Khaeron Sirin
Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran Jakarta
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat dengan makna. Ia dipenuhi dengan simbol-simbol ritual yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami oleh Nabi Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Ismail, juga pertemuan antara Adam dan Hawa di Jabal Rahmah (bukit kasih-sayang), padang Arafah. Sebuah ibadah yang penuh pengabdian, penyerahan, kepasrahan, dan ketaatan diri kepada Allah Swt.
Dari sekian simbolisasi ritual ibadah haji, kurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail, hingga akhirnya Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan. Dinamakan kurban, karena momentum 'penyembelihan' oleh Nabi Ibrahim merupakan simbol untuk mendekatkan diri (qurban) kepada Sang Pencipta, dengan cara menyerahkan segala yang kita miliki dan kita cintai.
Teologi kurban
Setidaknya, ada tiga peristiwa yang melandasi syariat kurban bagi kita, yaitu peristiwa yang dialami Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad Saw. Di zaman Nabi Adam, kurban dilaksanakan oleh kedua putranya, yaitu Qabil dan Habil. Di mana kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok peternak. Saat itu, sudah ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk kurban. Sebagai petani, Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya. Sebagai peternak, Habil mengeluarkan hewan-hewan ternaknya untuk kurban.
Selanjutnya, harta yang dikurbankan itu disimpan di suatu tempat, yaitu di Padang Arafah, yang sekarang menjadi tapak tilas bagi para jamaah haji. Tetapi, kurban yang dilakukan, baik oleh Qabil maupun Habil, ternyata memiliki sifat berbeda. Akhirnya, kurban Habil di terima Allah Swt, karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan ikhlas. Sementara itu, Qabil mengeluarkan sebagian hartanya yang jelek-jelek dan terpaksa sehingga ditolak oleh Allah Swt (QS Al-Maidah: 27).
Di zaman Nabi Ibrahim, kurban lebih merupakan pengorbanan dan perjuangan hidup yang dialaminya bersama istrinya, Siti Hajar, dan putranya, Ismail. Saat itu, Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah Swt agar meninggalkan Siti Hajar dan putranya yang baru lahir, untuk menemui istri pertamanya, Siti Sarah, yang berada di Yerussalem. Ketika itu, Siti Hajar kehabisan makanan serta air, dan harus berjuang keras untuk mempertahankan hidup diri dan anaknya. Ia naik ke bukit Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali.
Peristiwa ini oleh Alquran diabadikan sebagai bagian dari ritual ibadah haji, yaitu Sai. Puncaknya, Allah Swt memberi ujian kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail (QS Al-Shaffat: 102). Karena ketabahan dan keikhlasannya, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat tersebut sehingga Allah menggantinya, dengan seekor binatang sembelihan. Pengorbanan, keteguhan, dan kesabaran mereka kemudian diabadikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya (QS Al-Shaffat: 103-107).
Sedangkan di zaman Nabi Muhammad Saw, kurban merupakan tapak tilas dari dua sejarah kurban di atas yang diabadikan dalam Alquran dan disyariatkan kepada kita. Dalam hal ini, kurban di zaman Nabi Muhammad Saw hingga kini merupakan ibadah vertikal dan sosial, dengan cara mengorbankan sebagian harta lewat sembelihan hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (QS Al-Maidah: 27) dan untuk mendapatkan ridha serta mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Swt (QS Al-Kaustar: 1-3).
Spirit kurban
Ibadah kurban merupakan syariat yang sarat dengan nilai dan makna. Sebab, selain ibadah ini berorientasi menggembirakan fakir miskin dengan membagi-bagikan daging kurban, juga menunjukkan adanya bukti keimanan, kepasrahan, dan kebaikan si pribadi yang melaksanakannya kepada sesama. Kurban juga merupakan simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail, karena melibatkan fisik, emosi, akal, dan keyakinan. Tapi, inilah ujian sebenarnya, yang disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang justru seringkali menguasai manusia, baik secara individu maupun kelompok. Ketika egoisme diri dan kelompok menguasai diri manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan dan mengabaikan ajaran-ajaran-Nya.
Dari sinilah, pengorbanan Nabi Ibrahim perlu diteladani oleh kita untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, sekaligus memperkokoh dan memupuk kesetiaan sosial dalam membangun bangsa. Dalam hal ini, ibadah kurban adalah momen yang sangat penting bagi umat Islam, yang tidak sekadar untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), tapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara manusia (taqarrub ila al-nas), melalui medium kurban.
Kurban di tengah bencana
Secara simbolis, berbagai bencana yang tengah melanda negeri ini, seperti gempa di Sumatra Barat, adalah rangkaian ujian kolektif yang harus dilewati bangsa ini.
Tanpa kita inginkan, semua itu datang begitu saja. Korban pun berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda. Nilai-nilai kebersamaan, persatuan, tanggung jawab, dan solidaritas bangsa ini pun tengah menjadi 'taruhan' dalam melewati ujian tersebut. Inilah ujian sebenarnya yang tengah dialami bangsa kita saat ini. Ujian yang tidak sekadar melibatkan penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan batin anak manusia, sebagaimana dialami oleh Ibrahim dan keluarganya. Hanya dengan ketabahan, keikhlasan, dan keyakinannya itulah, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat tersebut.
Karena itulah, momentum Idul Adha kali ini perlu diorientasikan pada nilai-nilai sosiologis sejauh kondisi sosial masyarakat membutuhkannya. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa direnungkan dan dilakukan dalam menghadapi berbagai musibah yang melanda negeri ini.
Pertama, kondisi memprihatinkan yang berkepanjangan harus dihadapi dengan optimisme dan keyakinan bahwa Allah-lah Sang Pengatur semua kehidupan. Ini berarti bahwa penderitaan yang kita alami dan perjuangan yang kita lakukan saat ini, harus berangkat dari hati yang suci dan yakin akan kemahahadiran Allah Swt dalam jiwa kita. Inilah yang disimbolisasikan dengan penderitaan dan perjuangan Siti Hajar bersama anaknya, Ismail. Dengan bekal keyakinan kepada Allah, seperti dipesankan oleh Ibrahim, Siti Hajar berjalan dan berlari dari bukit Shafa ke bukit Marwa demi mengobati tangis dahaga Ismail yang amat sangat. Di sinilah manusia pada akhirnya akan memperoleh hasil sesuai dengan usaha, pengorbanan, dan keikhlasannya (QS Al-Najm: 39). Inilah prinsip dasar manusia dalam menjalani kehidupan.
Kedua, kesulitan-kesulitan hidup bukanlah alasan bagi kita untuk tidak mau berkorban bagi kemaslahatan atau kebaikan orang lain. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan diri dan anaknya (Ismail) demi kecintaannya kepada Allah Swt. Tentunya, di saat sebagian masyarakat tertimpa bencana dan berusaha keluar dari penderitaan, harus ada pihak-pihak yang ikhlas dan rela berkorban. Mereka yang secara ekonomi berlebih, harus mau berkorban untuk mereka yang kekurangan. Lebih dari itu, pengorbanan bisa berarti berupaya menjaga nama baik orang lain dan harkat martabat bangsa, serta meredam segala emosi dan ambisi kekuasaan demi kelangsungan hidup bersama.
Ketiga, pentingnya persatuan, kesatuan, dan kebersamaan untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa. Karena itu, dalam kondisi seperti ini, segenap bangsa harus bisa meminimalisasi sikap dan perilaku yang egois, apatis, kontraproduktif, dan cenderung memecah belah menuju semangat persatuan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
Inilah kurban yang sebenarnya bagi bangsa ini. Kurban tidak dimaknai hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga untuk merekatkan tali sosial di antara manusia.
Ini pula yang menjadi pokok eksistensial manusia seutuhnya, yang tercermin dalam tapak tilas kurban Nabi Ibrahim. Maka, momentum kurban kali ini seharusnya menyadarkan kita akan hakikat persatuan, kebersamaan, solidaritas, pengorbanan, dan tanggung jawab kolektif dalam melewati penderitaan hidup. Allahu akbar wa lillahi al-hamd.
Opini Republika 25 November 2009
25 November 2009
Makna Kurban di Tengah Bencana
Thank You!