ANTIKLIMAKS, barangkali, merupakan ungkapan yang tepat dinisbatkan kepada pidato Presiden SBY pasca dikeluarkannya Laporan dan Rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atau yang dikenal dengan Tim 8. Berbeda dengan laporan dan rekomendasi Tim 8 yang diapresiasi banyak pihak sebagai masukan yang bernas dan progresif, tanggapan SBY terhadap rekomendasi itu justru menimbulkan polemik baru karena dianggap multitafsir, bahkan terkesan membingungkan.
Jika rekomendasi bernas Tim 8 menutup peluang untuk ditafsirkan lain, pidato SBY justru berpotensi menimbulkan komplikasi masalah baru. Terutama karena pidatonya berpotensi ditafsirkan secara manipulatif oleh pihak-pihak yang terkait langsung, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Berdasar reaksi masyarakat yang di-release di media massa, pidato SBY hanya dipandang jelas terkait penghentian proses hukum Bibit dan Chandra. Itu pun disertai indikasi penyelesaian model out of court settlement, sebagaimana dipopulerkan SBY sehari sebelumnya, sesuatu yang kemudian menjadi kontroversi, mengingat istilah tersebut tidak lazim dipakai dalam hukum acara pidana.
Berbagai spekulasi muncul terhadap ketidakparalelan antara pidato SBY dan rekomendasi Tim 8 tersebut. Salah satunya adalah track record politik SBY selama ini yang sering terlihat gamang dalam membuat keputusan penting yang berdampak luar biasa terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut hemat penulis, situasi tidak ''gayung bersambut" antara presiden dan Tim 8, antara lain, disebabkan ''ketidaktepatan bacaan" presiden terhadap kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8, yang secara lugas disampaikan Anies Baswedan (salah seorang anggota Tim 8) dalam wawancara dengan salah satu televisi swasta sebelum pidato presiden disampaikan.
Kurang lebih Anies Baswedan waktu itu mengingatkan bahwa untuk membaca laporan dan rekomendasi Tim 8, dibutuhkan pembacaan yang utuh, terutama terhadap kerangka logis dan sistematika yang mendasarinya. Kerangka logis dan sistematika itulah sebenarnya yang menjadi dasar seluruh konstruksi rekomendasi, dari hal-hal yang sangat substansial sampai dengan tata urutan rekomendasi yang kelihatannya sepele.
Penjelasan yang dikemukakan Anies Baswedan setidaknya memberikan hint penting. Bukan hanya urutan rekomendasi yang sedapat-dapatnya dihindarkan dari pembolak-balikan urutan, tetapi juga mengakomodasi sebagian dan mengacuhkan yang lain, bisa mengakibatkan rusaknya konstruksi bangunan rekomendasi secara keseluruhan.
Berdasar keterangan Anies Baswedan serta bacaan terhadap dokumen, kerangka logis dan sistematika laporan dan rekomendasi Tim 8 tersusun sebagai berikut. Pertama, penghentian proses hukum terhadap Bibit dan Chandra. Kedua, penjatuhan sanksi terhadap sejumlah pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan terhadap Bibit dan Chandra, yang kemudian disarankan juga untuk ditindaklanjuti dengan reposisi personel dan reformasi institusional di kepolisian, kejaksaan, KPK, dan LPSK.
Ketiga, merefleksikan kasus Bibit dan Chandra, yang dikeruhkan dengan indikasi terlibatnya sejumlah aparat penegak hukum, yang disarankan dikenakan sanksi sebagaimana dicantumkan dalam rekomendasi nomor 2, Tim 8 kemudian merekomendasikan presiden untuk menuntaskan persoalan mafia peradilan, dengan melakukan prioritas program operasi pemberantasan makelar kasus (markus) di semua lini lembaga peradilan.
Keempat, setelah tiga rekomendasi sebelumnya, barulah Tim 8 masuk ke rekomendasi berikutnya, yaitu saran untuk penanganan kasus-kasus lainnya yang terkait, seperti kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.
Kelima, saran Tim 8 kepada presiden untuk membentuk Komisi Negara yang akan mengoordinasi dan menyinergikan program menyeluruh untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum.
Dari lima point tersebut terbaca, sistematika kerangka logis rekomendasi Tim 8 dimulai dari saran penghentian kasus pemicu utamanya, yaitu kasus Bibit dan Chandra, penuntasan kasus-kasus terkait, serta penindakan terhadap personel yang diduga terlibat dalam skenario pemaksaan proses hukum Bibit dan Chandra. Setelah itu, rekomendasi yang terkait dengan aspek kelembagaan berupa saran untuk pemberantasan mafia peradilan dan reformasi institusional yang bermuara pada dibentuknya sebuah Komisi Negara yang akan mengoordinasikan semua proses reformasi lembaga penegakan hukum.
Dengan mendedahkan kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8 di hadapan pidato SBY, terlihat bahwa respons SBY terhadap persoalan ''konflik" antarlembaga penegakan hukum, walau pada titik tertentu pararel atau berbasis rekomendasi Tim 8, secara mendasar sebenarnya gagal menangkap esensi terdalam rekomendasi itu. Adalah benar bahwa SBY, selain mengindikasikan pemberhentian proses hukum Bibit dan Chandra, juga mengemukakan hal-hal lain, seperti pernyataan komitmen pengusutan kasus Century dan reformasi bidang penegakan hukum. Tetapi, itu semua disampaikan dengan sporadis, tidak dibingkai dalam suatu penjelasan yang sistematis, dan yang terpenting, sebangun dengan kerangka logis dan sistematika rekomendasi Tim 8.
Kini, sebuah pertanyaan besar kembali menggelayut di benak masyarakat, benarkah ''ketidaktepatan bacaan" SBY atas rekomendasi yang terjadi? Atau sebenarnya SBY gamang menindaklanjuti beberapa point rekomendasi yang terlihat sangat progresif, yang jika diakomodasi, bisa menimbulkan reaksi balik (fight back) dari sejumlah institusi penegakan hukum yang selama ini sudah sangat terpojok dalam prahara penegakan hukum ini?
Yang jelas, apa pun jawaban yang benar di balik itu, drama perseteruan KPK versus Polri dan Kejaksaan Agung, yang begitu ''bergelora" pascarekomendasi Tim 8, menjadi antiklimaks oleh pidato Presiden SBY.
*). Hasrul Halili , kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi dan dosen FH UGM
Opini Suara Merdeka, 25 November 2009