06 November 2009

» Home » Kompas » Saat Nurani Publik Terlukai

Saat Nurani Publik Terlukai

Pada tahun 1920-an, peneliti Belanda datang ke Bali dan menemukan, dalam kamus hidup orang Bali saat itu, tidak dikenal istilah kesenian sebagai pertunjukan komersial.
Semua gerak kehidupan (bertani, mengukir, menari) dilakukan sebagai rangkaian persembahan. Maka, salah satu arti Bali adalah persembahan.
Tidak ada yang sempurna di bawah langit kendati Bali pernah digoda bom teroris. Amat terasa penderitaan setelah itu. Namun, Bali tidak saja bangkit, bahkan kemudian dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata terbaik dunia oleh media global.


Bila boleh jujur, ada roh yang bersemayam di balik karisma Bali yang kerap disebut surga terakhir oleh masyarakat internasional. Roh itu tumbuh ribuan tahun sebagai percampuran agama dan seni. Perpaduan keduanya lalu dipersembahkan sebagai rangkaian pelayanan.
Bali menjadi sumber inspirasi Indonesia yang masih menyimpan banyak lubang pelayanan, terlebih saat nurani publik terlukai skandal korupsi. Bila Bali bisa berkarisma dengan pelayanan sebagai penggabungan agama dengan seni, mengapa Indonesia tidak bisa? Dalam agama dan seni, Indonesia kaya nilai yang menjunjung tinggi pelayanan.
Pelayanan
Dulu, hanya pedagang yang tekun mencari keberuntungan. Kini, ia merambah ke mana-mana. Rumah, tempat kerja, taman, semua ditata sehingga keberuntungan datang dari segala penjuru. Dan ukuran keberuntungan, apalagi kalau bukan kekayaan. Ini layak dihormati. Masyarakat Barat sudah berjalan jauh di depan dalam hal kekayaan.
Namun, kemajuan ala Barat ini memakan biaya mahal. Baru di zaman ini terjadi banyak rumah sakit jiwa penuh, sebagian pasien yang belum sepenuhnya sembuh terpaksa dipulangkan karena ada pasien baru yang lebih parah dan lebih membutuhkan. Lembaga pemasyarakatan kehabisan ruang untuk menampung narapidana, sebagian remisi terpaksa diberikan karena ruang yang ada sudah tidak manusiawi. Angka perceraian naik tajam. Keadaban manusia tidak mampu mengerem perang dan terorisme. Seorang guru dari Timur pernah menginap di salah satu rumah orang superkaya di Amerika Serikat. Rumahnya supermewah, tetapi yang mengejutkan, di kamar mandi tersedia banyak pil tidur.
Contoh termutakhir di negeri ini adalah dibukanya rekaman percakapan sejumlah pihak yang mau membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat, bagaimana nafsu berlebihan akan kekayaan bahkan bisa menghancurkan seluruh tatanan hukum sebuah negara. Dalam totalitas, tidak ada yang melarang mengejar kekayaan. Namun, karena demikian besarnya ongkos nafsu berlebihan akan kekayaan, mungkin layak merenung ulang pengertian keberuntungan.
Tetua di Timur telah lama mengenal kearifan tentang kucing yang mengejar ekornya. Semakin dikejar semakin lari. Saat tidak dikejar, ia berhenti. Dalam bahasa Franz Kafka: makna kehidupan baru terbuka ketika manusia belajar berhenti.
Anehnya, saat berhenti bukan kehilangan makna, malah menemukan. Ini yang bisa menjelaskan mengapa ada guru meditasi menyarankan, kehidupan serupa air di gelas. Setenang apa pun tangannya, bila air di gelas dicoba ditenangkan dengan cara memegangnya, ia tetap bergerak, maka letakkan saja.
Saran meletakkan tentu bukan berarti semua harus meninggalkan kota untuk pergi ke hutan, atau semua orang duniawi harus meninggalkan keseharian untuk bermeditasi. Sekali lagi bukan. Meletakkan keinginan berlebihan, bahwa hidup harus sesuai tuntutan ideal, untuk kemudian mendalami ternyata keberuntungan, tidak saja ada dalam tujuan-tujuan ideal, tetapi juga dalam tiap langkah pelayanan. Pertumbuhan tidak saja memerlukan kehebatan hasil, juga merindukan kelembutan proses.
Siapa pun yang diberi berkah spiritual untuk bisa melihat Nusantara, lebih-lebih di putaran waktu saat negeri ini akan runtuh oleh skandal korupsi, akan menitikkan air mata saat mengetahui bahwa Mohammad Hatta, salah satu proklamator, ternyata mengisi hidupnya di jalan pelayanan. Di sebuah Jumat, istrinya mengatakan kalau tabungan baru cukup untuk membeli mesin jahit. Dan karena kesibukan, akan ke toko hari Senin. Pak Hatta tahu kalau Senin berikutnya tabungan itu tidak akan cukup karena beliau sendiri yang akan mengumumkan kebijakan pemotongan uang pada hari Senin. Namun, karena meletakkan kepentingan publik di kepala, kepentingan pribadi di kaki, Pak Hatta diam seribu bahasa. Serupa dengan Mahatma Gandhi dan Bunda Theresa, mereka mengisi hidup dengan pelayanan, semakin lama bukannya semakin redup, malah semakin bercahaya.
Becermin dari sini, seorang guru menulis, dalam kehidupan para bijaksana, sukacita datang dari ketulusan untuk terus memberi. Persis seperti burung putih di salju. Menyediakan tangan bantuan tetapi tidak kelihatan.
Dalam perspektif ini, bisa dimengerti bila salah seorang penekun meditasi di Barat setelah mengalami pencerahan kemudian bukannya mengenakan baju suci, tetapi menjadi sopir taksi. Inilah keberuntungan sejati: tercerahkan, melakukan tugas pelayanan dan tidak kelihatan.
Mungkin itu sebabnya di negara maju pekerja birokrasi tidak disebut pegawai negeri, tetapi pelayan publik. Melayani, itu dan hanya itu alasan birokrasi dan profesi dibentuk. Melayani, itu dan hanya itu tugas manusia yang tercerahkan. Dan tugas pelayanan menjadi menggetarkan bila ada yang bisa membaca pesan suci di balik kisah burung putih di salju.
Andaikan banyak pemimpin, pendidik, penyembuh, praktisi hukum negeri ini yang tergetar hatinya dengan kisah burung putih di salju, terterangi batinnya oleh roh pelayanan Pulau Bali, tidak terhitung banyaknya kemiskinan yang bisa diusir dari Nusantara. Tidak terhitung banyaknya bunuh diri, depresi, kriminalitas, perceraian, dan penyakit sosial lain yang bisa dihindarkan. Sekaligus berhenti menyebarkan virus negatif yang membuat alam terus menggoda dengan bencana.
Dan yang paling penting, hanya dengan melayani kejujuran, maka luka publik mungkin terobati.

Gede Prama Penulis Buku Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan: Mengolah Bencana Menjadi Vitaminnya Jiwa
Opini Kompas 7 November 2009