Kasus Bank Century dengan cepat memasuki ranah politik, melalui upaya hak angket di legislatif. Bisa jadi hal ini terinspirasi oleh preseden- preseden sebelumnya. Kita pernah melewati masa-masa sulit saat pemerintah harus menginjeksi modal (rekapitalisasi) Rp 650 triliun kepada bank-bank yang kolaps saat krisis 1998.
Preseden skandal Bank Bali—tagihan Bank Bali hampir Rp 1 triliun di bank-bank yang sudah dilikuidasi ternyata dapat dicairkan, lalu dananya diduga digunakan untuk kepentingan politik—boleh jadi memberi inspirasi dalam kasus Century.”Teori konspirasi” pun kini bergulir. Intinya, Century sengaja diselamatkan agar dana penyelamatan bisa sebagian dialokasikan untuk belanja politik. Century diselamatkan pada 21 November 2008 saat para politisi sedang menyiapkan pemilu legislatif April 2009 dan pemilu presiden Juli 2009. Dari sisi kronologis, teori konspirasi ini menjadi masuk akal.
Biarlah aparat yang menelusuri, apakah benar penyelamatan Century adalah sebuah skema konspirasi untuk menggunakan dana penyelamatan bank untuk kepentingan pemilu? Tulisan ini menelaah dari sisi ekonomi, apakah penyelamatan Bank Century dapat dipertanggungjawabkan?
Hal pertama yang harus dipahami adalah situasi saat Century dirapatkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Krisis Century terutama berangkat dari kejadian kalah kliring pertengahan November 2008.
Momentum ini hanya dua bulan sesudah kebangkrutan Lehman Brothers— bank investasi terbesar ketiga di Amerika Serikat—pada 15 September 2008. Kepanikan pun melanda Wall Street dan seluruh dunia. Indonesia juga terguncang, terutama para pemegang surat berharga di bursa efek. Harga saham di New York dan Jakarta rata-rata turun 50 persen. Mayoritas pelaku bursa menjual sahamnya dengan diskon besar karena takut di kemudian hari harganya lebih turun lagi.
Investor asing yang ada di Jakarta juga mengambil posisi jual saham-sahamnya. Dana hasil penjualan ditarik pulang ke negara asal. Kejadian ini bukan cuma terjadi di Jakarta. Praktis semua negara emerging markets mengalami penarikan dana global ke ”ibu kota” sektor finansial di New York atau London. Peristiwa ini disebut repatriasi modal.
Dampaknya, seketika rupiah melemah karena para investor asing menukar rupiah hasil penjualan sahamnya ke dollar AS. Jadi, jangan heran jika justru pada saat AS terkena krisis hebat, mata uangnya menguat. Kurs rupiah yang semula Rp 9.000 per dollar AS terjerumus ke Rp 12.000 per dollar AS. Cadangan devisa juga terkuras 7 miliar dollar AS, dari 58 miliar dollar AS ke 51 miliar dollar AS.
Dalam situasi kekeringan likuiditas, beberapa negara tetangga kompetitor kita, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, mengikuti jejak Hongkong yang menjamin 100 persen simpanan nasabah di bank (blanket guarantee). Ini dimaksudkan untuk mencegah kekeringan likuiditas atau agar tidak terjadi aliran modal ke luar negeri yang kian deras. Adapun Indonesia hanya menaikkan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per rekening nasabah.
Situasi ini akan kian runyam jika Century ditutup. Bayangkan, di Century saja ada seorang nasabah yang memiliki dana Rp 2 triliun. Jika Century ditutup, nasabah ini hanya bisa menarik dananya maksimal Rp 2 miliar, atau cuma 1,0 persen dari simpanannya. Jika di Century saja ada nasabah dengan simpanan Rp 2 triliun, bagaimana dengan bank-bank besar? Saat itu, aset Century sekitar Rp 14 triliun, sedangkan 10 bank terbesar asetnya antara Rp 60 triliun hingga Rp 340 triliun. Sangat boleh jadi, di bank-bank besar itu juga tersimpan dana-dana besar. Jika mereka panik, akan terjadi pemindahan dana ke bank-bank asing atau ke luar negeri.
Jika itu terjadi, sistem finansial kita akan terancam. Inilah yang disebut bahaya sistemik, yang saya pikir lebih rawan daripada bahaya yang ditimbulkan akibat proses kliring antarbank, di mana Century memiliki kewajiban kepada pihak lain.
Konkretnya, jika Century ditutup, ongkos langsungnya mungkin hanya beberapa triliun rupiah, dipakai untuk mengembalikan dana nasabah yang rekeningnya di bawah Rp 2 miliar. Namun, sebenarnya masih ada ongkos tidak langsung, yakni kepanikan pemilik dana besar di bank- bank lain, terutama bank-bank besar yang bukan BUMN. Jika psikologis pasar tak dapat dikendalikan, penarikan dana akan melebihi Rp 6,7 triliun, bahkan melebihi aset Century saat itu, Rp 14 triliun.
Mahalkah dana Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan Century? Tergantung dari mana melihatnya. Secara absolut, angka ini memang besar. Namun, jika membandingkan dengan penyelamatan sistem finansial, di mana aset perbankan Rp 2.300 triliun, dana pihak ketiga Rp 1.700 triliun, dan pemberian kredit Rp 1.400 triliun, dana Rp 6,7 triliun tidak mahal.
Yang menjadi masalah, ke mana dana sebesar itu dialokasikan? Secara teoretis, dana itu digunakan untuk membayar kewajiban dan menyuntik modal sehingga persyaratan permodalan minimal dipenuhi. Namun, kita juga tidak boleh naif. Bisa saja ada ”penumpang gelap” yang ikut bermain pada saat pencairan dana.
Lebih jauh, mengapa dana penyelamatan yang semula Rp 632 miliar membengkak menjadi Rp 6,7 triliun? Dalam teknis akuntansi, itu terjadi karena subsequent event. Artinya, pada saat diaudit dua pekan sebelumnya, biayanya cuma Rp 632 miliar. Namun, pada hari-hari berikut, seiring dengan pemburukan kualitas aset secara cepat, ongkos penyelamatan pun membengkak. Namun, sekali lagi, tetap dimungkinkan adanya pembonceng dalam kasus ini. Soal inilah yang harus dikuak.
Adapun dari sisi kebijakan penyelamatan Century, kiranya sudah benar. Memang ada kritik, KSSK kurang memiliki data kuantitatif terukur sehingga kebijakan yang dipilih banyak mengandung keputusan kualitatif. Dalam situasi krisis, data kuantitatif tidaklah cukup. Masih diperlukan data ekonomi makro (kurs rupiah, aliran modal ke luar negeri, cadangan devisa) yang perlu diolah. KSSK sudah terdiri dari orang-orang teruji dengan baik, secara akademis maupun pengalaman empiris yang panjang.
Opini Kompas 2 Desember 2009