Semua warga dari berbagai latar belakang ekonomi, budaya, tempat tinggal harus mendapatkan akses informasi HIV dan AIDS yang sama, akses pencegahan yang sama, serta akses pengobatan yang sama.
PERMASALAHAN yang melingkupi human immune virus (HIV) dan acquired immuno deficiency syndrom (AIDS) hingga saat ini masih seputar tingginya diskriminasi terhadap pengidap virus itu dan penderita penyakit menurunnya sistem kekebalan tubuh tersebut, atau sering diistilahkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Selain itu, belum ditemukannya obat untuk melumpuhkan virus itu dan menyembuhkan penyakit tersebut. Dari dua masalah itu, kita sebagai masyarakat awam dibebankan untuk menyelesaikan permasalahan diskriminasi terhadap ODHA.
Untuk itu, kepedulian terhadap ODHA harus semakin digalakkan. Mengapa? Sebab, selama ini, ODHA hidup ”terasing” hingga mengalami tekanan mental dan psikologis. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya cepat meninggal karena tekanan mental dan psikologis yang diakibatkan adanya diskriminasi dari orang-orang di sekitarnya.
Ironisnya, diskriminasi itu hingga kini tak hanya muncul dari masyarakat awam, tetapi juga dari kalangan kesehatan atau medis, khususnya pihak rumah sakit yang tidak mau menerima kehadiran mereka.
Harus diakui bahwa sebagian rumah sakit di Indonesia masih mengucilkan ODHA. Entah apakah hal ini karena kekurangtahuan kalangan medis tentang HIV dan AIDS secara detail beserta cara penularannya, atau karena kesengajaan mereka supaya pasien lain tidak menjadi takut berobat di rumah sakit itu akibat kehadiran pengidap/ penderita.
Untuk itu, perlu ada penelitian lebih lanjut untuk kemudian bisa dicarikan formulasi untuk menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang dilakukan oleh kalangan medis terhadap ODHA.
Diskriminasi terhadap ODHA sudah seharusnya dihilangkan, baik dari lingkup masyarakat awam maupun kalangan medis. Memang AIDS merupakan penyakit akut yang hingga kini belum ditemukan obatnya, sedangkan obat dari jenis anti retrovial (ARv) hanya bisa memperpanjang usia ODHA. Namun, bukan berarti HIV/AIDS itu penyakit yang ”mengerikan” hingga membuat kita harus menjauhi penderitanya.
Kita hendaknya memahami, bahwa HIV dan AIDS itu hanya bisa menular kepada seseorang lewat perilaku yang tidak sehat atau sering disebut dengan perilaku berisiko tinggi. Kalau kita hanya berdekatan, berjabat tangan, berada dalam satu ruangan hingga duduk bersebelahan dengan ODHA, kita tidak akan tertular virus yang mematikan tersebut.
Adapun perilaku berisiko tinggi adalah, pertama, laki-laki atau perempuan yang suka berganti pasangan dalam berhubungan seksual. Kedua, orang yang berhubungan seks secara tidak wajar, seperti melalui mulut (oral) dan dubur (anal) atau biasa disebut dengan perilaku homo-biseksual. Ketiga, penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara bergantian/bersama.
Selain itu, ada pula yang bisa menularkan virus atau penyakit, yaitu dari ibu yang menderita HIV/AIDS kepada bayi yang dilahirkannya. Namun, kini sudah ada penanganan khusus yang bisa menghindarkan penularan virus dari ibu kepada bayi yang dilahirkannya melalui program preventing mother to child transmission of HIV (PMTCT).
Masuk Kurikulum
Masalah penularan itu sudah menjadi hal yang urgen untuk diketahui masyarakat, untuk memupus adanya diskriminasi terhadap penderita. Untuk itu, penulis memandang, sudah saatnya memasukkan pelajaran seks dan HIV/AIDS ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
Jika diibaratkan, hal ini seperti orang tahu itu duri, maka akan menghindarinya supaya tidak terkena. Seseorang yang telah memiliki pengetahuan detail perihal seks dan HIV/AIDS sejak dini, maka akan bisa memagari dirinya supaya tidak melakukan perilaku yang berisiko tinggi yang merupakan penyebab masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
Sebab, banyak kejadian orang yang telah terinfeksi HIV dan AIDS sebelumnya belum tahu kalau perilaku yang dilakukannya dulu adalah perilaku berisiko tinggi yang bisa menularkan virus ke tubuhnya.
Upaya efektif lain guna menekan angka penyebaran di masyarakat adalah dengan menggalakkan upaya pencegahan. Dalam hal ini, kampanye penggunaan kondom harus digalakkan kepada orang-orang yang berpotensi besar bersinggungan dengan perilaku berisiko tinggi (termasuk pria yang suka ’’jajan’’) dan bersinggung dengan ODHA.
Kondomisasi 100 persen, harus diwujudkan. Hal ini bukanlah suatu bentuk penghalalan perzinahan ataupun bentuk perlakuan îistimewaî terhadap penderita. Hal ini hanyalah cara memutus mata rantai penyebaran virus dan penyakit kepada orang-orang yang belum terjangkit sebelumnya.
Bayangkan, apabila pria yang suka îjajanî dan dia belum terkena HIV/AIDS sebelumnya, sedangkan PSK yang digunakannya telah terjangkit HIV/AIDS, maka dia secara otomatis akan tertulari oleh viris tersebut. Begitu pula sebaliknya.
Sedangkan untuk memberikan arahan ataupun penjelasan kepada kelompok tersebut supaya tidak melakukan perilaku yang berisiko tinggi itu, sangatlah sulit, karena dia telah terbiasa melakukannya. Program kondomisasi inilah yang tepat untuk diterapkan pada kelompok orang yang telah terbiasa bersinggungan dengan perilaku berisiko tinggi.
Cara untuk mencegah penyebaran memang harus berbeda. Namun, dalam hal akses terhadap permasalahan HIV dan AIDS, semua orang harus mendapatkannya dengan porsi yang sama. Untuk itu, tepat kiranya jika pada peringatan Hari AIDS Sedunia tahun ini, diangkat isu utama kesetaraan akses universal dan hak asasi manusia.
Akses universal tersebut mencakup berbagai aspek, baik akses informasi, pencegahan, maupun akses pengobatan. Pemaknaannya adalah bahwa semua warga dari berbagai latar belakang ekonomi, budaya, tempat tinggal harus mendapatkan akses informasi HIV dan AIDS yang sama, akses pencegahan yang sama, serta akses pengobatan yang sama.
Diharapkan, dengan semangat pengangkatan isu tersebut, akan terwujud peningkatan kesadaran seluruh lapisan masyarakat dalam pencegahan penularan HIV dan penanggulangan AIDS. Di samping itu, khusus untuk mereka yang membutuhkan, mampu memperoleh akses universal terhadap informasi, pencegahan, dukungan, dan pengobatan terkait HIV dan AIDS. Sebab, bagaimana pun juga, kesehatan adalah hak asasi manusia yang pertama.
Dengan kita menangani kasus HIV dan AIDS secara baik, serta melakukan berbagai upaya pencegahan penyebaran yang efektif, maka bisa dicegah terjadinya kepunahan generasi atau lost generation di negeri ini.
Target universal (universal access) 2010 yaitu menjangkau penyebaran HIV dan AIDS kepada 80% populasi yang paling berisiko (pekerja seks, pengguna narkoba suntik, pelanggan pekerja seks, waria, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki) dengan perubahan perilaku 60%, pun bisa terwujud.
Pada akhirnya, upaya meningkatkan pembangunan Indonesia di masa depan, akan terwujud dengan baik. Sebab, akan tersedia banyak SDM yang berkualitas dengan didukung tingkat kesehatan yang tinggi pula.
Kita pun bisa menghadapi persaingan di tataran global secara baik dan tidak hanya menjadi patung yang selalu bisa dibodohi dan tidak dipedulikan oleh negara lain. Di saat bersamaan, upaya perwujudan kesetaraan hak asasi manusia bisa berjalan dengan baik di negeri ini. (10)
— Hadziq Jauhary, aktif dalam pencegahan HIV dan AIDS lewat Swaranusa Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Wacana Suara Merdeka 2 Desember 2009
01 Desember 2009
» Home »
Suara Merdeka » Kesetaraan Akses terhadap HIV/ AIDS
Kesetaraan Akses terhadap HIV/ AIDS
Thank You!