01 Desember 2009

» Home » Kompas » Keamanan Nasionaldan Keamanan Alam

Keamanan Nasionaldan Keamanan Alam

Kalangan pertahanan di banyak negara mulai memusatkan perhatian pada dampak perubahan iklim atas keamanan nasional.
Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman membahasnya dalam rangka kajian tentang keamanan nasional masing-masing untuk 10-15 tahun mendatang. Mereka mengkaji dampak perubahan iklim di sejumlah wilayah dunia yang potensial mengganggu kepentingan nasional Amerika dan Eropa.


Kemarau panjang Gurun Darfur di Sudan, pencairan gumpalan es di Kutub Utara, dan konflik permukiman Arab-Palestina masing-masing dinilai dapat memacu pertambahan jumlah imigran gelap dari Afrika ke Amerika Utara dan Eropa, mengubah nilai strategis alur laut Kutub Utara, dan mengganggu pasokan minyak-gas dari Timur Tengah.
Militer dan iklim
KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-17 Desember 2009, akan ikut menyinggung perkaitan peran militer dengan perubahan iklim, mengingat departemen pertahanan di mancabenua umumnya adalah pengelola terbanyak atas markas, pangkalan, daerah latihan, dan hutan.
Tentara adalah pengguna energi fosil terbesar untuk kendaraan tempur, kapal perang, dan pesawat terbang. Karena itu, perubahan iklim dan keamanan nasional menyatu sebagai masalah keamanan nasional dan keamanan alam.
Perubahan iklim dan keamanan nasional tidak lepas dari dampak perubahan iklim global dan keamanan internasional. Baik penanganan iklim global maupun keamanan nasional hanya dapat ditangani dalam kerangka lima tataran kebijakan sekaligus: global, regional, nasional, provinsial, dan lokal. Dalam era global, tidak ada kedaulatan mutlak.
Keamanan nasional dan keamanan alam Indonesia, misalnya, tidak bisa lepas dari semburan buangan gas industri berat di Asia timur laut yang banyak menggunakan batu bara. Sebaliknya, hampir tiap tahun kepentingan nasional Malaysia dan Singapura terganggu oleh sebaran asap dari pembakaran liar di sejumlah kabupaten dan provinsi Sumatera.
Sebagai negara anggota G-20, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu sepakat menetapkan kebijakan keamanan nasional dan keamanan alam dengan menyertakan pakar ilmu lingkungan, hukum, politik, ekonomi, energi, sains, dan teknologi.
Tak kalah penting adalah penyertaan pakar antropologi, budaya, dan sejarah. Bagaimanapun, pola pemakaian energi dan bahan bakar mengandung unsur- unsur budaya lokal. Penggunaan bahan bakar fosil dan nonfosil amat berbeda dari lokasi ke lokasi dan dari waktu ke waktu.
Sejumlah pakar strategi militer di Amerika Utara, Eropa, dan Asia belum lama ini mengajukan tiga skenario besar menghadapi perubahan iklim global akibat pemanasan global.
Skenario pertama, sebagai yang ”paling mungkin” adalah apabila suhu rata-rata global naik 1,3 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang diperkirakan terjadi adalah pertentangan di dalam dan antarnegara akibat migrasi besar-besaran. Karena berkurangnya hujan, lahan, hutan, dan air, akan meluaslah berbagai penyakit, seperti paru- paru, tenggorokan, dan pernapasan. Negara dan pemerintahan yang tak sanggup menanggung beban konflik sosial yang terjadi di dalam negeri akan mengalami kekacauan, bahkan disintegrasi, politik, dan ekonomi.
Skenario kedua, yang ”parah” adalah jika kenaikan suhu global mencapai 2,6 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang terjadi adalah kian gencarnya migrasi intranegara dan antarnegara yang bertetangga, perubahan besar-besaran terhadap pola pertanian dan pengairan, serta menjangkitnya pandemik seperti flu A-H1N1 dan flu burung. Sengketa dan kekerasan sekitar sumber daya alam dapat memicu perang suku, perang etnik, dan konflik antarumat beragama. Semua pihak akan mencari dukungan untuk mencari pembenaran menurut ajaran suku, adat, dan Tuhan masing-masing.
Perubahan lahan pantai di negeri Belanda, di sepanjang Sungai Nil antara Mesir dan Sudan, antara India dan Banglades serta di negara pulau seperti Maladewa dan Pasifik Selatan, dapat berubah secara drastis pandangan diri manusia tentang jati diri dan mengenai hubungan diri dengan alam sekitar.
Skenario ketiga, ”malapetaka besar” adalah kenaikan suhu dunia sebesar 5,6 derajat celsius per tahun menjelang tahun 2100. Malapetaka besar terjadi jika pusat-pusat ekonomi kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan RRC, mengandalkan keamanan energinya dari pemakaian energi fosil dengan gas buangan yang amat banyak. Apabila sepanjang abad ke-21 keempat kutub ekonomi besar ini tidak mengurangi pemakaian energi fosil, masyarakat dan negara-negara lain akan menempuh teror internasional dengan menggunakan ideologi sekuler maupun agama. Atau menempuh perang asimetris melalui penyelundupan senjata pemusnah massal, migrasi ilegal, perluasan obat bius, atau perang biokimia.
Menyesatkan
”Perubahan iklim global” mengandung makna yang agak menyesatkan. Tidak semua benua, samudra, gunung, dan lahan di dunia menjadi korban yang sama parahnya dari pemanasan global yang disebabkan pola konsumsi energi perekonomian negara-negara besar.
Namun, melalui suatu kerja sama nasional, regional, dan global yang berkesinambungan, pemerintah dan masyarakat ASEAN bisa melakukan pemetaan lokal, provinsial, nasional, regional, dan global melalui kerja sama KTT ASEAN, APEC, Asia Timur, dan medan-medan internasional yang bermitra.
Peran Indonesia
Perguruan tinggi dan lembaga penelitian—negeri dan swasta—di seluruh Tanah Air dapat menyusun kajian berlanjut tentang kedudukan dan peran Indonesia dalam tatanan ekonomi, politik, dan militer Asia Pasifik khususnya dan di dunia pada umumnya.
Pola konsumsi energi dan bahan bakar alternatif ”dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote” hendaknya disusun dan dimutakhirkan secara berkala. Pola energi alternatif di wilayah padat penduduk seperti Jawa dapat tersambung secara efisien dan wajar dengan wilayah jarang penduduk, tetapi kaya sumber alam seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.
Akhirnya, keamanan nasional Indonesia terpulang pada pengamanan alam di seluruh wilayah Indonesia. Meski bineka dalam ragam pola konsumsi lokal, tetap ika dalam komitmen bersama mengedepankan keamanan alam Indonesia.


Juwono SudarsonoGuru Besar Universitas Indonesia, Jakarta
Opini Kompas 2 Desember 2009