”Bandit Membajak Instrumen Negara”, kata Komarudin Hidayat, Rektor UIN (Suara Merdeka, 5/11). Statemen tersebut sangat menarik. Sebuah negara besar seperti Indonesia dengan sistem pemerintahan yang sangat ideal bisa ”terkoyak” hanya dengan ulah satu aktor yang bisa menggendalikan para penegak hukum negeri ini. Sangat ironis kedengarannya. Di tengah upaya dan komitmen pemerintahan yang baru terbentuk usai pesta demokrasi beberapa waktu lalu, dengan agenda ”melanjutkan” agenda pemerintahan sebelumnya, yaitu pemberantasan korupsi, dinilai banyak kalangan sebagai penurunan kinerja pemerintahan baru.
Ternyata nama Anggodo menjadi populer dan mendadak menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik di Indonesia. Setelah rekaman percakapan antara Anggodo dan beberapa orang yang diduga penegak hukum di Indonesia diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa (3/11) yang lalu di salah satu stasiun televisi swasta.
Reaksi keras muncul dari berbagai kalangan menanggapi ”drama” percakapan tersebut. Bahkan pihak istana pun cukup gerah karena RI 1 sempat disebut-sebut dalam rekaman tersebut. Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan atau masyarakat awam adalah siapakah sebenarnya Anggodo? Setelah diperiksa selama 1x 24 jam di Mabes Polri ternyata Anggodo dibebaskan dari segala tuduhan karena ”belum cukup bukti” untuk dinyatakan tersangka. Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini?
Kondisi Weak State Ada buku menarik dari Francis Fukuyama berjudul State Building (versi Indonesianya berjudul Memperkuat Negara) yang terbit tahun 2006. Di dalam buku ini, Fukuyama menjelaskan bagaimana positifnya korelasi antara negara yang lemah dan munculnya sejumlah masalah sosial dan politik. Indikasi kuat atau lemahnya negara dilihat dari apa yang disebutnya sebagai state function (fungsi negara) dengan state capacity (kapasitas negara). Relasi antara keduanya akan menempatkan suatu negara dalam salah satu dari empat kuadran, yaitu strong states, weak states, failed states dan collapse states. Ringkasnya, negara yang kuat atau bisa dikatakan sukses adalah negara yang memiliki kapasitas yang kuat, baik dengan fungsi yang banyak maupun sedikit.
Weak state pada dasarnya merupakan negara kuat, tetapi karena ada banyaknya kendala-kendala seperti ekonomi fundamental, antagonisme internal, salah urus, ekstremisme, serangan dari luar, dan lain sebagainya, yang mengakibatkan negara tidak efektif dalam penyediaan political goods (Pratikno dan Cornelis Lay, 2006). Kapasitas negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik inilah yang dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia. Hirarki political goods terutama (pertama) keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan negara. Ini melalui pencegahan invasi asing, mengeliminasi ancaman domestik yang mengancam tatanan sosial, mencegah kriminalitas, mengelola perbedaan kepentingan di dalam masyarakat tanpa kekuatan koersif. Kedua, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk. Ketiga, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau dan merata. Keempat, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi. Kelima, sistem uang dan perbankan yang stabil. Keenam, kesempatan ekonom dan lingkungan bisnis yang kondusif. Ketujuh, tersedianya ruang publik (public sphere) yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi. Kedelapan, pengawasan dan pengaturan lingkungan.
Kapasitas negara dalam konteks penegakan hukum diindikasikan dengan konsistensi negara umumnya dan aparatur penegak hukum khususnya dalam menegakkan hukum dan menciptakan kepastiannya. Inilah yang menyebabkan drama yang sangat fantastis terjadi di negeri ini. Berawal dari kasus-kasus korupsi yang seakan-akan ”menggurita” dalam skala yang sangat luas, dan penyelesaian yang setengah-setengah membuat kondisi negara dipertanyakan.
Terkait dengan masalah rekaman di Mahkamah Konstitusi, terlihat adanya persekongkolan busuk antara penguasa, pengusaha nakal, aparat penegak hukum di Polri dan Kejaksaan Agung untuk mengatur berita acara penahanan Chandra dan Bibit membunuh salah satu dari mereka dan akhirnya pada penutupan Kantor KPK. Sebuah skenario yang sangat hebat, dan dilakukan oleh seorang aktor yang hebat di negeri ini yang mampu membeli perangkat hukum di Indonesia.
Secara mengejutkan, upaya mempertahankan demokratisasi dan good governance process di Indonesia dicederai oleh tindakan ”bandit” yang bisa menguasai semua lapisan dalan struktur pemerintahan, sekaligus mengindikasikan masih rendahnya kapasitas negara dalam penegakan hukum. Banyak alternatif lain dalam menciptakan order (ketertiban). Salah satu yang utama adalah kepastian dalam penegakan hukum.
Dalam hal ini diperlihatkan oleh konsistensi penindakan aparatur penegak hukum terhadap segala macam tindakan melawan hukum, serta kepastian akan penjatuhan hukuman meskipun kadar dari hukuman itu tidak berat. Kini masyarakat sudah terlanjur menilai bagaimana lembaga hukum tersebut sudah melanggar asas kepatutan hukum. Tapi menurut hemat penulis ini belum terlambat, karena masih ada upaya dan terobosan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki citra ini.
Ini tantangan untuk Mahkamah Konstitusi sekaligus menciptakan terobosan baru dengan mendengarkan secara utuh rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo adik Dirut PT Masaro Anggoro Widjojo yang terlibat korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan dengan para lawan bicaranya untuk mengatur agar Ketua KPK seolah terlibat tindakan kriminal. Citra bangsa dan negara Indonesia yang terkenal santun sedang dipertaruhkan. Semoga ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua komponen bangsa, agar bangsa dan negara Indonesia tetap jaya dan terhindar dari kondisi weak state (negara yang lembek). (80)
–– Anna Yulia Hartati SIP MA, dosen FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang
Wacana Suara Merdeka 7 November 2009