06 November 2009

» Home » Okezone » Babak Baru Polri-Kejaksaan Agung vs KPK

Babak Baru Polri-Kejaksaan Agung vs KPK

Perseteruan Polri-Kejaksaan Agung versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak baru menyusul rekaman pembicaraan yang isinya diduga rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa 3 November 2009.

Rekaman yang berdurasi lebih dari empat jam itu memberikan indikasi yang kuat bahwa persoalan penegakan hukum di Indonesia ibarat telur di ujung tanduk. Tidak hanya persoalan Susno Duadji yang namanya berulang kali disebut dalam rekaman tersebut versus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tetapi lebih dari itu menyangkut tiga institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam menangani kasus korupsi, yaitu kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK.
Amat menyedihkan bahwa upaya mematikan KPK dengan mengkriminalkan kedua pimpinannya tidak hanya berasal dari para koruptor, tetapi juga berasal dari aparat penegak hukum. Aparat hukum yang seharusnya saling bekerja sama dalam memberantas korupsi justru sebaliknya, saling bersaing secara tidak sehat dan cenderung melemahkan gerakan antikorupsi yang sedang digalakkan.Tidaklah dapat dimungkiri bahwa kriminalisasi tersebut tidak terlepas dari dugaan keterlibatan pejabat tinggi Polri dalam kasus Bank Century yang sedang ditangani KPK.***

Ada beberapa catatan tertulis perihal kasus yang sedang menimpa ketiga institusi tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi perlu diberi apresiasi karena telah berhasil mengungkap kebobrokan dalam penegakan hukum di Indonesia dengan perintah untuk memperdengarkan rekaman tersebut dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Kedua, mendengarkan rekaman pembicaraan yang banyak dilansir oleh media sudah tepat karena hal ini berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembuktian terkait uji materiil Pasal 32 Undang- Undang KPK yang dimohonkan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Ketiga, dalam konteks hukum pidana, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Hal ini ditegaskan baik dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi maupun dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Oleh karena itu, penanganan kejahatan luar biasa perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Instrumen hukum yang kita miliki sudah cukup memadai, termasuk di dalamnya adalah keabsahan penyadapan dan perekaman pembicaraan. Artinya, hasil penyadapan dan perekaman tersebut dapat dijadikan bukti awal untuk membongkar suatu kasus korupsi.

Dengan demikian rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan bukti awal untuk mengusut rekayasa di balik kriminalisasi kedua pimpinan KPK tersebut. Keempat, langkah selanjutnya semua orang yang namanya disebut dalam rekaman harus diperiksa. Namun yang menjadi persoalan, siapakah yang melakukan pemeriksaan itu? Saat ini kita telah memiliki tim independen yang dibentuk Presiden untuk mencari fakta dan membuat terang kasus tersebut.

Pembentukan tim semacam ini sudah tepat karena tidak mungkin kita mengharapkan Polri atau kejaksaan atau KPK akan menyelesaikan kasus tersebut. Sebab, bagaimanapun semangat untuk melindungi korps masih tetap ada pada institusi-institusi terkait. Akan tetapi, persoalan lainnya apakah tim independen ini dapat memanggil secara paksa semua orang yang diindikasikan terlibat dalam kasus ini? Dalam proses peradilan pidana, kewenangan yang melekat pada institusi penegak hukum haruslah berdasarkan undang-undang.

Oleh karena itu, tim independen yang dibentuk Presiden harus diberi kekuasaan yang besar dalam hal melakukan investigasi terhadap semua pihak. Artinya, perlu baju hukum yang tepat untuk mengatur kewenangan tersebut, yakni dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Adanya aksi demo yang cukup masif dalam beberapa hari terakhir ini yang menuntut pengusutan kasus ini secara tuntas dapat ditafsirkan sebagai kegentingan yang memaksa. Demikian pula situasi penegakan hukum yang sangat memprihatinkan cukup menjadi alasan untuk mengeluarkan Perppu.

Kelima, gelar perkara terhadap kasus yang disangkakan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah harus segera dilakukan. Demikian yang dapat disimpulkan dari pertemuan antara Presiden dengan keempat tokoh masyarakat pada hari Ahad malam. Jika dalam gelar perkara tersebut ternyata tidak cukup bukti, Polri harus segera mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut. Selanjutnya dugaan rekayasa atas kasus itu harus diusut tuntas.***

Keenam, dalam mengusut tuntas dugaan kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif, semua orang yang terbukti terlibat tidak hanya dipecat dari jabatan, tetapi harus diproses secara hukum. Tindakan orang-orang yang mengkriminalkan kedua pimpinan KPK dapat diklasifikasikan sebagai obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum.

Secara eksplisit ketentuan ini termuat dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)."

Demikian pula ketentuan mengenai obstruction of justice yang dituangkan dalam UNCAC dan telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UNCAC secara eksplisit disebutkan bahwa obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan adalah tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini.

Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini. Ketujuh, jika dari pengusutan lebih lanjut terhadap pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung yang diduga terlibat dalam rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK nonaktif itu terbukti, kiranya secara legawa Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Dr Hendarman Supandji, SH, secara ksatria harus mundur dari jabatannya.

Terlebih, Kapolri dalam beberapa pernyataan yang dilansir media mengatakan bahwa siap bertanggung jawab jika benar ada rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab moril tersebut adalah meletakkan jabatan sebagai Kapolri.(*)

Eddy OS Hiariej
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Opini Okezone 6 November 2009