28 Desember 2009

» Home » Republika » Distorsi Hubungan Islam-Barat

Distorsi Hubungan Islam-Barat

Oleh Farid Wadjdi
(DPP Hizbut Tahrir Indonesia)


Upaya membangun hubungan yang harmonis antara Islam dan Barat sepanjang tahun 2009, gencar dilakukan. Berbagai dialog antara paradaban dan agama intensif dilakukan antartokoh-tokoh agama maupun intelektual. Ada banyak masalah dalam hubungan Islam-Barat memang disadari banyak pihak.

Karena itu, memperbanyak dialog dan kerja sama antar Islam-Barat diyakini akan menciptakan saling pengertian dan situasi yang harmonis. Obama sendiri dalam berbagai pidatonya menekankan pentingnya jalan baru dengan membangun hubungan yang sederajat (equal ), saling menguntungkan dan menghormati ( mutual respect ) antara Islam dan Barat. Namun harus diakui, berbagai dialog ini belum memberikan sumbangan yang optimal apalagi menghentikan konflik yang sering dikatakan muncul akibat ketiadaan saling pengertian antara Islam dan Barat.

Kebijakan luar negeri negara-negara Barat terhadap dunia Islam yang bersifat dominatif dan eksploitatif memberikan sumbangan yang sangat penting dalam distorsi hubungan Islam-Barat yang harmonis. Presiden AS, Barack Obama, sendiri dalam wawancara eksklusifnya dengan stasiun  Al Arabiya yang berbasis di Dubai mengakui di masa lalu AS terlalu sering mendikte mengenai beberapa isu.

Pendudukan AS di Irak dan Afghanistan yang menimbulkan banyak korban sipil menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Pendudukan ini memunculkan perlawanan yang dalam perspektif Barat acap kali disebut sebagai tindakan terorisme. Pada April 2005, sebuah laporan yang ditulis oleh Joint Intellegence Committee (JIC) berjudul  International Terrorism: Impact of Iraq” secara eksplisit menyatakan: ''Kami menilai bahwa konflik yang terjadi di Irak telah memperburuk ancaman terorisme internasional dan akan terus memberikan dampak dalam jangka waktu yang lama. Konflik tersebut telah memperkuat kegigihan para teroris yang telah melakukan serangan ke negara-negara Barat dan memotivasi orang-orang lain yang tidak melakukannya.''

Faktor penting lain yang mendistorsi adalah dukungan membabi buta negara-negara Barat, terutama AS terhadap Israel. Meskipun, negara Zionis ini melakukan kebijakan yang menindas rakyat Palestina. Kurang tegasnya sikap Obama dan negara-negara Barat lain saat serangan membabi-buta Israel ke Gaza yang telah menimbulkan korban sipil yang masif, menjadi pemicu kemarahan dunia Islam. Negara Paman Sam ini dianggap diskriminatif, di satu sisi berbicara HAM, namun di sisi lain membiarkan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Israel.

Sikap Barat terhadap nuklir Iran memperkuat praktik standar ganda Barat. Ada kecendrungan Barat diam terhadap proyek nuklir Israel dan mendukung nuklir India. Sementara Barat terus-menerus menekan pengembangan nuklir Iran. Standar ganda ini yang sering dipertanyakan Presiden Iran, Ahmadinejad, kalau Barat berhak memiliki nuklir, mengapa Iran sebagai negeri Muslim tidak?

Intervensi Barat dalam bebagai konflik internal dunia Islam menimbulkan kesan kuat AS sebagai negara ' problem maker ' di dunia Islam. Langsung atau tidak, AS dan sekutu Baratnya dianggap memberikan sumbangan terhadap meluasnya konflik di Sudan, Yaman, Somalia, termasuk di Pakistan.

Kondisi ini diperburuk dengan menguatnya sikap Islamofobia di negara-negara Barat. Pelarangan pemakaian kerudung (hijab) ditempat-tempat tertentu di Prancis, larangan pembangunan menara masjid di Swiss, hambatan pembangunan masjid di beberapa tempat di Eropa, dan penghinaan terhadap Nabi memperburuk hubungan ini.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari menguatnya partai-partai kanan tengah di Eropa yang berideologi ultranasionalis dan ekstrem yang gencar menentang para imigran yang sebagian besar adalah Muslim. Di Belanda Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders yang anti Islam malah meraih 20 persen suara, pertambahan yang cukup signifikan.

Walhasil, upaya dialog-dialog antarperadaban yang digagas para pemuka agama maupun tokoh intelektual/cendekiawan ke depan tetap akan menghadapi tantangan berat. Tentu sulit berbicara hubungan yang sederajat dan saling menguntungkan, sementara negara-negara Barat tetap bersikap eksploitatif dan bersikap diskriminasi terhadap dunia Islam.

Paling tidak, dua langkah penting yang dilakukan Amerika dan sekutu Baratnya untuk memperbaiki ini adalah keluar dari Irak dan Afghanistan dan menghentikan dukungan membabi buta terhadap Israel. Langkah ini akan secara signifikan memperbaiki hubungan kedua peradaban ini. Sayangnya, Obama malah mengirim 30 ribu pasukan tambahan ke Afghanistan.

Catatan penting lain, dialog antara Islam-Barat harus menghindari kesan ' blame the victim ', sikap yang lebih menyalahkan Muslim dalam berbagai konflik internasional. Seperti terus-menerus menyerang konsep jihad dan syariah dalam Islam yang dianggap pemicu kekerasan.

Namun, di sisi lain tidak ada aksi nyata untuk menghentikan serangan-serangan mematikan Barat terhadap dunia Islam. Para ulama dan cendekiawan yang ikut dalam dialog ini, harus dengan tegas juga menentang kebijakan imperialisme Barat. Kalau tidak, dialog seperti ini akan dianggap sebagai upaya yang tidak berpihak kepada Muslim dan lebih melegalisasi penjajahan Barat.

Opini Republika 28 Desember 2009