28 Desember 2009

» Home » Okezone » Nobel Obama dan Perang Afghanistan

Nobel Obama dan Perang Afghanistan

Pidato penerimaan hadiah Nobel Perdamaian Presiden Barack Obama pada 9 Desember lalu menegaskan bagaimana strategi ke depan yang akan ditempuh Amerika Serikat (AS) dalam mereposisi perannya sebagai negara utama yang bertanggung jawab atas keamanan dunia internasional.

Obama datang ke Oslo dan menerima Nobel perdamaian di saat negaranya sedang menjalani dua perang di Irak dan Afghanistan. Obama dari awal mengakui bahwa pemberian Nobel Perdamaian untuk dirinya ini memang penuh kontroversi. Obama agaknya berpegang pada dalih “Si vis pacem, para bellum” (jika engkau ingin perdamaian, bersiaplah untuk berperang). Adagium lama yang sudah diterapkan sejak zaman kekaisaran Romawi ini merupakan landasan utama berpikir kalangan “realis” dalam perspektif  teori Ilmu Hubungan Internasional yang antara lain dianut oleh pakar semacam Henry Kissinger dan Zbignew Brezensky.

Presiden AS berkulit hitam pertama itu menegaskan bahwa perang terkadang diperlukan, dan bahwa prinsip antikekerasan kadang tidak berguna di hadapan sebuah kelompok tidak berprikemanusiaan semacam Nazi-nya Hitler atau Al-Qaeda-nya Osama bin Laden. Obama juga mengingatkan rakyatnya bahwa perdamaian tidak datang begitu saja, namun hasil dari sebuah upaya luar biasa dan pengorbanan AS. Dia membandingkan upayanya dengan upaya yang pernah dilakukan dua pendahulunya dari kelompok republik, Ronald Reagan dan Richard Nixon.

Quo Vadis Perang Afghanistan?

Petualangan AS di Afghanistan sudah berlangsung lebih dari delapan tahun sejak AS memutuskan menyerbu Afghanistan pascaserangan teroris yang meruntuhkan dua menara kembar WTC di New York, September 2001. Sudah hampir 2.700 tentara AS tewas di Afghanistan. Namun, hingga saat ini tersangka dalang teroris Osama bin Laden belum dapat ditangkap maupun diketahui lokasi persembunyiannya.

AS sudah berada dalam keadaan frustrasi dan bimbang antara meneruskan atau menghentikan petualangannya di Afghanistan. Keadaan ini tergambarkan cukup jelas ketika dua orang petinggi puncak AS di Kabul ternyata berselisih pendapat tentang pembacaan atas situasi terkini di Afghanistan yang mengakibatkan kekacauan atas rencana militer AS selanjutnya. Kepala Perwakilan AS di Kabul, Duta Besar Karl Eikenberry, telah mengirim kawat rahasia ke Menlu AS dan menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana komandan pasukan AS di Kabul, Jenderal Stanley McChrystal, yang dari awal menginginkan tambahan pasukan.

Eikenberry melihat kondisi tentara gabungan yang dimotori AS tidak kondusif untuk melanjutkan perang melawan Taliban. Sementara itu, Jenderal Mc-Chrystal menyodorkan sejumlah kendala yang memperberat keberhasilan perang kontra perlawanan di Afghanistan. Pendapatnya itu bisa dilihat sebagai ajakan kepada presiden untuk menolak pendapat Eikenberry dan berharap permintaan penambahan pasukan disetujui. Faktanya justru rekomendasi Jenderal McChrystal yang kemudian diamini Presiden dan Kongres AS.

Selanjutnya Obama mengumumkan keputusannya yang sangat mencengangkan dunia. AS akan segera mengirimkan pasukan tambahan sebanyak 30.000 pasukan guna menuntaskan perang di Afghanistan. Tambahan itu menggenapi jumlah pasukan AS yang ada di Afghanistan menjadi hampir 100.000 pasukan.

Antara Afghanistan dan Vietnam

Banyak pengamat AS yang menilai bahwa Afghanistan adalah medan perang yang luar biasa sulit, tidak bisa dibandingkan dengan Irak. George W Bush sampai akhir pemerintahannya terbukti tidak berhasil menaklukkan Afghanistan.

Publik AS dan dunia internasional tentu saja terkejut dengan keputusan ini. Bayang-bayang kegagalan AS dalam perang Vietnam 25 tahun lalu kembali menyeruak dan menghantui sebagian besar benak warga AS. Sampai sekarang, perang Vietnam masih menjadi bekas luka dalam di jiwa rakyat AS. Keterlibatan AS dalam perang Vietnam adalah yang paling lama dan paling tidak populer dalam sejarah AS. Ketika perang Vietnam berakhir pada 1975, hampir 58.000 tentara AS dan sekitar tiga juta warga Vietnam tewas. Setelah perang berakhir, warga AS bertanya-tanya, mengapa mereka menemui kekalahan.

Banyak yang merasa bahwa AS seharusnya tidak melancarkan perang itu. Mereka berpendapat, tentara AS dan rakyat Vietnam menjadi korban putusan dan kebijakan yang keliru. Ini sering disebut sebagai ‘Sindrom Vietnam’, yaitu keengganan untuk maju ke medan tempur. Sekarang, di Afghanistan, Obama tengah menciptakan ”perang Vietnamnya” sendiri. Kebijakan Obama banyak dipertanyakan oleh rakyat AS. Mereka ragu akan efektivitas perang. Pola dan arah kebijakan strategi yang diambil AS dirasa sudah sangat mengganggu ketenangan dan dilema yang menyesakkan bagi publik AS yang khawatir negaranya kembali bangkrut akibat membiayai perang.

Meski demikian, Obama masih bisa berdalih bahwa kondisi di Afghanistan sudah berubah, dan AS musti menyesuaikan tujuannya di sana. Obama membandingkan Afghanistan dengan Vietnam bahwa di Afghanistan AS didukung oleh 43 negara yang tergabung dalam NATO. Obama juga berdalih bahwa penduduk AS mendukung aksi militer AS di Afghanistan dan menginginkan militer AS untuk menghabisi ”ekstremis” Al-Qaeda. Benarkah AS akan mengulangi petualangannya yang gagal di Vietnam? AS tidak punya tujuan yang jelas dengan mengirimkan pasukannya ke Afghanistan karena kalau Taliban dan Al-Qaeda yang ditargetkan, pengiriman tentara ke Kabul tentu telah salah sasaran.

Sebagaimana diketahui, gerakan Taliban justru akhir-akhir ini semakin aktif melakukan serangan di wilayah Pakistan, khususnya di daerah yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Perang AS kali ini memang sulit dimengerti kecuali semakin menegaskan posisi Afghanistan dalam kalkulasi strategi geopolitik AS.

Afghanistan bukan saja merupakan jalur penting untuk membangun pipa gas yang menghubungkan antara sumber energi di Asia Tengah dan Eropa namun juga di masa mendatang tanah Afghanistan yang tumbuh dalam binaan AS adalah pijakan yang kuat buat AS semakin kukuh menanamkan pengaruhnya di wilayah Asia Tengah dan Timur Tengah.(*)

Ahmad Dahlan
Staf Departemen Luar Negeri RI di Guangzhou, China

Opini Okezone 25 Desember 2009