GUYONAN politik yang tersebar melalui pesan singkat dari ponsel ke ponsel dalam sebulan terakhir ini tampaknya mendekati kebenaran.
Isi guyonan politik itu, saya sadur sedikit agar kalimatnya tak terlalu menyeramkan, "Program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono: 30 hari pertama menyelesaikan kasus cicak versus buaya. 30 hari kedua sibuk soal skandal Bank Century atau ?~Centurygate'. 30 hari ketiga soal kasus Anggodo Widjaja. 10 hari terakhir menghadapi DPR dan MPR." Lakon "cicak vs buaya" belum seluruhnya rampung.
Bak sinetron kejar tayang, baik Istana maupun institusi-institusi penegak hukum masih sibuk mempersiapkan episode-episode berikutnya. Lakon kasus Anggodo Widjaja pun kini sedang ditayangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat para pemirsa masih bertanya-tanya bagaimana akhir dari lakon cicak vs buaya dan lakon Anggodo Widjaja, kini lakon baru pun muncul," Centurygate".
Pembabakan "Program 100 hari PemerintahanSBY-Boediono" versi guyonan politik itu tak berjalan secara linear. Sejak beberapa hari lalu DPR sudah mulai sibuk mengajukan hak angket terkait dengan skandal Bank Century. Kisahnya pun mirip drama dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan beberapa jaringan televisi swasta.
Ada upaya sabotase politik dari partai pendukung utama pemerintah yang menginginkan agar panitia hak angket dipimpin partainya SBY. Ada yang membela para pengusul awal dengan mengatakan adalah tidak etis secara politik jika fraksi di DPR yang tadinya menolak hak angket tiba-tiba mendukungnya dan ingin menjadi ketua panitia. Ada yang meminta perlindungan DPR jika dia terpaksa membeberkan aliran dana dari Bank Century sampai ke aliran dana terakhir, baik institusi ataupun individu.
Ada pula yang meminta perlindungan agar upaya mereka untuk mengungkapkan kejernihan jiwa, kebenaran, dan keadilan dilindungi oleh Yang Mahaperkasa, Tuhan sekalian alam. Lakon "Centurygate" memang penuh lika-liku, mirip cerita detektif Hercule Poirot karya Agatha Christie, kisah detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, atau cerita detektif Conan karya Aoyama Gosho.
Aktornya pun beragam, ada Presiden, ada Wakil Presiden, ada Gubernur Bank Indonesia, ada Menteri Keuangan, ada Pengusaha Busuk, ada institusi-institusi yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR, ada pula akademisi dan aktivis LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi alias Kompak.
Kita belum tahu apakah penguasa negeri ini juga menjadi salah satu aktor yang memainkan "peran antagonis" dalam lakon "Centurygate", hanya PPATK yang dapat menyimpulkannya dari aliran dana Bank Century. Namun, jika menilik pernyataan Kepala PPATK Yunus Husein, yang meminta perlindungan DPR, tentu lakon "Centurygate" ini bukan lakon biasa.
Jika ini hanya soal bahwa sesuai aturan hukum PPATK harus merahasiakan temuannya, kecuali kepada Presiden, mengapa Kepala PPATK tidak meminta perlindungan yang sama saat mengungkap kasus Miranda Goeltom yang diduga melakukan money politics saat fit and proper test oleh panitia di DPR untuk menduduki jabatan penting di Bank Indonesia? Sisi lain yang menarik dari lakon "Centurygate" ialah adanya dukungan penuh dari semua fraksi di DPR mengenai usulan hak angket atas skandal bank tersebut, padahal awalnya Partai Demokrat menentangnya.
Mengapa pula tiba-tiba Partai Demokrat ingin memimpin panitia hak angket jika memang kasus ini hanya persoalan perbankan dan ekonomi semata. Kita semua tentu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Adakah persoalan ini terkait dengan aliran "dana haram" dari pengusaha busuk ke Partai Demokrat atau individu keluarga Istana? Dalam ilmu politik ada istilah "bribes and kickbacks".
Artinya, adanya pengusaha-pengusaha yang melakukan penyogokan melalui dana kampanye politik para kandidat yang maju dalam memperebutkan kursi-kursi jabatan kepala pemerintahan seperti presiden/wakil presiden, gubernur, bupati, wali kota, jabatan-jabatan di lembaga legislatif atau jabatan-jabatan publik lain.
Harapan pengusaha adalah mendapatkan bola "tendangan balik" (kickbacks) dari penguasa/pejabat yang terpilih dalam bentuk konsesi-konsesi ekonomi atau proyek-proyek yang menguntungkan, dengan atau tanpa ikut tender. Money politics semacam ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, melainkan juga di negara maju dengan sistem demokrasi yang lebih dewasa, termasuk di Amerika Serikat.
Tidaklah mengherankan jika sejak awal adanya kontrak sosial antara penguasa dan rakyat seperti yang digagas Montesquieu atau Jean-Jacques Rousseau, sebagian besar aturan hukum yang diciptakan di dunia mengatur praktik politik penguasa atau yang memiliki jabatan publik. Tak mengherankan pula bila kemudian muncul gagasan mengenai pemerintahan yang bersih (clean government), kepemerintahan yang baik (good governance) atau tanggung-gugat publik (public accountability).
Kita berharap jalinan lakon "Centurygate" yang berliku-liku dan penuh pernik-pernik politik itu bukanlah "panggung sandiwara" yang penuh kebohongan publik. Kita bukan lagi berada di dalam suatu sistem politik yang tertutup dan otoriter atau sistem yang pada masa Eropa sebelum lahirnya Renaissance berlaku "court-politics" di mana ada penguasa negerinya dapat menjadikan sabda atau pernyataan politiknya lebih tinggi daripada hukum.
Saya teringat laporan investigatif tentang hak angket DPR RI mengenai "Centurygate"yang ditayangkan salah satu jaringan televisi swasta ibukota (MetroTV), Sabtu (28/11/2009). Hal yang mengagetkan saya ialah peribahasa yang dituturkan oleh pembawa acaranya, "Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah!" Terserah pembaca, apa makna peribahasa itu! (*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Opini Okezone 1 Oktober 2009
01 Desember 2009
Lakon Baru: 'Centurygate'
Thank You!