Huru-hara para pemegang mandat kekuasaan rakyat sekarang ini adalah uang. Tekadnya uang, pikirannya uang, dan kekuasaannya uang. Bukan tekadnya demi rakyat, pikirannya demi rakyat, dan kekuasaannya demi rakyat. Masih lumayan kalau tekad uang demi rakyat, pikiran uang demi rakyat, dan praktik kekuasaan adalah uang demi rakyat. Yang terjadi adalah trilogi uang demi diri sendiri.
Bangsa ini mengaku dirinya religius dan tujuan semua religi, menurut sejarawan Arnold Toynbee, adalah menyisihkan ego manusia serta menebalkan simpati dan empati bagi banyak orang lain. Tidak ada pelaku religi sejati yang hanya memikirkan kepentingan egonya sendiri.
Kenyataannya sekarang ini, setiap pemegang kekuasaan saling membela diri sendiri sebagai bersih sembari menuding yang lain sebagai kotor, dengan seluruh tekad, ucap, dan lampahnya. Pamer kekuasaan dan kebenaran merupakan agenda tiap hari. Rakyat, orang-orang lain itu, dari mana kekuasaan dan kekuatan mereka berasal, cuma dianggap kuburan. Mereka lupa bahwa rakyat juga memiliki will, mind, dan power sendiri.
Sejarah hati nurani rakyat, pikiran rakyat, dan kekuatan rakyat di Indonesia telah membuktikan kesabarannya yang luar biasa. Dan setiap kesabaran ada batasnya. Rakyat Indonesia sejak dahulu kala memiliki tradisi sebagai abdi negara, abdi penguasa dalam arti memercayai tekad, ucap, lampah para penguasanya, rakyat ini tak lain adalah penakawan Semar dan anak-anaknya. Namun, kalau ketidakadilan terus-menerus berlangsung di kalangan penguasa, bahkan dewa-dewa, maka tak segan-segan Semar mengamuk naik ke swargaloka. Kalau Semar—rakyat ini—mengamuk, ia akan kentut terus-menerus menebar bau busuk, omongannya kasar, dan matanya rembes berair yang memudarkan pandangan matanya.
Para dewa dan Batara Guru dicaci maki, dimarahi, dinalarkan kembali pikiran mereka yang bengkok. Anehnya para dewa kekuasaan dalam cerita wayang ini tercerahkan dan tunduk kepada Semar yang jabatannya cuman pelayan raja ini. Para dewa wayang ini ternyata lebih intelektual daripada sejarah para penguasa di Indonesia. Alih-alih mereka sadar dan tercerahkan oleh tekad ucap lampah rakyat, justru marah dan membalas kekuatan rakyat ini.
Kisah klasik harta, kuasa, dan wanita di Indonesia tidak pernah berubah. Orang tidak pernah belajar dari sejarah. Dan sejarah kekuasaan di Indonesia selalu berulang. Kemarahan Semar, kemarahan rakyat, selalu jalan terakhir perubahan kekuasaan yang triloginya buruk.
Dari trilogi will, mind, power ini, peran will, tekad, nurani menjadi pangkal semua peristiwa. Kalau kemauan atau kehendaknya baik, pikirannya akan baik, dan perbuatannya juga baik. Perselisihan trilogi kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersumber dari tidak adanya kesatuan tekad, kemauan baik bersama, yakni memberantas korupsi. Justru ketiganya saling tuduh melakukan korupsi. Maling teriak maling.
Kemauan yang baik saja tidak cukup kalau tidak diikuti oleh pikiran yang baik. Ketiga lembaga ini memiliki peran yang berbeda-beda dan dengan demikian cara berpikir yang berbeda-beda. Kesatuan cara berpikir adalah perbedaan dalam kesatuan, praktik Bhinneka Tunggal Ika. Ketiganya harus memahami tugas masing-masing untuk dapat menyatu dalam kehendak yang sama: melenyapkan korupsi di Indonesia.
Yang menyatukan bangsa ini adalah tekad yang sama, yakni merdeka dari penjajahan. Dalam tekad yang satu dan fokus ini, setiap perbedaan pikiran dikesampingkan, bukan malah ditonjol-tonjolkan dengan kekuatannya. Hanya sayang, setelah kehendak mereka tercapai, perbedaan pikiran kembali dikobarkan. Akibatnya, terjadi perbuatan yang melibatkan adu kekuatan. Itulah yang terjadi sekarang dalam skala mikro. Pikiran masing-masing dan kebenaran masing-masing dipamerkan di depan publik. Mereka saling menuntut kebenaran masing-masing. Adu kebenaran dan adu pikiran. Padahal, yang diinginkan rakyat hanyalah kebenaran perbuatan. Dan bagaimana perbuatan, power, pemberantasan korupsi ini bisa terjadi kalau dalam tingkat kehendak, tekad, sudah berbeda yang tecermin dari ucapan pikiran mereka yang berbeda-beda pula.
Pokok masalah yang membuat will, mind, power ini terpecah belah adalah uang! Ketiganya saling menuduh terima suap atau memeras. Dan sumber kekacauan ini justru dari kaum petualang, spekulan, di luar mereka. Alangkah bodohnya dewa-dewa kekuasaan kita ini. Mereka saling berantem gara-gara ulah para Togog. Tokoh ini bermulut burung pelikan yang mampu menampung puluhan ikan di mulutnya. Dan dewa-dewa ini saling menuduh berebut beberapa ikan kecil yang meloncat jatuh dari mulut si Togog.
Kembalilah pada tekad perjuangan bangsa ini seratus tahun yang lampau. Pikiran boleh berbeda-beda, kebenaran boleh berbeda-beda, tetapi didasari oleh tekad yang sama. Kehendak mulia inilah yang menyatukan semua perbedaan dalam satu perbuatan yang mulia juga.
Di makam-makam taman pahlawan negeri ini, arwah-arwah pejuang kita senantiasa bertanya, apakah negeri yang mereka bangun ini tetap bersatu dalam tekad? Tekad yang benar, pikiran yang benar, dan perbuatan yang benar.
Opini Kompas 7 November 2009