06 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Sesat Nalar Langkah Polisi

Sesat Nalar Langkah Polisi

Bibit dan Chandra memang sudah keluar dari tahanan kepolisian. Tapi episode kriminalisasi KPK belum berakhir. Penahanan itu sendiri bukan tanpa sesat pikir. Kepolisian tercatat telah merumahkan Bibit Samad Rianto (BSR) dan Chandra Muhammad Hamzah (CMH) di rumah tahanan markas Brigade Mobil Polri. 

Naskah yang dibacakan oleh kepolisian untuk episode kali ini adalah cukupnya bukti permulaan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku. Kepolisian menganggap syarat penahanan telah terpenuhi.  Masyarakat dibuat tercengang. Begitu cepat naskah yang dibacakan oleh polisi itu. Namun, apakah kepolisian dengan tepat menggunakan syarat penahanan dalam memenjarakan kedua pimpinan KPK nonaktif? Mari kita simak bersama-sama.

Tiga Syarat Dibutuhkan tiga syarat dalam melakukan penahanan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai dasar hukum formil yang mengatur penahanan, merangkum tiga syarat tersebut. 

Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatakan, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.” Ketentuan ini disebut sebagai syarat subyektif penahanan. 

Berdasarkan syarat subyektif penahanan, penyidik mesti mempunyai ukuran kekhawatiran. Ukuran itu berupa, pertama, tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; kedua, tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan ketiga, tersangka atau terdakwa ditakutkan akan mengulangi tindak pidana.

Tanpa ketiga ukuran kekhawatiran tersebut, terhadap seorang tersangka atau terdakwa tidak dapat ditimpakan penahanan maupun penahanan lanjutan.
Berikutnya, syarat formal. Tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP. ”Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.”

Syarat formal menentukan adanya surat perintah penahanan yang berisi kronologi singkat tindak pidana yang dilakukan. Di samping itu, surat perintah penahanan harus disampaikan pula kepada keluarga si tersangka atau terdakwa.  Syarat terakhir adalah syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. ”Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih...”

Objektivitas penahanan hanya dapat dikenakan kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun penjara atau lebih dan tindak pidana lain sesuai yang ditentukan dalam KUHAP.
Sesat Nalar Langkah Kepolisian yang menahan dua pimpinan KPK nonaktif patut dipertanyakan. Pertanyaan ini sedikit argumentatif karena memang penafsiran syarat subyektif sepenuhnya ada di otak penyidik. Kepolisian bersikukuh bahwa syarat subyektif telah terpenuhi.

Akan tetapi, subyektivitas yang melekat ke Pasal 21 ayat (1) KUHAP tetap harus mendasarkan pada fakta yang ada. Bila menilik pada unsur-unsur subjektif penahanan bahwa seorang terdakwa akan melarikan diri, apakah BSR dan CMH kuat diduga akan melarikan diri? Lalu, apakah keduanya akan merusak dan menghilangkan barang bukti? Kemudian, akankah dua pimpinan KPK nonaktif itu mengulangi tindak pidana lagi, seperti yang disangkakan? 

Jawabannya tentu fifty-fifty. Bisa ya bisa tidak. Namun, sekali lagi, argumentasi harus didasarkan pada fakta.  Faktanya, pertama, sejak ditetapkan sebagai tersangka, BSR dan CMH memenuhi prosedur untuk wajib lapor seperti yang diminta Kepolisian. Sikap kooperatif juga ditunjukkan BSR dan CMH dalam memberikan keterangan kepada penyidik.

Kedua, sejak dinonaktifkan, BSR dan CMH tidak berkantor lagi di KPK. Otomatis, akses ke KPK juga diputus. Apakah ketidaktersediaan akses ini akan membuat BSR dan CMH merusak atau menghilangkan barang bukti terhadap sangkaan yang dilontarkan oleh Kepolisian. Probababilitasnya tidak. 

Ketiga, penahanan BSR dan CMH dilakukan beberapa waktu setelah Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan sela uji materi UU 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan, sebelum ditetapkan sebagai terdakwa, pimpinan KPK tidak dapat dinonaktifkan.

Keempat, dan lebih menggelikan, dugaan polisi bahwa BSR dan CMH sering menjawab pertanyaan wartawan dan media akan mengubah substansi penyidikan, sehingga BSR dan CMH harus ”diamankan”. Padahal, dalam KUHAP, menjawab pertanyaan wartawan atau media, tidak masuk dalam kriteria syarat subyektif penahanan.

Atas beberapa fakta itu, argumentasi Kepolisian mengenai syarat subyektif tidak terpenuhi. Masihkah penyidik harus bersikukuh dengan argumentasinya? Bukankah jika demikian, Kepolisian telah sesat nalar dalam menahan seseorang?
Penyalahgunaan Wewenang Apabila Kepolisian tetap pada argumentasinya, maka dapat diduga bahwa Kepolisian telah melakukan penyalahgunaan wewenang penahanan. Sebab, unsur-unsur yang termaktub dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak terpenuhi. Pendek kata, kepolisian melanggar ketentuan aturan hukum. Pada ranah lain, sikap kepolisian ini menunjukkan arogansi yang tinggi. Polisi mementaskan episode dengan langgam ”kesewenang-wenangan”.

Kriminalisasi KPK harus diakhiri dengan cara mempraperadilankan penahanan kepolisian atas BSR dan CMH. Terakhir, sesat nalar penahanan mesti diluruskan oleh Kepolisian. Karena jika tidak, hanya akan membuat buruk citra lembaga yang mengusung jargon pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. (80)

—Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 7 November 2009