25 November 2009

» Home » Kompas » Idul Adha, Kurban dan Gizi Bangsa

Idul Adha, Kurban dan Gizi Bangsa

Idul Adha adalah demonstrasi bentuk pengorbanan tiga pejuang sejati bagi umat manusia, yaitu Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar.
Ketaatan dan kesalehan Nabi Ibrahim dan Ismail terhadap ujian Allah sulit ditandingi peristiwa lain dalam sejarah peradaban manusia. Ujian ketauhidan dan pengorbanan terbesar dalam sejarah manusia tentu bukan hanya untuk dikagumi manusia.


Kurban membawa dampak bagi peningkatan asupan gizi masyarakat. Jutaan ternak disembelih agar masyarakat bisa merasakan nikmatnya makan daging. Persoalan gizi bangsa terkait kemiskinan. Orang miskin banyak yang kurang gizi. Berdasarkan riset Kesehatan Dasar (2007), prevalensi nasional gizi buruk anak bawah lima tahun adalah 5,4 persen dan gizi kurang 13,0 persen. Ini menunjukkan, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk perbaikan gizi (prevalensi 20 persen) dan target MDGs (prevalensi 18,5 persen) telah terlampaui.
Meski demikian, kita jangan terkecoh data makro itu. Masih ada 19 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih tinggi daripada angka rata-rata nasional. Masih ada 10 kabupaten dengan prevalensi gizi buruk/kurang lebih dari 35 persen. Ini mengindikasikan, pekerjaan rumah jajaran kesehatan cukup berat untuk mengatasi gizi bangsa.
Dapat dikendalikan
Laju masalah gizi dapat dikendalikan jika angka kemiskinan dikurangi dan keadilan kian merata. Angka kemiskinan di Indonesia relatif telah berkurang meski krisis ekonomi satu dekade lalu benar-benar telah merontokkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kemiskinan akan kian sulit dieradikasi jika mental korup di kalangan birokrat tidak segera diluruskan.
Kini strategi food-based untuk mengatasi soal gizi kian mendapat perhatian. Disadari, pangan hewani asal ternak umumnya mahal karena itu jarang diakses masyarakat miskin yang rawan gizi. Hari raya Kurban merupakan saat berpesta bagi mereka karena ketersediaan pangan asal ternak melimpah.
Namun, ini hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, mereka akan kembali kesulitan mengakses pangan asal ternak. Tanpa strategi pengentasan kemiskinan yang jitu, maka seumur-umur masyarakat miskin akan tetap rendah konsumsi pangan hewaninya.
Di banyak negara, pemecahan masalah gizi sering tidak menjadi prioritas pembangunan. Hal ini disebabkan dua hal.
Pertama, masalah gizi dipandang dengan kacamata subsektor dalam perspektif yang terlalu sempit. Gizi hanya bagian kecil sektor kesehatan yang luas. Masalah gizi sebenarnya bukan sekadar isu kesehatan. Karena itu, nutrisionis dituntut mampu bekerja sama dengan sektor lain. Mereka harus paham dengan masalah pembangunan ekonomi, mampu bekerja sama dengan sektor swasta, bisa mengenali kesempatan untuk memasukkan gizi sebagai kurikulum pendidikan, dan mengetahui aneka program pengentasan kemiskinan.
Kedua, mengapa gizi tidak mendapat prioritas? Karena kegagalan untuk menjadikan gizi sebagai isu politik. Secara de facto perlu ada komitmen dari birokrat dan politisi sehingga pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya.
Nilai kebersamaan
Kita harus membangun konstituen di tingkat rakyat bawah yang mampu memengaruhi para politisi untuk meluncurkan program gizi yang sifatnya community-based. Dengan demikian, di tingkat masyarakat ada kesiapan untuk melaksanakan program gizi yang efektif, sebaliknya di tingkat politisi dan birokrat ada kemauan untuk mendanai program gizi yang berskala luas.
Kelestarian suatu program akan menjamin pemecahan masalah. Kelestarian dapat dipertahankan jika semua stakeholders mempunyai rasa memiliki terhadap suatu program. Untuk program gizi, yang dimaksud dengan stakeholders adalah masyarakat, pemimpin informal, pemerintah, kalangan legislatif, LSM, dan sektor swasta.
Idul Adha menjadi peristiwa penting agar kita menghayati nilai-nilai kebersamaan, memerhatikan kemiskinan di sekitar kita, dan terbangkitkan rasa sosialnya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Konsumsi daging kurban selama sehari mungkin tak berdampak signifikan untuk perbaikan gizi. Namun, yang lebih penting, agar kita jangan pernah kekenyangan sementara ada tetangga kelaparan. Tanggung jawab sosial bagi yang lebih mampu adalah menolong mereka yang miskin agar dapat memenuhi kebutuhan hidup paling dasar, pangan berkualitas dan cukup jumlahnya.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
Opini Kompas 26 November 2009