dan kini pengasuh pesantren Edi Mancoro, Gedangan Kabupaten Semarang, Gus Dur sering membawa pulang setumpuk buku untuk dibaca di luar jam-jam kuliahnya.

Kendati di perantauan, Gus Dur sering mengirimi surat bernada kritik kepada Soeharto. Solichah Wahid selalu dipanggil Soeharto untuk memberi nasehat kepada anaknya agar tidak terlalu nakal.

Gus Dur dikenal mampu berkomunikasi dengan komunitas NU sampai di level paling bawah melalui pengajian-pengajian tradisional, mampu bermain wacana ilmiah dengan kalangan intelektual perkotaan, dan dapat menjalin komunikasi secara intens dengan dunia internasional. Bahkan beberapa kalangan di NU meyakini Gus Dur mampu berkomunikasi dengan para ahli kubur.

Gus Dur telah berkenalan dengan berbagai wacana yang mungkin asing di lingkungan NU, seperti Das Capital karya Marx, dan telah bermain politik pada level tinggi sejak usia muda, kendati hanya lewat surat.

Karena itu, tidak mengherankan bila Greg Barton dalam disertasinya tentang Gagasan Islam Liberal di Indonesia menyebut latar belakang pendidikan dan pergaulannya yang terbuka itu membawa Gus Dur sebagai pemikir paling liberal yang tidak tertandingi oleh pemikir sekaliber Nurcholish Madjid sekalipun.

Dan tidak mengejutkan bila menjelang dan pascakejatuhan Soeharto, Gus Dur yang sering kali bolak-balik melakukan lobi dengan pihak Soeharto. Pada tahun 1999 Gus Dur dicalonkan dan dipilih oleh MPR sebagai Presiden RI keempat. Salah satu alasan utama pencalonan Gus Dur oleh Poros Tengah —terutama Fraksi Reformasi— adalah rendahnya tingkat resistensi terhadap Gus Dur, ketimbang dua calon lainnya, Habibie dan Megawati.

Satu kelebihan Gus Dur dibanding tokoh politik lainnya di negeri ini adalah pergaulannya yang luas, melampaui komunitasnya sendiri, dan keterbukaan sikapnya. Gus Dur sering memainkan berbagai peran pada berbagai kondisi. Dalam teori perilaku politik, posisi Gus Dur ”key role”, pemeran kunci. Artinya, sikap keterbukaan Gus Dur terhadap kawan dan lawan politiknya, menjadikannya sebagai tempat bertemunya berbagai persoalan politik.

Sejak kemelut Mei 1998, sudah tidak terhitung lagi berbagai kelompok dan tokoh politik bertemu dengan Gus Dur. Mulai dari Prabowo hingga Wiranto, di mana keduanya dikesankan berada pada faksi yang berseberangan di tubuh militer. Gus Dur pula yang memungkinkan bertemunya Amien Rais dan Megawati, dua tokoh reformasi yang terkesan sulit bertemu. Gus Dur juga memfasilitasi bertemunya berbagai gagasan pascapemilu 1999 antara para pendukung Habibie di tubuh Golkar, pendukung Megawati di PDI Perjuangan, dan kalangan Poros Tengah. Semua itu menjadikan Ciganjur, desa di kawasan Jakarta Selatan, menjadi salah satu tempat terpenting dalam pengambilan keputusan politik, selain Cendana, Patra Kuningan, Cikeas dan Istana Merdeka.
Peran Kunci Dengan demikian, secara tidak langsung Gus Dur dapat mengetahui peta kekuatan politik di antara para pesaing politik. Pada titik inilah Gus Dur dapat memainkan peran kunci, apakah para pemain politik akan dibawa kepada konflik yang menajam, atau akan digiringnya kepada rekonsiliasi. Sejauh ini, nampaknya jalan rekonsiliasi yang selalu ditempuhnya. Hal ini terlihat ketika gejala saling menghadap-hadapkan antara dirinya dengan kubu Megawati dalam pencalonan presiden 1999 semakin menajam, dihadapinya dengan santai sembari ziarah bersama dengan Megawati ke makam Bung Karno di Blitar dan makam Hasyim Asy’ari di Jombang.

Memang peta politik pascapemilu 1999, terutama pada level pemilihan presiden, nampaknya Gus Dur sedang membangun budaya politik baru di kalangan elite politik negeri ini, yaitu politik tidak selalu dimainkan dengan zero sum game. Politik tidak lagi menjadi politik bila masing-masing kekuatan yang bermain saling meniadakan pesaing politiknya, sampai-sampai tidak ada lagi pihak yang berperan sebagai pesaing politik.

Salah satu kenangan kita kepada Gus Dur saat menjadi Presiden adalah diresmikannya Kong Hu Cu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Kita akrab dengan selorohnya ”gitu aja kok repot”, sebuah kesan begitu ringan saat merespon masalah yang dihadapinya. Tanpa beban berat Gus Dur memberhentikan Wiranto dari jabatan Menkopolkam saat itu. Begitu juga tanpa canggung-canggung Gus Dur memberi predikat ”anak taman kanak-kanak” bagi anggota DPR hasil Pemilu 1999. Itu semua yang kemudian berujung pada dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenan pada tahun 2001, hanya 2 tahun dari pelantikannya.

Keberanian Gus Dur dalam berpikir dan bertindak itu bukan tanpa sebab. Nurcholish Madjid dalam sebuah seminar menjelang Muktamar NU 1994 menuturkan mengapa Gus Dur begitu berani bahkan cenderung nekad. Gus Dur berdalih bahwa dalam garis keluarga ayahanda, anak laki-laki cenderung mati muda, termasuk ayahanda Kiai Wahid Hasyim dan paman-pamannya. Itulah nampaknya yang mendorong Gus Dur berani dalam tindakan dan pemikiran, persis seperti sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati”.
Akhirnya, kita semua dapat belajar dari sikap keterbukaan dan keberanian politik Gus Dur. Keberanian menebar benih-benih perbedaan yang sedang disemai Gus Dur untuk menumbuhkembangkan demokrasi dan Islam moderat-toleran di taman sari Indonesia.

Selamat jalan Gus Dur. Teriring doa, semoga Gus Dur husnul khatimah, amal shalehnya diterima Allah dan mendapat maghfirah Allah.(77)

- Hasyim Asy’ari, Penulis adalah staf pengajar Fakultas Hukum Undip Semarang.
Wacana Suara Merdeka  31 Desember 2009