SATU langkah positif kembali digelorakan dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yakni Gerakan Hidup Halal.
Haedar Nasir, salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah optimistis gerakan itu sebagai upaya mengikis habis korupsi melalui jalan kultural di luar jalur hukum dan political will.
Bagi Haedar, langkah praktis yang paling mungkin dilakukan did epan mata adalah menggiatkan kembali dakwah, tablig, majelis taklim, dan sejenisnya.
Langkah praktis itu tentu memungkinkan dilakukan NU dan Muhammadiyah yang notabene organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan sosial keagamaan.
Pertanyaannya adalah bagaimana format dan isi dakwah?
Pertanyaan ini penting sebab dakwah Islam selama ini bisa dikatakan marak dan kian menjamur. Mulai dari ceramah atau khutbah di atas mimbar hingga lewat televisi. Singkatnya, kesadaran keberagamaan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kuantitas. Sayangnya, kuantitas tidak berbarengan dengan kualitas.
Makanya perlu kiranya menggeser pola dakwah yang sebelumnya berorientasi formalistik ke pola sufistik.
Dominannya dakwah yang berciri khas simbolis dan formalistik tampaknya patut dicurigai sebagai sebab jomplangnya kuantitas dan kualitas keberagamaan.
Sukses dakwah belum dipahami sejauh mana penghayatan agama memantulkan refleksi sosial transformatif, atau merasuk ke jantung-jantung keyakinan sejati. Keimanan utuh cenderung terabikan. Pribadi-pribadi luhur tidak tergarap oleh dakwah Islam.
Pada konteks inilah NU dan Muhammadiyah dituntut perannya mengampanyekan dakwah dengan format dan isi yang mengantongi kekayaan pemikiran dan pengalaman Islam mulai dari filsafat, kalam, fikih, dan tasawuf.
Untuk yang terakhir, yakni tasawuf, tampaknya perlu mendapat porsi lebih. Tasawuf menjadi relevan di tengah orientasi kehidupan umat yang menggandrungi pola hidup konsumeristik, hedonistik, dan materialistik.
Kecenderungan demikian kian menumbuhkan pola dan sikap hidup rakus, tamak, sombong, atau takabur. Lebih jauh lagi, dari sikap itu kemudian muncul perilaku destruktif dan menyimpang. Korupsi misalnya.
Korupsi kini bak hantu menakutkan bagi negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini.
Hossein Nasr (1985) menyerukan, bahwa ajaran-ajaran tasawuf sangat dibutuhkan untuk menangkal pola hidup seperti itu.
Di antara ajaran tasawuf yang sangat relevan untuk kehidupan saat ini adalah zuhud, taubat, shabar, bersyukur rida, qanaah, wara’, uzlah. Nilai-nilai demikian akan memberikan keseimbangan hidup antara jasmani dan ruhani.
Melalui tasawuf manusia tidak semata-mata mengejar kesenangan material tetapi juga ditunjukkan kebahagian spiritual.
Kebahagiaan spiritual yang dimaksud bukan kebahagiaan yang melalaikan manusia dari kehidupan di dunia melainkan kebahagian spiritual yang menumbuhkan gairah hidup di dunia berdasarkan ajaran Islam.
Selain itu, pola hidup dan moralitas sufistik bisa menjadi terapi bagi para elite politik (dan juga elite agama) yang selama ini mengabaikannya. Moralitas sufistik dalam ajaran tasawuf adalah penting untuk mereka yang akan mengambil keputusan politik bagi masa depan bangsa ini.
Penghayatan agama melalui internalisasi moralitas sufistik akan dapat menghindarkan perilaku buruk yang sering melekat dari diri para politikus, seperti tamak, rakus kekuasaan, arogan, egois, dan ekploitatif terhadap lawan-lawan politiknya.
Memang, tasawuf dulu pernah ditakuti orang lantaran penuh dengan arti pejoratif mengenai hal yang aneh-aneh.
Tidak jarang praktik sufisme diidentikkan dengan eksklusivisme, tradisionalisme, dan asketisme yang secara ekstrem lari dari kehidupan dunia dan antipersoalan-persoalan sosial dan politik. Bukan hanya ditakuti, tapi juga dilawan agar tidak tampil di tengah kehidupan umat.
Dua Pola Dalam sejarahnya, ada dua pola penalaran tasawuf yaitu falsafi dan pola akhlaki. Yang pertama mendorong manusia untuk menyucikan diri agar jiwanya bisa kembali kepada Tuhan atau menyatu dengan Tuhan. Tasawuf falsafi cenderung mengabaikan syariah (aturan-aturan agama yang bersifat formal-skriptural).
Di antara konsep-konsep dalam pola ini adalah ma’rifah (dari Dzunnun al-Mishri), mahabbah (dari Rabi’ah al-Adawiyah), Wahdat al-Wujud (dari Ibn Arabi), Ittihad (Abu Yazid al-Busthami), hulul (dari Ibn Mansur al-Hallaj).
Adapun yang kedua, ajaran-ajarannya kembali kepada Alquran dan Sunah, untuk pendalaman batiniah agar memperoleh akhlak yang luhur (Harun Nasution, 1973). Victor Said Basil (2000) mencatat, pola ini bisa dilihat dari Abu Zhar al-Ghifari seorang sufi yang taat dengan ajaran sunnah, dan Al-Ghazali seorang sufi yang berusaha ”menghidupkan” kembali sunah Nabi.
Tampaknya, gerakan purifikasi atau perlawanan terhadap tasawuf menjatuhkan ketakutan dan pejoratifnya pada pola yang pertama, yaitu tasawuf falsafi. Oleh karenanya melihat iklim keberamaan di Indonesia pola yang pertama dirasa lebih mudah diterima.
Cendekiawan muslim Indonesia Komarudin Hidayat (1995) mendedahkan inti tasawuf sebagai ajaran yang menyatakan bahwa hahikat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya. (10)
— Agung Suseno Seto, mahasiswa FAI Syari’ah UMS, peneliti Religion and Social Change Institute (RESCI)
Wacana Suara Merdeka 29 Desember 2009