28 Desember 2009

» Home » Okezone » Dari Tahun Kebohongan Menuju Tahun Ujian

Dari Tahun Kebohongan Menuju Tahun Ujian

HARI demi hari sepanjang 2009 telah kita lalui. Ada dinamika politik yang membanggakan, ada pula yang memuakkan. Tiga hari lagi kita akan memasuki 2010, tahun yang penuh tantangan, khususnya bagi penguasa negeri.

Sampai pertengahan 2010 politik di tingkat pusat pemerintahan masih akan penuh gonjang-ganjing terkait skandal Bank Century. Pada tingkat lokal, adanya 248 Pilkada langsung di seluruh Indonesia menambah suasana dinamis politik Indonesia. Akankah politik Indonesia stabil pada 2010? Akankah Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Kasus Bank Century membuat putusan win-win solution di antara pemilik kartel-kartel politik?

Ataukah hasil jalur hukum tata negara di DPR yang dipadu jalur hukum pidana melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu akan mengarah pada pemakzulan (impeachment) penguasa negeri? Berbagai pertanyaan itu masih tersimpan di benak rakyat, pengamat politik dan penguasa. Nuansa damai tampak nyata saat kita melaksanakan pemilu legislatif ketiga kalinya dan pemilu presiden/wakil presiden langsung di era reformasi.

Pemilu legislatif yang berlangsung 9 April 2009 dan pemilu presiden/wakil presiden pada 8 Juli 2009, berlangsung nyaris tanpa tumpahan darah setes pun, kecuali akibat kecelakaan pada masa kampanye. Ini menunjukkan betapa rakyat Indonesia telah benar-benar dewasa dalam melaksanakan hak-hak demokrasi. Kalaupun nama-nama mereka tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT), baik pada masa pemilu legislatif maupun pemilu presiden, mereka hanya dapat mengelus dada tanpa melakukan keonaran politik.

Jika pun ada yang tidak ikut memilih, mereka juga tidak mau sesumbar sebagai bagian dari golongan putih karena ketidakpercayaan mereka pada sistem pemilu yang amburadul. Yang patut dicela dari dua perhelatan demokrasi itu antara lain berikut ini. Pertama, profesionalisme Komisi Pemilihan Umum (KPU) amat diragukan.

Para anggota KPU lebih mengutamakan jalan-jalan ke mancanegara ketimbang menyelesaikan secara tuntas DPT yang bermasalah. Kedua, DPT bermasalah menimbulkan tanda tanya besar apakah Pemilu 2009 benar-benar jujur dan adil. Ketiga, siapa yang memenangkan tender pengadaan teknologi informasi untuk KPU juga menimbulkan persoalan bukan hanya dari sisi finansial, melainkan juga dari sisi politik, khususnya apakah data yang diungkapkan KPU absah atau meragukan.

Analisis akhir dari dua perhelatan politik akbar di tahun 2009 itu ialah rakyat sudah amat dewasa dalam berpolitik, namun masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan dua pemilu nasional di usia demokrasi yang ke-11 tahun. Kelemahan itu yang kemudian menimbulkan persoalan legitimasi politik, benarkah Partai Demokrat dapat melambung dengan perolehan kursinya sampai 300 persen dibandingkan Pemilu 2004?

Tanpa suatu perubahan politik yang amat drastis, seperti perubahan pemerintahan pada 21 Mei 1998 yang kemudian melambungkan perolehan suara PDI Perjuangan pada Pemilu 1999, tampaknya sulit bagi sebuah partai politik memperoleh suara tiga kali lipat dengan cara-cara normal. Perolehan suara 60,8 persen yang diperoleh pasangan SBY-Boediono juga ada yang mempersoalkannya. Tengok pernyataan George J Aditjondro, penulis buku Membongkar Gurita Bisnis Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (Seputar Indonesia, 28/12/2009)

Kebohongan Politik

Suasana damai pada masa pemilu ternyata tidak membawa negeri ini ke situasi stabilitas pemerintahan. Usai Pemilu Presiden 2009, tampak jelas betapa satu demi satu peristiwa politik telah mengganggu jalannya pemerintahan. Bulan madu yang diharapkan paling tidak terjadi pada 100 hari pertama pemerintahan ternyata sudah dilingkupi suasana saling curiga di antara anggota koalisi.

Kata kunci dari sirnanya bulan madu itu adalah dugaan adanya kebohongan politik di tingkat elite. Akhir masa pemerintahan SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004–2009) merupakan titik awal dari terjadinya kebohongan politik itu. Tengok misalnya pernyataan Presiden SBY setelah terjadinya bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 26 Juli 2009.

Dia mengatakan bahwa menurut informasi intelijen, dia menjadi target pembunuhan oleh “drakula yang haus darah” dengan menunjukkan foto yang dibuat teroris yang menjadikannya sebagai target. Ternyata foto itu bukan foto baru, melainkan foto-foto menjelang Pemilu 2004, di mana bukan hanya SBY yang digambarkan menjadi sasaran tembak teroris, melainkan semua calon presiden dan wakil presiden yang bersaing pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun itu.

Terorisme memang menjadi fenomena politik menarik sepanjang 2009. Kita harus angkat topi kepada Kapolri dan jajarannya atas keberhasilan mereka menangkap atau membunuh para pelaku teror bom, termasuk tokoh teroris asal Malaysia, Noordin M Top. Namun kita juga menangkap adanya fakta yang meragukan soal kapan Ibrohim, tukang pengantar kembang di Hotel JW Marriott, mati terbunuh, tanggal 12 Agustus 2009 seperti tertulis di batu nisannya, atau 8 Agustus saat polisi melakukan penyergapan di rumah kosong di Jawa Tengah.

Benarkah juga ada kelompok teroris beraksi di Jati Asih, Bekasi, dengan sasaran rumah kediaman Presiden SBY di Cikeas? Ungkapan kebohongan politik juga tampak saat pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009–2014). Jauh sebelum kabinet disusun, baik presiden terpilih, SBY, maupun tokoh Partai Demokrat sesumbar bahwa kabinet yang akan dibentuk adalah kabinet kerja yang memasukkan kaum profesional nonpartai 65% dan 35% lainnya kaum profesional dari partai-partai politik.

Ternyata, kabinet yang disusun pada 22 Oktober 2009 itu jauh panggang dari api! Susunan kabinet lebih merupakan ungkapan balas jasa politik kepada partai-partai politik pendukung, ketimbang mengangkat kaum profesional murni. Ini yang antara lain menimbulkan konsekuensi politik baru yang menjadi penambah bumbu tak sedap pada dinamika politik pascapembentukan kabinet.

Kriminalisasi KPK dan Centurygate

Nuansa politik pada paruh kedua 2009 juga diwarnai persoalan kriminalisasi terhadap KPK dengan memasukkan dua Wakil Ketua KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai pelaku kriminal. Persoalan hukum itu akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. Tak cuma itu, pelemahan KPK tampaknya tertata rapi dengan memasukkan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Tipikor yang amat melemahkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

Rakyat semakin geram dengan adanya upaya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) untuk membuat peraturan pemerintah (PP) yang antara lain mengharuskan KPK mendapatkan persetujuan dulu dari Kejaksaan Agung sebelum melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Analisis para pakar hukum antara lain mengatakan, di masa normal, peraturan ini memang perlu ada, tapi di masa tidak normal seperti sekarang ini, aturan itu belum perlu ada.

Jika aturan itu diberlakukan, sulit bagi KPK melaksanakan tugas-tugasnya secara independen. Masalah kriminalisasi KPK diduga kuat ada kaitannya dengan upaya KPK untuk membongkar secara tuntas kasus skandal Bank Century. Tak sedikit orang yang berharap agar KPK jangan lamban atas kasus yang sedemikian besar dan memancing perhatian publik ini.

Alasan publik agar KPK lebih cepat bekerja adalah agar KPK lebih mendahului proses politik dan hukum tata negara yang kini sedang berlangsung di DPR. Jika dua proses itu berjalan beriringan dan benar, kita tunggu saja apa hasilnya pada Februari atau Maret 2010 mendatang, ketika mandat Pansus Hak Angket Bank Century berakhir. Kini mulai tampak betapa partai-partai politik pasang kuda-kuda untuk menyelamatkan partai masing-masing dari skandal Bank Century ini.

Dari sisi Presiden SBY dan Partai Demokrat, misalnya, ada imbauan agar mereka memiliki etika berkoalisi yang baik. Satu hal yang aneh, imbauan itu diungkapkan oleh Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, yang digaji dengan uang negara. Pertanyaannya, bolehkah seorang juru bicara resmi membuat pernyataan yang terkait dengan persoalan politik di lingkup internal koalisi dan bukan terkait urusan negara?

Bukankah Presiden SBY dan Partai Demokrat sendiri yang mengajak “buka-bukaan” soal skandal Bank Century sehingga layak bila semua anggota koalisi menuruti ajakan SBY tersebut? Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dari skandal Bank Century ini. Pertama, Pansus ini digembosi di tengah jalan karena kartel politik akhirnya menyetujui win-win solution untuk tidak melanjutkan persoalan itu.

Kedua, para anggota Pansus pantang mundur, maju tak gentar membela yang benar sehingga mereka tetap ingin menuntaskan tugasnya yang terus dipantau rakyat secara langsung. Ketiga, proses di DPR berjalan seiring dengan proses hukum pidana di KPK yang menjurus ke kemungkinan adanya pemakzulan terhadap Presiden RI. Retorika politik Presiden SBY selama kurun waktu 2009 ini tampaknya mendapatkan perhatian besar dari pengamat politik dan rakyat.

Rakyat semakin cerdas untuk menilai, apakah pernyataan Presiden mengandung kebenaran ataukah patut diragukan kebenarannya. Ini termasuk ucapannya terkait dengan buku George J Aditjondro tersebut. Di masa Orde Baru, Mas George, begitu saya memanggilnya, pernah lari ke Australia karena rezim yang ada dulu otoriter. George juga pernah menulis buku yang mirip dengan “Gurita Cikeas”, yakni mengungkap bisnis keluarga Cendana.

Jika dulu harus menyelamatkan dirinya ke Negeri Kanguru, kini dia berani menantang, “Kalau datanya salah, silakan buat buku tandingan. Belajarlah dari HAMKA.” George siap untuk menghadapi pengadilan jika dia dituduh melakukan fitnah atau pencemaran nama baik. Siapkah SBY dan pendukungnya mengajukan George ke pengadilan? Jika ini terjadi, dia akan menambah semarak dinamika politik Indonesia pada 2010 yang sebagian besar terfokus pada satu nama: SBY! Selamat Tahun Baru 2010.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI 

Opini Okezone 29 Desember 2009