25 November 2009

» Home » Solo Pos » Idul Adha & evolusi kebudayaan umat

Idul Adha & evolusi kebudayaan umat

Dari tahun ke tahun, kuantitas orang yang melakukan kurban terus mengalami peningkatan. Buktinya, semakin banyak hewan kurban yang disembelih pada hari raya itu. Hal positif yang patut kita syukuri bahkan berbangga hati, ternyata kesadaran umat Islam untuk berkurban terus mengalami lonjakan.
Permasalahannya sekarang, apakah tingginya animo berkurban ini mengindikasikan semakin tingginya kesalehan para pelaku kurban? Ada beberapa kemungkinan jawaban yang dapat dimunculkan.
Pertama, berkurban hanya untuk sebuah prestise, sehingga berfungsi sebagai alat untuk mencari popularitas, menjaga gengsi, mendulang hegemoni dan sebagai topeng untuk menutup borok diri.


Dengan memberikan puluhan bahkan ratusan hewan kurban, publik akan menilai kita sebagai dermawan, manusia hero, orang hebat, kaya dan sederet julukan mulia lainnya. Naudzubillah, jika ini yang terjadi maka sia-sialah hewan kurban yang kita sembelih. Untuk kemunafikan ini, tak ada balasan yang layak diberikan kecuali siksa neraka.
Kedua, berkurban semata-mata karena iming-iming besarnya pahala dan nikmatnya surga. Harapan kita, hewan yang dikurbankan kelak akan menjadi kendaraan penyelamat tatkala melintasi shirath (jembatan) menuju surga, sebagaimana dituturkan oleh Nabi dalam beberapa hadisnya. Jika ini yang terjadi, berarti kita masih terjebak pada pemahaman sempit tentang agama. Agama hanya kita pahami sebagai sebuah ritual, yang tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung kepada kemaslahatan sosial. Akibatnya, ibadah kurban tidak mampu melahirkan nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Kelompok ini memandang ibadah dalam bentuk ritual lebih menjadi juru selamat daripada ibadah dalam bentuk sosial.
Ketiga, berkurban selain sebagai ketundukan diri kepada Sang Pencipta (kesalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas moral dan sosial (kesalehan sosial) para pelaku kurban. Kelompok ini memandang agama secara holistik dan komprehensif. Menurut mereka, ibadah dalam bentuk ritual an sich belum sempurna tanpa dibarengi ibadah dalam bentuk kepekaan dan kepedulian sosial.
Dengan pemaknaan seperti ini, berkurban tidak hanya berarti konkretisasi kepatuhan kepada Tuhan yang diterjemahkan melalui ritual an sich, lebih dari itu tecermin pula dalam perilaku sosial bermasyarakat. Sehingga, secara moral dan sosial, kurban dapat melahirkan nilai praktis dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan masyarakat, serta mampu memberikan kontribusi yang konstruktif untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.
Dari tiga kemungkinan itu, kira-kira, termasuk kelompok manakah masyarakat kita saat ini? Pertama, kedua atau ketiga? Patut disangsikan jika kelompok ketiga yang menjadi jawaban kita. Melalui kacamata objektif, dengan sadar, tentulah kita akan menyalahkan dan membantah jawaban itu. Buktinya, sampai detik ini, kita tetap bisa melihat substansi mentalitas negatif yang terus bersemayam dalam diri masyarakat.
Sebenarnya Idul Idha punya urgensi makna yang bisa dijadikan legitimasi bagi terwujudnya obsesi-obsesi sosial. Kesetiakawanan, solidaritas, menurunnya kesenjangan berbagai kelompok masyarakat, tegaknya semangat otonomi, dan pembebasan dalam diri manusia adalah hal-hal yang sangat mungkin dicarikan justifikasinya pada semangat Idul Adha.
Salah satu atau bahkan satu-satunya kekuatan Idul Adha terletak pada fungsi legitimasi simbolisnya. Maka ketika pengorbanan itu diwujudkan dalam bentuk selain menyembelih hewan, yang terjadi adalah discontinuity (keterputusan). Artinya, orang Islam jadi kehilangan simbol-simbol yang melegitimasi kerja-kerja pengorbanan mereka, peneladanan sikap-sikap yang dicontohkan oleh nabi-nabi mereka yang hanif.
Penyembelihan hewan merupakan upaya mencari jejak historis dan tradisi. Dalam merayakan Idul Adha, ternyata kita tidak cukup hanya dengan mempertahankan semangat berkorban, sebagaimana dicontohkan Ibrahim dan Ismail, tapi juga harus tetap mempertahankan kerja-kerja pengorbanan sebagaimana dilakukan Ibrahim dan Ismail itu.
Peristiwa budaya
Tampaknya, Idul Adha menyimpan tiga hal yang menjadi bagian dari mainstream evolusi kebudayaan, yakni agama, budaya dan keberlangsungan. Agama mengakomodasi kelahiran dan pelembagaan spiritualitas dan nilai-nilai kebersamaan, pengorbanan, pembebasan, dan solidaritas yang konvergen.
Budaya menunjuk pada pelembagaan penyembelihan menjadi semacam tradisi, yang selain kental dengan nuansa lokal, juga cenderung konsentris. Sementara itu, keberlangsungan menunjuk pada kontinuitas dan mengalirnya waktu dalam rentang linear ke depan.
Dari ketiga mainstream tersebut, yang paling penting adalah bukan konvergensi nilai, tapi konsentrisitas simbol. Artinya, bahwa Idul Adha seperti yang berkembang di masyarakat lebih identik dengan peristiwa budaya daripada peristiwa ritual keagamaan. Dengan kata lain, ia lebih menyerupai momentum sebuah pesta, daripada momentum keinsafan dan keharuan.

Sakral
Dengan demikian, ada satu kepastian di luar semua itu, yakni bahwa simbol-simbol budaya yang lahir dari basis agama relatif lebih mendapatkan apresiasi, daripada yang lahir melalui mobilisasi kreativitas dan daya cipta manusia semata. Agama ternyata memuat unsur-unsur sakral. Sementara sakralitas, menurut Emile Durkheim, mampu membangkitkan perasaan kagum dan karena itu, ia memiliki kekuatan memaksa dalam mengatur tingkah laku manusia serta kekuatan untuk mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.
Sakralitas pula yang merangsang atribut-atribut agama untuk tetap survive di tengah arus globalisasi dan arus informasi simbol-simbol budaya. Sungguh pun pada dasarnya bukan benda-benda tersebut yang merupakan tanda dari yang sakral, tapi justru berbagai sikap dan perasaanlah yang memperkuat sakralitas tersebut. Sakralitas ini terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Oleh karena itu, biarlah sampai kapan pun Idul Adha dirayakan dan disemarakkan dengan hiruk-pikuk penyembelihan hewan. Ia bukan hanya ornamen dan dekorasi yang melegitimasi keterkaitan organik umat Islam dengan masa lalunya, melainkan juga sejenis segmen yang berputar dalam mainstream evolusi kebudayaan umat manusia, yakni konvergensi, konsentrisitas dan kontinuitas. Selamat Hari Raya Idul Adha 1430 H. -

Oleh : Muh Abu Nasrun Kepala SD Muhammadiyah 1 Solo
Opini Solo  Pos 26 November 2009