28 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Catatan Akhir Tahun 2009 Buruh Migran : Saatnya Ubah Strategi Perlindungan

Catatan Akhir Tahun 2009 Buruh Migran : Saatnya Ubah Strategi Perlindungan

SALAH satu permasalahan bangsa yang menjadi berkepanjangan adalah masalah tenaga kerja Indonesia (TKI). Tahun 2009 merupakan tahun duka bagi TKI di Malaysia. Kasus terakhir adalah penganiayaan Siti Hajar oleh majikan dan kematian Muntik Hani akibat disiksa majikannya di Malaysia beberapa bulan lalu.

Malaysia merupakan negara penerima TKI terbesar di antara negara penerima yang lain. Menurut data Imigrasi Malaysia, ada 2 juta TKI di Malaysia yang terdiri atas 1,2 juta TKI legal dan 800.000 ilegal.

Perlindungan terhadap TKI di luar negeri saat ini menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai. Pemerintah telah banyak mengeluarkan perangkat hukum untuk melindungi TKI di dalam dan luar negeri. Namun, kasus-kasus pengabaian hak terhadap TKI saat ini masih sering terjadi.

Permasalahan TKI di Malaysia ibarat gunung es yang kalau dibiarkan lama akan menyebabkan kerugian sosial bagi kedua negara. Dalam setahun, KBRI Kuala Lumpur harus menampung sekitar 1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian TKI di Malaysia. Itu belum termasuk data di empat Konsulat Jenderal RI di Penang, Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang diperkirakan hampir sama dengan data kasus di KBRI Kuala Lumpur.

Untuk mengatasi permasalahan TKI, pada 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Undang-undang itu mengatur bagaimana sistem dan penempatan dan perlindungan TKI, baik secara administratif maupun secara hukum. Namun, terbukti undang-undang tersebut belum mampu melindungi TKI secara maksimal karena hanya berlaku di dalam negeri.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No 39 Tahun 2004, presiden pun telah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perindungan TKI (BNP2TKI) yang saat ini dipimpin Jumhur Hidayat. Namun, lagi-lagi badan itu belum mampu menjangkau dan memberikan perlindungan kepada TKI di luar negeri.

BNP2TKI lebih fokus kepada penempatan dan pembekalan bagi calon TKI yang akan diberangkatkan dan mengatur regulasi sistem penempatan TKI secara administratif. Numn, untuk perlindungan masih terjadi tumpang tindih kebijakan antara Depkaner dan Deplu. Bahkan, beberapa waktu lalu terjadi konflik terbuka antara BNP2TKI dan Depnaker menyangkut proses administrasi penempatan TKI dengan keluarnya peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi yang ingin memangkas kewenangan BNP2TKI. Sudah tentu konflik-konflik seperti itu menunjukkan banyaknya kepentingan dalam penempatan TKI dan menjadi lahan basah yang dipersebutkan, dan tentunya merugikan TKI.

Kemudian, presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 6 Tahun 2006 tentang reformasi penempatan dan perlindungan TKI di negeri yang melibatkan semua departemen. Mulai Menko Kesra, Menko Perekonomian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Pemberdayaan Perempuan, Departemen Perhubungan, Departemen Hukum dan HAM, hingga Departemen Luar Negeri yang merupakan ujung tombak perlindungan TKI di luar negeri.

Inpres tersebut lebih bersifat pengkajian ulang mengenai konsep penempatan dan perlindungan TKI yang belum menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan. Inpres No. 6 Tahun 2006 tersebut belum berjalan dengan baik, dan belum ada sinkronisasi antara Departemen dalam memberikan kemudahan kepada TKI. Masing-masing Departemen masih memiliki keegoannya dalam mengelola permasalahan TKI.

Padahal, tujuan membentuk BNP2TKI adalah memberikan pelayanan dan perlindungan dengan sistem ssatau atap. Semua regulasi permasalahan TKI harus terpusat di BNP2TKI yang SDM-nya merupakan kumpulan dari beberapa departemen terkait dan bahkan melibatkan kepolisian.

Pemerintah pun sejak 2004 membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pemerintah Malaysia. Mou yang pertama adalah MoU pekerja formal 2004. Kemudian, semenjak terjadinya kasus penyiksaan Nirmala Bonat pada 2004, pemerintah memutuskan membuat MoU pekerja informal yang baru disahkan pada 2006. Namun, cukup disayangkan bahwa MoU tersebut tidak bisa memberikan sanksi dan justru menjerat TKI kepada sistem kekuasaan majikan dan para agensi yang tidak bertanggung jawab. Berbeda dengan pemerintah Filiphina yang telah mengubah MoU menjadi MoA (memorandum of agreement) yang lebih kuat dan mengikat.

***

Selama ini pemerintah terlalu berharap banyak dalam perlindungan berbasis peraturan atau undang-undang yang ternyata terbukti belum efektif dalam melindungi TKI di luar negeri. Perangkat undang-undang yang telah dikeluarkan pemerintah hanya bersifat preventif dan hanya bisa melindungi TKI setelah terjadi kasus. Misalnya, melindungi dengan asuransi. Lalu, bagaimana melindungi TKI secara holistis? Bukankah bahaya yang mengancam TKI bukan hanya terjadi karena prosedur penempatan. Tetapi, ada faktor majikan yang memberikan perlakuan buruk kepada TKI?

Salah satu alternatif yang selama ini diabaikan adalah memberdayakan TKI atau yang dikenal dengan self protection. Yakni, TKI diharapkan mampu melindungi diri sendiri dari perlakuan buruk majikan. Perlindungan dengan cara memberdayakan TKI sebagai aktor yaitu mendorong mereka untuk berserikat dan berorganisasi. Selain itu, memberikan wawasan dan cara-cara agar hak-haknya tidak diabaikan, serta ke mana harus melaporkan permasalahannya. Selama ini peguyuban-peguyuban yang ada bersifat informal dan berjalan sendiri. (*)

*). Muhammad Iqbal, presiden Union Migrant (UNIMIG) Indonesia, kandidat Doktor Universiti Kebangsaan Malaysia
Opini Jawa Pos 28 Desember 2009