BELUM genap 100 hari, pemerintahan SBY-Boediono telah diuji oleh gempita kasus kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Kedua pemimpin nonaktif anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sepertinya telah menjadi ikon baru resistensi masyarakat terhadap eksistensi pemerintahan baru. Sebagian besar elemen bangsa ini berkumpul menggalang dukungan terhadap keduanya yang dianggap sebagai korban kriminalisasi KPK.
Anehnya, hampir semua anggota parlemen dari partai koalisi di bawah SBY dan parpol oposisi seolah bungkam dengan serangan bertubi-tubi wacana kriminalisasi terhadap salah satu lembaga prestisius tersebut. Di titik ini, kian jelas bagaimana komitmen dan konsistensi parpol di DPR yang tak berani mengambil sikap tegas dan hanya mencari aman dengan hanya 'diam'. Faktanya mayoritas anggota DPR digaris koalisi pun tak bersuara sama sekali mengenai hal ini. Lebih parah lagi DPR khususnya Komisi III terkesan 'tak berdaya' saat menggelar rapat kerja dengan jajaran kepolisian.
Di sini resistensi publik terhadap kebijakan pemerintah melalui Polri ini seolah menjadi representasi meneropong cerminan inefisiensi partai koalisi. Betapa keidealan pembelahan dua poros politik, koalisi dan oposisi, ternyata tidak dapat diterapkan secara rigid di negeri yang masih mencari format penataan kelembagaan politik seperti Indonesia. Kecenderungan pragmatis dan oportunis tanpa berani mengambil risiko menjadi bagian tak terelakkan dari marwah politik Tanah Air.
Di saat bersamaan, besarnya resistensi publik terhadap keputusan penahanan dua tokoh KPK itu tak banyak berpengaruh terhadap positioning Presiden sebagai kepala negara, meski kredibilitasnya dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan. Bahkan muncul wacana people's power dan pemakzulan Presiden. Dalam konstruksi sistem politik yang lebih besar, efek domino dari ketaktegasan para mitra koalisi pemerintah ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana efektivitas kontrol kekuasaan DPR-presiden di tengah langgam presidensialisme Indonesia?
Posisi floating
Secara ideal, konfigurasi parlemen dalam sistem presidensial terjadi pemilahan dua kubu besar, yaitu partai propemerintah (ruling party) dan partai oposisi (opposition party). Dalam perjalanan pemerintahan selama lima tahun sebelumnya, dua fatsun politik itu tidak terjadi. Realisasi pembuatan perundangan, parpol pemerintah dengan mudah berkoalisi dengan parpol oposan, demikian sebaliknya sebagai fakta politik kutu loncat.
Kondisi demikian menjadi faktor klasik problematik presidensial dalam kombinasi sistem multipartai. Akibat banyaknya partai yang bersaing, pemilu presiden hampir selalu menghasilkan minority president atau presiden dengan basis politik minoritas di parlemen. Ujungnya tentu saja adalah minority government. Lebih lanjut, pemilu legislatif hampir selalu menghasilkan peta kekuatan parlemen yang sangat fragmentatif serta tanpa partai mayoritas. Dampak situasi itu adalah potensi terjadinya jalan buntu politik (deadlock) dalam relasi presiden-parlemen.
Barangkali kekhawatiran itu tak akan terjadi karena sikap diam parlemen mengindikasikan nuansa politis oportunistik dan tidak berani mengambil risiko untuk membela maupun mengkritik kebijakan pemerintah atas kasus yang terjadi pada dua komisioner KPK. Apa pun alasannya, posisi floating itu kian menegasi iktikad baik penataan sistem politik yang lebih mapan.
Potensi otoriter
Kondisi politik yang dinamis berakibat langsung pada hadirnya pemerintahan efektif. Suhu politik dikatakan dinamis jika terjadi proporsionalitas pola perimbangan dan pengawasan (check and balances) antara dua lembaga eksekutif dan legislatif. Eksekutif bertugas merealisasi program-program riil berbasis konstitusi dan perundangan yang dibuat oleh legislatif. Di saat bersamaan, legislatif berfungsi sebagai lembaga pengontrol dan pembuat regulasi untuk kepentingan evaluasi dan penyuksesan program kerja eksekutif. Hal itu berlaku bagi semua model sistem pemerintahan, utamanya pemerintahan beraliran presidensialisme.
Muncullah contradiction in terminus, yaitu jika kekuatan penyokong pemerintah lemah dan tidak berimbang dengan pihak oposisi, muncullah minority government. Sebaliknya, jika kekuatan penyokong pemerintah jauh lebih besar daripada kekuatan oposisi, dikhawatirkan terjadi pemerintahan otoriter.
Senada dengan sindiran Juan Jose Linz, seorang pakar dari Columbia University dalam The Failure of Presidential Democracy, bahwa sumber kelemahan presidensialisme antara lain, pertama, sebagai konsekuensi keterpisahan antara lembaga presiden dan institusi parlemen, potensial terjadi apa yang disebut sebagai dual democratic legitimacy dalam relasi eksekutif-legislatif. Kedua, parlemen yang merasa memiliki legitimasi sebagai representasi rakyat, potensial menghambat dan bahkan 'menjegal' kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya berujung pada instabilitas demokrasi presidensial. Ketiga, akibat kekakuan sistemik yang melekat pada dirinya, presiden terpilih dengan suara mayoritas mutlak berpotensi mengabaikan suara parlemen dan menjadi otoriter.
Faktor terakhirlah yang menjadi kekhawatiran, yaitu wujud pemerintahan otoriter. Indikasi itu tampak dari 'bergeming'-nya pemerintah terhadap kritik apa pun yang dialamatkan kepadanya. Pressure nonparlementer yang datang dari masyarakat dan para akademisi terkait dengan wacana kriminalisasi KPK tak membuat pemerintah gentar dan meninjau ulang keputusannya. Kepercayaan diri pemerintah telah begitu besar. Hal itu tak lepas dari minimnya parpol yang bergaris oposan. Hampir semua parpol ingin berkoalisi dengan partai penguasa. Di sinilah sesungguhnya urgensi koalisi. Ia merupakan upaya meminimalkan risiko instabilitas dan jalan buntu politik. Namun, koalisi yang diperlukan itu bukan yang bersifat semu dan berorientasi bagi-bagi kekuasaan belaka.
Dalam skala ketatanegaraan secara makro, untuk membentuk pemerintah yang governable, diperlukan koalisi berbasis kesamaan ideologi dan atau platform politik di antara partai-partai yang berkoalisi. Melalui format koalisi semacam itu diharapkan, dukungan ataupun penolakan terhadap suatu kebijakan berorientasi kepentingan kolektif, bukan kepentingan jangka pendek partai-partai di parlemen.
Koalisi berbasis platform juga diperlukan agar relasi presiden dan parlemen representasi parpol tidak semata-mata menjadi arena transaksi politik antarelite pemerintah dan politisi parpol di Senayan. Jika pada periode sebelumnya terjadi pola presidensial bercita rasa parlementer, kini dikhawatirkan terjadi presidensialisasi parlemen.
Pada akhirnya, delegitimasi publik terhadap putusan penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang tidak mendapatkan respons apa pun dari parpol koalisi tidak memberikan indikasi apa pun terhadap efektivitas pemerintahan. Parpol dengan kepanjangan tangannya di DPR masih terkesan oportunis, ketakutan, dan hanya mencari aman, tanpa berani mengambil sikap kritis ataupun akomodatif. Padahal dalam sistem presidensial, sikap tegas parpol untuk mengkritik maupun mendukung menjadi cermin komitmen politik dan kematangan berdemokrasi. Jika KPK dikriminalisasi dan pemerintah dipojokkan, lantas bagaimana sikap parpol melalui parlemen? Kita tunggu saja!
Oleh Pandu Dewanata, Direktur Eksekutif The Indonesian Format
Opini Media Indonesia 2 Desember 2009