Asmar Oemar Saleh
(Alumnus UII 1985, Advokat)
Demokrasi Indonesia masih tergolong muda. Diperlukan topangan kuat dari segenap warga negara agar demokrasi dapat berjalan dan stabil. Maka, proses demokratisasi meniscayakan keterlibatan aktif warga negara dalam politik dan dalam berbagai ekspresinya. Jalur organisasi sosial-politik adalah salah satu yang mungkin ditempuh.
Sebagai sebuah sistem, secara substantif, demokrasi baru muncul setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998. Meski, sebagai sebuah prosedur, demokrasi telah dipraktikkan jauh sebelum itu.
Tapi, kita semua mafhum bahwa prosedur tanpa substansi hanya akan melahirkan kemunafikan, seperti yang pernah kita alami selama berpuluh-puluh tahun lalu. Pendeknya, dibutuhkan keduanya untuk dapat mencapai tujuan bernegara: stabilitas politik, rule of law, dan kemakmuran ekonomi. Mewujudkan demokrasi yang substantif-prosedural itu bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga kewajiban setiap warga negara.
Para ilmuwan politik menekankan bahwa demokrasi membutuhkan modal sosial. Sebabnya adalah demokrasi tak bisa hanya menjadi hasrat sepihak, semisal dari segelintir elite semata.
Ia mensyaratkan dukungan kolektif warga negara. Dan, itu hanya mungkin jika masyarakat mau bekerja sama untuk tujuan kolektif tersebut.
Civil society
Dalam demokrasi, civil society (masyarakat kewargaan) merupakan komponen yang banyak didiskusikan, di samping sikap saling percaya antarsesama warga (trust). Civil society menjadi jaringan keterlibatan warga dalam politik. Melalui civil society, warga negara didorong untuk terlibat dan berpartisipasi dalam politik. Karena, dalam civil society, dimungkinkan berlangsung aktivitas politik, kepentingan politik, dukungan politik pada partai (partisanship), serta diskusi politik yang menjadi ajang pendidikan dan sosialisasi politik.
Dengan demikian, civil society menjadi modal sosial yang penting bagi demokrasi. Salah satu fungsi penting civil society bagi konsolidasi demokrasi adalah perannya dalam menjembatani kepentingan warga negara dan pemerintah melalui sejumlah mekanisme. Civil society menjadi saluran ekspresi masyarakat sehingga aspirasi masyarakat dapat disampaikan kepada pemerintah.
Reformasi peran
Dalam kerangka inilah, kiprah organisasi ikatan alumni perguruan tinggi atau universitas perlu dicermati. Munculnya banyak organisasi alumni perguruan tinggi menjadi fenomena yang jamak dijumpai dalam beberapa tahun terakhir. Tujuan utamanya adalah sebagai penyambung tali persahabatan dan kekeluargaan.
Namun, dalam perkembangannya, banyak organisasi alumni perguruan tinggi yang terjebak pada eksklusivisme: hanya berkutat pada solidaritas anggota. Selain itu, organisasi alumni perguruan tinggi dihinggapi rasa bangga berlebihan atas prestasi anggotanya. Sehingga, pertemuan-pertemuan yang diadakan hanya menjadi perayaan keberhasilan para anggotanya memasuki dunia kerja dan profesional.
Kritik lain adalah terjebaknya organisasi alumni perguruan tinggi pada rutinitas organisatoris belaka. Banyak di antaranya yang kini hanya menjalankan program musyawarah nasional (munas) secara berkala dan pembentukan cabang di daerah semata.
Terkait kritik tersebut, diperlukan revitalisasi dan reformasi peran organisasi alumni perguruan tinggi yang umumnya beranggotakan para sarjana, profesional, pengusaha, akademisi, dan intelektual. Ini penting dilakukan agar organisasi alumni perguruan tinggi dapat menjadi bagian dari civil society yang memberi kontribusi berharga bagi konsolidasi demokrasi yang tengah berlangsung.
Konteks UII
Reuni akbar dan munas Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang akan diselenggarakan pada 25-27 Desember 2009 adalah momentum bagi revitalisasi dan reformasi peran organisasi alumni perguruan tinggi. Keberhasilan IKA UII terletak pada kemampuannya menyinergikan kepentingan anggota, universitas, serta bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejumlah agenda IKA UII ke depan perlu dirumuskan.
Pertama, menjadi motivator dan fasilitator bagi para alumni UII untuk mengabdi kepada bangsa, negara, dan agama dalam berbagai aspek kehidupan dan dalam pemerintahan, lembaga-lembaga negara, ataupun di jalur profesional dan swasta.
Kedua, membantu UII dalam pengembangan universitas, termasuk memfasilitasi UII dalam membangun jaringan (networking) serta membantu peningkatan fasilitas atau sarana.
Ketiga, berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. IKA UII dapat menyumbangkan pokok-pokok pikiran tentang pembangunan ekonomi, penegakan hukum, solusi atas kemiskinan yang mendera bangsa, serta turut mewarnai percaturan pemikiran tentang masa depan Indonesia.
Tentu saja, untuk menjalankan program-program besar tersebut diperlukan seorang pemimpin yang kapabel, akuntabel, dan berintegritas tinggi. Maka, ketua IKA UII selayaknya orang yang progresif, memiliki visi jauh ke depan, serta punya akses dan jaringan yang luas. Dan, dia juga harus memiliki tim yang kreatif, kaya gagasan, dan siap bekerja keras.
Demikianlah, mandat IKA UII harus diperluas. Transisi demokrasi sekarang ini menuntut IKA UII untuk melampaui perannya dari sekadar organisasi solidaritas dan silaturahim. IKA UII harus menjadi bagian civil society yang terlibat dalam persoalan-persoalan kebangsaan. Jika ini berhasil, IKA UII akan menjadi model dan referensi bagi organisasi alumni perguruan tinggi lain untuk melakukan langkah serupa.
Masyarakat tentu berharap, organisasi alumni perguruan tinggi tak berhenti pada organisasi 'temu kangen' semata. Tapi, yang lebih penting, dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Pendeknya, kita menuntut peran profetik organisasi alumni perguruan tinggi sebagai bagian dari civil society. Akhirulkalam, selamat bermunas kepada IKA UII.
Opini Republika 26 Desember 2009
28 Desember 2009
Reformasi Peran Alumni UII
Thank You!